Friday, March 20, 2015

Cernak, 22 Maret 2015




Tolooong

oleh Benny Rhamdani


Arloji digitalnya sudah menunjukkan pukul 07.35. Sudah tidak ada harapan bagi Edwin melenggang melewati gerbang sekolah.

“Aduh mana nanti ada ulangan matematika. Masa harus pulang?” dengus Edwin.

Tiba-tiba Edwin ingat obrolan Riko, dua hari lalu. “Tadi pagi gue terlambat, terus mutar ke belakang sekolah. Kita bisa lompat tembok dari pohon nangka. Turun di dekat ruang osis,” paparnya.

Edwin pun bergegas memutari sekolah. Hal yang baru dilakukannya sejak masuk SMA sebulan lalu. Akhirnya, dia menemukan pohon nangka yang dimaksud. Tanpa banyak membuang waktu Edwin memanjat pohon nangka, melompati tembok pembatas sekolah.

Bruk. Kakinya mengempas tanah di samping ruang osis.

Edwin kemudian mengendap perlahan. “Moga-moga nggak ketemu satpam atau guru piket,” dia membatin.

“Tooolooongg …”

Suara itu terdengar lirih, membuat Edwin berhenti melangkah. Suara itu datang dari ruang OSIS. Edwin mendekati pintu gudang. Tidak tertutup sepenuhnya.

Edwin mengintip sambil membuka pintu lebih lebar.

“Cepat masuk dan tutup pintunya!” seorang anak perempuan langsung meghardiknya. Dia tampak ketakutan sambil duduk di sudut ruangan.

“Maaf, Kak Sandra,” Kata Edwin sambil masuk lalu menutup pintunya. Dia tahu perempuan itu kakak kelasnya . “Kakak kenapa?”

“Kamu belum tertular?” tanya Sandra.

“Tertular apa, Kak? Maaf aku baru masuk, lompati pagar. Tadi aku terlambat.”

“Sekolah ini telah terjangkiti virus. “

“Virus apa, kak?”

Tiba-tiba mata Sandra berubah putih semua. Seluruh kulitnya mengerut. Bola mata Sandra kemudian membesar. Dan Sandra teriak kesakitan tapi tak jelas.
Edwin mundur beberapa langkah. Lalu ketika Sandra mendadak berdiri dan menatapnya, Edwin langsung membuka pintu gudang lalu lari keluar. Dia melewati lorong samping sekolah, lalu langkahnya terhenti di mulut lorong yang langsung mengarah ke lapangan di tengah area sekolah.

Edwin kaget. Di halaman sekolah dia melihat sejumlah orang tampak berdiri seperti mayat hidup.
Ketika melihat sisi lain yang menampakkan koridor lantai dua hingga empat, dia melihat pemandangan yang sama. Tidak hanya siswa, tapi juga para guru.
“Hosh…”

Edwin terkejut. Dia mendengar suara dengusan di belakangnya. Ketika mengongok dia melihat selusin mayat hidup berseragam sekolah menuju ke arahnya.

Tanpa mengambil aba-aba, Edwin langsung lari menuju lorong lain ke arah laboratorium.Matanya tetap waspada. Dia ingat sekali, laboratorium baru buka pukul Sembilan. Jadi kecil kemungkinan ada siswa atau guru yang menjadi mayat hidup saat ini.

Edwin menengok ke belakang. Mayat-mayat hidup tak berhasil mengejarnya. Dia mengambil napas sesaat sambil membungkuk. Paru-parunya serasa sesak.

“Win! Ssst! Sini!”

Edwin mendengar bisikan itu. Bukan dari laboratorium, tapi di balik pintu perpustakaan, di seberangnya. Edwin menghampiri pintu itu perlahan. “Kalo mayat hidup, dia nggak akan berbisik ngomong,” kata Edwin meyakinkan hatinya.
Ketika dia sudah mendekati pintu perpusatkaan, tiba-tiba pintu terbuka, pergelangan tangannya ditarik keras ke dalam perpustakaan.

Edwin mengira dirinya akan ditarik mayat hidup lalu akan berhadapan dengan makluk paling mengerikan. Tapi bukan. Tiga teman sekelasnya Danang, Gatot dan Rovi.

“Gimana kalian bisa selamat?’ tanya Edwin.
Mereka bercerita bahwa mereka sebenarnya mereka bermaksud bolos. Mereka sembunyi di katin. Tapi mendadak kejadian mengerikan melanda sekolah. Para penghuni sekolah berubah.

BRAK!
Tiba-tiba terdengar suara pintu didobrak. Tiga teman Edwin langsung lari lewat pintu belakang.
“Ah aku juga harus lari kalo gini!” Edwin lari melewati pintu belakang perpustakaan. Tapi tiga temannya sudah tidak terlihat. Edwin  berlari melewati lorong. Sampai akhirnya mentok di toilet siswa.

Edwin menengok ke belakang. Dia melihat lusinan mayat hidup berjalan ke arahnya. Tak ada pilihan lain, dia pun manerabas pintu toilet lalu menutupnya. Dia bingung.

“Apa yang harus aku lakukan?” keringatnya menetes.

BRAAK!

Pintu bilik digebrak keras. Edwin mundur makin ke sudut. Bunyi berakan pintu berikutnya langsung membuatnya terduduk ketakutan. Belum pernah dia setakut ini.

BRAK! Pintu terbuka.

“Edwin ngapain di sini?”

Edwin mengangkat kepalanya perlahan. Itu suara Dayat, teman sebangkunya.
Edwin melihat dayat berdiri di depannya. Dia pun merasa senang.

“Apa yang terjadi? aku barusan kebelet, tapi pintunya terkunci. Makanya tadi aku dobrak,” kata Dayat sambil berdiri di depan urinoir. Lalu melakukan niatnya buang air kecil.

“Jadi elo belum ketularan?” tanya Edwin bingung.
“Ketularan apa? Udah, kita masuk. Kamu pasti tadi telat dan lewat pohon nagka angker itu ya? Untung nggak kenapa-napa. Soalnya, si Riko abis cerita lompat pohon nangka itu semalam meninggal,” jelas Dayat.
“Serius?” tanya Edwin.

“Iya. Eh, buruan ke kelas. Pak Amilus bentar lagi masuk kelas, ulangan matematika,” timpal
Dayat sambil mencuci tangan di wastafel.

Keduanya keluar meninggalkan toilet berbarengan. Mereka jalan menyusuri lorong sekolah. Suasana sepi.

Sampai kemudian tiba di depan kelas, Edwin membuka pintu kelas yang tertutup.

Dia baru melangkah masuk melewati pintu kelas ketika kemudian terhenyak …

Dia melihat teman-teman sekelasnya wajahnya rusak tak dikenalinya.

Ketika Edwin menoleh ke belakang, dia melihat sahabatnya itu sudah berubah jadi seperti mayat hidup.

“Tollllooong…” Edwin berteriak panjang.

No comments: