Bila Ayah Pulang
Oleh Benny Rhamdani
Santi baru pulang les. Dia mendatangi Ibu di dapur yang tengah memasak untuk makan malam.
“Ayah kok belum pulang, Bu? Sudah mau magrib,” tanya Santi setelah sebentar membantu Ibu.
“Mungkin agak telat karena ada pekerjaan yang harus dibereskan di kantor. Atau mungkin macet di jalan,” kata Ibu. “Memangnya kenapa? Tumben nanya-nanya Ayah pulang kantor.”
“Santi tadi pagi minta kalkulator sama Ayah. Takutnya Ayah lupa,” jawab Santi.
“Nah, mungkin Ayah mampir dulu ke toko alat tulis beli pesanan Santi,” ucap Ibu smabil menata piring di atas meja.
“Kok pakai beli segala. Di kantor Ayah pasti banyak kalkulator.”
“Ayah
Santi terdiam. Ya, Ayah memang orang paling jujur yang pernah dikenalnya. Bahkan, Ayah itu mendapat mobil dinas dari kantor. Tapi setiap Jumat sore Ayah menyimpannya di kantor. Hari Senin Ayah baru memakainya lagi.
“Kalau akhir pekan mobil dinas di simpan di rumah, nanti kita pasti tergoda memakainya. Padahal belum tentu itu berhubungan dengan dinas kantor,” kata Ayah.
“Tapi teman-teman Ayah yang lainj tidak ada yang menyimpan mobil dinas saat akhir pekan. Terus, kalau kita mau jalan-jalan di akhir pekan jadi enak kalau pakai mobil,” kata Santi.
“Ayah
“Tapi kalau hujan bagaimana?”
“Ya, naik angkot. Kalau ada uang lebih bisa naik taksi. Kalau tidak punya uang sama sekali, ya kita bisa liburan di rumah,” kata Ayah enteng.
Pintu pagar terdengar dibuka, disusul suara mobil masuk ke halaman rumah. Santi bergegas ke pintu rumah.
“Ayah, kalkulatornya bawa nggak?” tanya Santi langsung ketika Ayah muncul di pintu.
“Wah, Ayah lupa. Tadi habis rapat Ayah harus mengerjakan beberapa laporan. Karena takut kemalaman sampai rumah, Ayah buru-buru pulang. Nanti kalau kemalaman, kita nggak bisa makan malam bersama,” kata Ayah.
“Uuuh, Ayah ini bagaimana sih? Kalkulatornya
“Santi, kok begitu sama Ayah? Mestinya Santi bawain tas Ayah dulu, sambut Ayah dengan senyuman, pijat Ayat … bukan cemberut sambil marah-marah begitu. Ayah
“Iya, tapi Ayah sudah janji tadi pagi. Ayah juga tahu kalkulator itu penting buat Santi,” kata Santi.
“Okay, Ayah sekarang beli kalkulator dulu. Maafin Ayah, tadi benar-benar lupa.” Ayah kemudian berbalik ke luar rumah. Kali ini Ayah mengeluarkan motor, bukan mobil. Ya, karena kalkulator yang dibeli buat Santi, jadi tidak ada hubungannya dengan kantor.
“Aduh,Santi, sabar sedikit dong. Kasihan Ayah tuh. Mana di luar mendung,” kata Ibu sambil geleng-geleng kepala.
Ternyata, setengah menit kemudian hujan turun deras. Ibu tampak cemas.
“Pasti Ayah pulangnya basah-basahan,” kata Ibu.
“Habis Ayah malah pakai motor. Coba kalau pakai mobil perginya,” kata Santi.
Menit demi menit berlalu. Di luar hujan mulai turun, azan magrib pun telah berkumandang. Ayah belum datang juga. Ibu tampak cemas, tapi tak berkata apapun.
“Kenapa, Bu? Sebentar lagi Ayah pasti pulang,” tanya Santi.
“Ibu takut terjadi sesutau sama Ayah.”
“Lho, Ayah
“Iya, Ibu juga tahu. Tapi Ibu tidak akan cemas kalau … pagi ini Ibu tidak membaca map yang ada di meja kerja Ayah.”
“Memangnya kenapa?”
“Map itu berisi keterangan dari rumah sakit dua hari lalu.”
“Oh,yang kata Ayah sakit kepala itu.”
“Iya. Ternyata Ayah bukan cuma sakit kepala biasa. Ayah itu kena kanker otak.”
“Kanker otak? Bahaya ya, Bu?”
“Sangat bahaya. Sama seperti yang dialami Om Farhan sebelum meninggal.”
“Oh, berarti ….” Santi tak sanggup meneruskan kalimatnya. Dia sedih membayangkan Ayah pergi meninggalkannya seperti Om Farhan.
“Seebenarnya Ayah tak boleh bekerja lagi. Jika terlalu lelah, penyakit Ayah akan smeakin parah,” lanjut Ibu.
Santi terdiam. Dia benar-benar menyesal telah bertindak buruk tadi ketika Ayah pulan kerja.
“Bu, Santi janji …. Bila Ayah pulang nanti Santi akan minta maaf. Santi akan tersenyum untuk Ayah, akan memijat Ayah biar nggak lelah,” ucap Santi.
Ibu megangguk.
Sementara di luar hujan sedikit mulai mereda. Santi berharap Ayah segera pulang ke rumah.
*-*
No comments:
Post a Comment