Friday, February 02, 2007

Cernak, BP 02 Februari 2007


Aku Tidak Pesek

Oleh Benny Rhamdani

“Farah! Jangan lewat lorong itu dulu!”

Aku menengok. Shirley berlari mendekatiku dengan napas tersengal.

“Tadi aku lihat Dave dan gerombolannya di sana,” bisik Shirley. Kulihat jepit berbentuk capung di rambutnya bergoyang..

“Biar saja. Aku tidak takut. Aku harus buru-buru ke kelas sebelum Mrs. Angel menghukumku.” Aku melanjutkan langkahku.

Shirley yang juga tidak mau terlambat masuk kelas langsung mengekor. Kami menyusuri lorong lantai satu menuju sayap kiri bangunan sekolah.

Dave adalah siswa kelas enam yang menyebalkan. Tubuhnya kurus seperti gagang sapu. Tapi dia anak orang kaya. Mungkin orangtuanya paling kaya dari semua orang kaya di Winston International School.

“Hai, pesek!” Dave langsung mengejek begitu melihatku. Dia berdiri di depan kelasnya. Hanya beberapa meter sebelum pintu kelasku.

“Pesek! Pesek!” beberapa anak lelaki di dekat Dave ikut meledek.

Ya, Allah … beri aku kesabaran. Kata Mama, aku tidak pesek. Paling tidak, hidungku tidak sepesek Mama. Ya, walaupun tidak semancung teman-temanku yang asli orang Inggris. Tapi sungguh, aku tidak mau punya hidung seperti mereka yang justru menakutkanku.

“Anak perempuan pendek, hidungnya pesek!” Dave makin kencang meledek.

DUG!

Entah kapan tepatnya. Tahu-tahu kepalan tanganku bersarang ke hidung Dave. Karena kerasnya, Dave sampai kesakitan. Dia malah lantas berguling-guling di lantai sambil menjerit.

Sepuluh menit kemudian …

Aku harus duduk tegak di depan Bapak kepala sekolah, Mr. Smith. Aku berusaha menikmati pidato panjang Mr. Smith berjudul “Pentingnya disiplin, larangan kekerasan di sekolah dan menghormati sesama teman”. Sebenarnya, judulnya mungkin akan lebih panjang dari itu kalau saja Ayah dan Ibu tidak buru-buru masuk ke ruangan Mr. Smith.

Ibu langsung menenangkanku. Ibu bicara dalam bahasa Inggris sebentar, lalu memakai bahasa Indonesia. Terus terang aku lebih suka mendengar Ibu berbahasa Indonesia. Meski aku lahir di London, memiliki ayah berkebangsaan Inggris dan aku sendiri berwarga negara Inggris, tapi aku merasa sebagian diriku orang Indonesia.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Ibu.

“Kurasa Dave yang apa-apa, Bu,” jawabku dengan bahasa yang sering kupakai di rumah bersama Ibu. “Tapi biar tahu rasa dia. Tadi Dave mengatai aku pendek dan pesek.”

“Ibu sudah bilang berulang kali, kamu tidak pendek dan pesek. Dia menghinamu karena iri. Lihatlah kulitmu yang bagus. Mereka tidak punya kulit sepertimu. Matamu biru seperti mata Ayah. Rambutmu perpaduan rambut Ibu dan Ayah. Semua di dirimu merupakan perpaduan yang indah antara Ibu dan ayah,” jelas Ibu sambil membetulkan letak kerudungnya.

Ayah masih bicara dengan Mr. Smith. Dengan bahasa Inggris tentu saja.

“Baiklah Mr. Edward, semoga kejadian ini tidak terulang lagi. Sampai jumpa!” Mr. Smith menjabat Ayah.

Ayah dan Ibu mengajak aku ke luar ruangan Mr. Smith.

“Hari ini kamu tidak usah sekolah dulu. Bermain saja di rumah,” kata Ayah kemudian.

“Apakah ini hukuman buatku dari Ayah?” tanyaku.

“Dari Ayah? Buat apa Ayah menghukummu? Ayah setuju sekali dengan apa yang telah kamu lakukan. Anak lelaki yang berani meledek anak perempuan itu sama dengan pengecut. Dan kamu berhak meninjunya. Hahahaha …!”

“Ayah ini bagaimana? Biar bagaimanapun berkelahi itu tidak baik,” potong Ibu.

“Aku tidak berkelahi. Aku hanya memukulnya sekali,” kataku.

“Uuuh, Ayah sama anak sama saja!” seru Ibu.

Aku dan Ayah tertawa.

Oh iya, aku harus bercerita sedikit tentang Ayah. Nama lengkap Ayah adalah Mr. Sam Edward. Ayah bekerja sebagai seorang diretur di sebuah perusahaan biro perjalanan. Dulu hobinya jalan-jalan. Kalau jalan-jalan sering tidak tanggung-tanggung. Bahkan sampai ke Indonesia. Itu sebabnya Ayah bisa bertemu ibuku, lalu mereka menikah.

Ayahku tinggi besar, bermata biru dan berkulit putih. Beliau sangat mencintai Ibu. Buktinya, Ayah mau beralih agama menjadi seorang muslim yang taat. Ayah sendiri yang meminta agar aku memanggil Ayah, bukan Dad.

Hm, tidak adil juga kalau aku tidak bercerita tentang Ibu. Menurutku, Ibu adalah wanita tercantik di dunia ini. Ibu masih sekolah sepertiku. Bedanya, Ibu sedang sekolah untuk mengambil gelar master di bidang komputer. Ibuku asli Orang Indonesia, tepatnya dari Bandung.

Kata orang wajahku mirip Ibu, tapi sifatku keras seperti Ayah. Nah, kalau kalian sendiri lebih mirip Ayah atau Ibu?

No comments: