Peramal
Istana
Shallu sangat mencintai istrinya, Rawina. Apa saja yang diinginkan
istrinya, ia berusaha menurutinya. Meski untuk itu, Shallu harus bekerja keras
sebagai penjual buah keliling. Sampai suatu hari, istrinya meminta Shallu untuk
berganti pekerjaan.
"Aku ingin kau jadi pejabat istana, Suamiku," pinta Rawina.
"Mengapa harus jadi pejabat istana?" tanya Shallu bingung.
"Tadi siang, aku pergi ke pasar. Tapi, pasar itu ditutup untuk umum
selama beberapa waktu karena ada istri pejabat istana yang sedang berbelanja.
Hal ini sudah sering terjadi," cetus Rawina dengan nada iri.
Shallu yang malang terpaksa berpikir keras untuk mewujudkan keinginan
istrinya. Keesokan harinya, ia membeli tikar, dupa, buku-buku ramalan, dan seperangkat
alat yang biasa digunakan para tukang ramal lainnya. Kemudian, ia menggelar
perabotannya tak jauh dari gerbang istana.
Kebetulan saat itu, sang Ratu yang hendak mandi menyuruh seorang
dayangnya untuk menyimpan anting-antingnya di tempat aman. Dayang yang tahu
bahwa dirinya sering pelupa, menyimpannya di lubang tembok kamarnya. Tak lupa
ia menyimpan sehelai rambut sebagai tanda di lubang itu.
Tapi, kesibukan lainnya membuat dayang itu lupa. Maka, ketika sang Ratu
bertanya tentang anting-antingnya, dayang itu kalang kabut mencarinya.
Masalahnya, anting-anting itu adalah perhiasan kesayangan ratu. Hukuman
terberat bisa saja ditimpakan padanya.
Dayang pelupa itu berusaha kabur dari istana. Tapi, di pintu gerbang ia
melihat seorang peramal tengah duduk serius. Dayang berharap peramal itu dapat
membantunya.
"Saya dalam bahaya, Pak. Saya lupa tempat menyimpan anting-anting
Ratu. Jika Bapak dapat mengingatkan saya tempatnya, saya akan berterima kasih
sekali," kata dayang itu.
Peramal itu tidak lain adalah Shallu. Ia
sedang melamun saat dayang itu datang. Diingatnya wajah istrinya yang cantik.
Yang membuatnya jatuh cinta kepadanya adalah rambut istrinya yang panjang dan
hitam mengilat.
"Ya, rambut itu … rambut
itu," gumam Shallu.
Dayang itu terkejut mendengar kata-kata Shallu. Ia segera teringat
lubang tembok yang ditandai rambutnya. Segera saja ia kembali ke istana setelah
mengucapkan terima kasih. Dicarinya anting-anting milik Ratu. Sambil
menyerahkan anting-anting Ratu, dayang itu langsung menceritakan tentang si
peramal kepada baginda Raja.
Tidak berapa lama kemudian, Shallu pun diminta untuk bekerja di istana.
Ia diangkat Raja sebagai peramal istana. Rawina merasa bangga dengan
pengangkatan itu. Namun, Shallu malah menjadi cemas, karena ia memikirkan
akibat yang harus ditanggungnya jika Raja mengetahui hal yang sebenarnya.
Beberapa hari setelah Shallu menjadi peramal istana, Raja memanggilnya
untuk sebuah tugas. Shallu diminta menangkap pencuri yang telah mengambil
sejumlah perhiasan milik Ratu.
"Aku memberimu waktu tujuh hari. Jika gagal, kau dan istrimu akan
dihukum," titah Raja.
Shallu semakin bingung. Jika hukuman itu untuknya saja, bukan masalah.
Tapi, ia tidak mau istrinya ikut dihukum. Akhirnya, begitu tiba di rumah ia
hanya dapat menyerahkan tujuh butir kacang yang dimasukkannya ke dalam botol
kepada istrinya.
"Berikan padaku satu butir kacang setiap malam menjelang tidur.
Sehingga aku ingat, pada kacang terakhir nanti kita harus pergi meninggalkan
negeri ini keesokan harinya," kata Shallu.
Rawina hanya dapat mengangguk sambil menahan tangis. Ia mulai mengerti
betapa dirinya terlalu serakah. Permintaannya membuat ia dan suaminya dalam
keadaan bahaya.
Tanpa mereka duga, jumlah kawanan pencuri perhiasan istana itu berjumlah
tujuh orang. Mereka juga mendengar perintah sang Raja kepada Shallu. Maka,
untuk mengetahui kehebatan Shallu, kawanan pencuri itu menyelidiki tempat
kediaman Shallu.
Pada malam harinya, salah seorang pencuri naik ke atap rumah dan
mendengar percakapan Shallu dan Rawina tentang pencurian di istana. Sambil
bicara, Rawina menyerahkan biji kacang kepada Shallu.
"Suamiku, ini yang pertama," katanya sambil mengingatkan
Shallu.
Shallu memperhatikan biji kacang di tangannya. "Ya, yang pertama.
Sangat hitam," sahut Shallu.
Rupanya, pencuri itu mengartikannya lain. Dia mengira Shallu dan
istrinya mengetahui kedatangannya. Segera saja ia berlari menemui pimpinan
pencuri.
"Bos, rupanya peramal itu sudah mengetahui kita. Bahkan, ia sampai
tahu warna kulitku," kata pencuri yang berkulit hitam itu.
Pimpinan pencuri itu menyuruh anak buahnya mendatangi Shallu. Hari
kedua, Shallu mendapat kacang yang kecil, kebetulan pencuri yang datang pendek.
Lalu hari ketiga, Shallu mendapat kacang yang gemuk, kebetulan pula pencuri
yang mengamati bertubuh gempal. Semuanya bertambah yakin akan kehebatan Shallu.
Hingga akhirnya pimpinan pencuri itu datang sendiri ke rumah Shallu. Pada saat
itu pula, Rawina memberikan biji kacang yang ketujuh.
"Ya, inilah yang terakhir. Dan ini yang terbesar di antara
lainnya," komentar Shallu.
Pimpinan pencuri itu merasa panik mendengarnya. Dengan cepat, ia
kemudian keluar dari persembunyiannya dan bersujud di kaki Shallu.
"Maafkan kami, Tuan. Kami berjanji tidak akan mencuri. Kami akan
mengembalikan perhiasan yang kami curi. Tapi, tolong bebaskan kami," kata
pemimpin pencuri itu.
Shallu sangat terkejut dengan kejadian itu. Ia masih belum menyadarinya
sampai kawanan pencuri itu mengembalikan seluruh perhiasan yang mereka curi.
Baginda Raja sangat terkesan dengan kehebatan Shallu meski pencuri itu tidak
ditangkap. Ia memberikan Shallu hadiah.
Sehari kemudian, Rawina meminta Shallu agar mereka berkata terus terang
kepada Raja karena mereka kini selalu merasa cemas. Shallu kembali berpikir
keras untuk keluar dari istana. Satu-satunya jalan adalah ia pura-pura menjadi
gila!
Siang harinya, ia sengaja keluar dari kamar mandi tanpa berpakaian
lengkap. Sambil berlari ia menuju ruang singgasana Raja. Tentu saja orang-orang
bingung melihat tingkahnya. Apalagi ketika kemudian Shallu menggendong baginda
Raja.
Tapi lagi-lagi, keajaiban terjadi. Tiba-tiba, atap di atas singgasana
Raja roboh. Beberapa orang tewas seketika, namun baginda Raja selamat karena
digendong Shallu.
"Dia benar-benar pejabat istana yang setia. Mengetahui Raja akan
celaka, dia keluar dari kamar mandi meski belum selesai berpakaian untuk
menyelamatkan Raja," seluruh rakyat membicarakan kehebatan Shallu.
Raja semakin sayang terhadap Shallu. Namun demikian, Shallu dan Rawina
memutuskan untuk berterus terang sehingga Raja pun menyadari bahwa tidak ada
satu hal pun yang dapat diramalkan oleh manusia.
Shallu tetap diangkat menjadi
pejabat istana. Jabatannya bukan sebagai peramal, melainkan penasihat Raja.
^_^
TIGA TERSANGKA
Putri Kajal terkejut ketika
membuka peti kayu tempat ia menyimpan tiara emas semalam. Benda berharga itu
sekarang sudah tidak ada di tempatnya lagi. Padahal, pagi ini ia bermaksud
mengunjungi kerajaan tetangga. Dan seperti biasa ia harus mengenakan tiara emas
itu.
Tanpa banyak buang waktu, Putri
Kajal langsung melaporkan kejadian itu pada Raja Salman. Keruan saja Raja
Salman terkejut. Ia sudah menugaskan dua pengawal di pintu kamar Putri Kajal,
jadi bagaimana bisa seorang pencuri masuk ke dalam kamar putri kesayangannya.
Raja Salman segera menitahkan Patih Rangga
menyelesaikan masalah ini. "Aku percaya kau bisa menyelesaikan kasus ini
seperti biasanya," titah Raja Salman di hadapan Patih Rangga.
Patih Rangga mengangguk menyatakan
kesanggupannya. Ia segera menanyakan pengawal yang bertugas menjaga kamar Putri
Kajal semalam. Akhirnya didapat keterangan, ada tiga orang yang memasuki kamar
Putri Kajal. Mereka adalah para pengasuh Putri Kajal yang memang mempunyai hak
istimewa dapat memasuki kamar Putri Kajal dengan leluasa.
"Sekarang juga, aku
menginginkan mereka menghadapku satu per satu," seru Patih Rangga
kemudian.
Pengasuh pertama seorang wanita
yang rambutnya sudah memutih. Ia telah mengasuh Putri Kajal sejak masih bayi.
Atas permintaan Patih Rangga ia mulai menuturkan semua yang dilakukannya
semalam.
"Hamba masuk ke kamar Tuan
Putri tak lama setelah Tuan Putri tertidur. Seperti biasa, hamba hanya
membetulkan letak selimut Tuan Putri," papar pengasuh pertama.
"Apa kau tidak melihat kotak
kayu tempat menyimpan tiara emas itu semalam?" selidik Patih Rangga.
"Hamba melihatnya. Peti itu
seperti biasa ada di atas meja rias. Tapi, hamba tidak berani menyentuhnya
tanpa seizin Tuan Putri," jawab sang pengasuh.
Patih Rangga berpikir sebentar. Ia kemudian menyuruh
pengasuh pertama keluar dan menitahkan pengasuh kedua menghadapnya. Pengasuh
kedua lebih muda dari pengasuh pertama. Ia bertugas mengasuh Putri Kajal sejak
masa kanak-kanak. Seperti sebelumnya, pengasuh kedua diminta menceritakan hal
yang dilakukannya semalam di kamar Putri Kajal.
"Hamba menyiapkan pakaian
Putri Kajal untuk dikenakan hari ini. Itu sudah menjadi tugas hamba,"
tuturnya.
"Apa kau melihat peti kayu
tempat Tuan Putri menyimpan tiara emas itu?"
"Ya, tentu saja. Tapi, hamba tidak
berani menyentuh peti itu tanpa izin Tuan Putri," jawab pengasuh kedua.
Patih Rangga menganggukkan
kepalanya. Ia menyuruh pengasuh kedua keluar dan pengasuh ketiga dimintanya
masuk. Pengasuh ketiga paling muda di antara yang lain. Ia baru mengasuh ketika
Putri Kajal menginjak usia remaja. Patih Rangga segera memintanya menceritakan
semua yang dilakukannya semalam di kamar Putri Kajal.
"Tugas hamba adalah
mempersiapkan perhiasan yang akan dipakai Putri Kajal hari ini. Tapi, hamba
sama sekali tidak tahu dengan hilangnya tiara emas itu. Hamba tidak berani
menyentuhnya kecuali seizin Tuan Putri," tutur pengasuh ketiga.
Patih Rangga mengerutkan
keningnya. Ia kemudian menyuruh dua pengasuh sebelumnya masuk kembali. Bahkan,
Putri Kajal dimintanya ikut bergabung. Suasana jadi begitu tegang karena
biasanya Patih Rangga memang dapat segera menyelesaikan masalah apa pun yang
terjadi di dalam istana.
"Terus terang saja, aku tidak
bisa menemukan siapa yang telah mencuri tiara emas milik Putri Kajal. Ketiga
pengasuh yang menjadi tersangka dalam masalah ini semuanya lepas dari tuduhan
pencurian. Untuk itu, aku hanya bisa memutuskan kesalahan pada Putri Kajal.
Tentu saja bukan sebagai pencuri, melainkan telah lalai menjaga barang berharga
miliknya sendiri. Dan untuk kelalaiannya itu, Tuan Putri harus menerima
hukuman. Selama sebulan, Putri Kajal tidak boleh keluar dari kamar, kecuali
tiara emas itu dapat ditemukan," Patih Rangga mengeluarkan keputusan.
Putri Kajal terkejut. "Itu
tidak adil, Patih Rangga. Lagi pula apa yang dapat kulakukan selama sebulan di
dalam kamar? Aku juga ingin bermain di halaman istana, mengunjungi rakyatku,
membaca di perpustakaan, menyanyi di pendopo, dan lain-lainnya seperti biasa,”
protes Putri Kajal.
Patih Rangga tak mengeluarkan
suara. "Putusan ini tidak bisa diubah kecuali oleh Baginda Raja
Salman," kata Patih Rangga kemudian.
Putri Kajal menitikkan air mata.
Ia mulai menangis sedih. Ayahnya pasti tidak akan memenuhi permintaannya agar
Patih Rangga mengubah keputusannya karena dia tahu ayahnya begitu menghargai
setiap keputusan Patih Rangga.
Tiba-tiba saja, pengasuh pertama
bersujud di depan Patih Rangga. "Ampuni Putri Kajal, Patih Rangga.
Hambalah yang bersalah telah mengambil tiara emas milik Putri Kajal. Tapi,
hamba tidak bermaksud mencurinya, hamba hanya menyembunyikannya untuk sementara
waktu. Malam tadi, hamba masuk ke dalam kamar dan mengambil tiara emas itu dari
dalam kotak kayu. Hamba tahu tidak ada yang akan dicurigai dari kami bertiga
karena kami tidak pernah menyentuh kotak itu tanpa seizin Tuan Putri. Tiara
emas itu masih ada di dalam kamar. Hamba menyembunyikannya di kolong lemari
pakaian," tutur pengasuh pertama.
"Mengapa kau lakukan
itu?" tanya Patih Rangga.
"Hamba mempunyai seorang anak
lelaki di perbatasan kerajaan. Ia pemilik sebuah kedai. Kemarin, ia datang
menemuiku dan menceritakan ada segerombolan penjahat yang mabuk di kedainya.
Saat mabuk itu, seorang penjahat bercerita punya rencana untuk merampok Tuan
Putri saat melintas perbatasan. Mereka mengincar tiara emas milik Putri Kajal.
Hamba tidak ingin terjadi hal merugikan Tuan Putri, makanya sengaja hamba
sembunyikan tiara itu agar Tuan Putri tidak jadi pergi hari ini," kata
pengasuh pertama.
"Seharusnya, kau
memberitahukan hal itu padaku. Tapi baiklah, aku mengampunimu. Sekarang
ambilkan tiara emas itu. Tuan Putri tetap akan berangkat hari ini," titah
Patih Rangga.
Patih Rangga segera menyusun
rencana menjebak gerombolan penjahat yang akan merampok Putri Kajal. Berkat
kecerdikannya dan kesigapan prajurit istana, dua puluh penjahat berhasil
diringkus.
"Masalah ini tidak hanya
selesai dengan ditemukannya tiara emas milik Putri Kajal dan siapa pencurinya.
Bahkan, tidak cukup selesai dengan membatalkan rencana kepergian Putri Kajal.
Kerajaan harus mampu mengatasi kejahatan yang menjadi penyebabnya," kata
Patih Rangga ketika memberi laporan terhadap Raja Salman usai menjalankan
tugas.
****
NYI HERANG
(pemenang 2 Lomba Dongeng Bobo
2001)
Pada awal bulan ketujuh, Raja
Sagalaya selalu membuka lowongan kerja untuk abdi istana. Hal ini sekaligus
untuk mengurangi pengangguran di negerinya. Banyak perempuan yang melamar
sebagai pelayan istana. Di antara mereka, ikut juga seorang gadis kecil
berpakaian dekil. Ia menggendong seekor anak ayam dan menawarkan pada pelamar
yang sedang antre.
“Mengapa kau jual anak ayam itu?”
tanya seorang perempuan muda.
“Induknya mati. Aku tidak mampu merawatnya
lagi,” jawab pemilik anak ayam itu.
Perempuan muda itu akhirnya
membeli anak ayam itu.
“Mengapa Kakak ingin membelinya?”
tanya gadis kecil kumal itu.
“Karena nasib anak ayam ini sama
denganku. Hidup sebatang kara di dunia ini,” jawab perempuan muda.
Gadis kumal itu kemudian pergi.
Tak lama kemudian, datang dua petugas istana menghampiri si perempuan muda.
“Siapa namamu?” tanya salah satu
petugas.
“Namaku Nyi Herang dari Kampung
Cipancar,” jawabnya.
“Kamu dipersilakan langsung
bekerja di istana hari ini juga. Tugasmu adalah sebagai pelayan pribadi Puteri
Bungsu,” ujar petugas istana.
Nyi Herang terkejut dengan
pengangkatan tersebut. Demikian juga dengan pelamar lainnya. Tapi, setelah
petugas istana itu menjelaskan, barulah semua mengerti. Ternyata, gadis kecil
yang menjual anak ayam itu adalah Puteri Bungsu yang menyamar. Puteri Bungsu
rupanya ingin mencari sendiri pelayan untuk dirinya.
Nyi Herang sangat bahagia pada
hari pertamanya bekerja. Ia memang sangat ingin bekerja sebagai pelayan istana.
Tujuan utama Nyi Herang sebenarnya bukan untuk mencari nafkah, melainkan …
balas dendam!
Ya, Nyi Herang ingin membalas
dendam pada Pangeran Sulung. Dua bulan lalu, Nyi Herang berjualan di pasar
menemani ibunya. Saat itu, kebetulan Pangeran Sulung sedang berkunjung
mengawasi harga-harga di pasar ditemani pasukannya. Namun, saat berada di dekat
gerobak dagangan Nyi Herang, tiba-tiba kuda Pangeran Sulung mengamuk. Rupanya,
kuda itu kaget melihat belut yang dijual Nyi Herang, hingga Pangeran Sulung
terjatuh. Naasnya, ibu Nyi Herang terpelanting oleh tendangan kuda yang
ditunggangi Pangeran Sulung.
Sejak peristiwa itu, Nyi Herang dilarang
berdagang lagi di pasar. Padahal, luka dalam ibu Nyi Herang cukup parah. Karena
tidak mampu membeli obat, ibu Nyi Herang kemudian meninggal dunia.
Nyi Herang sangat sedih karena ia
jadi sebatang kara. Ia pun berniat membalas dendam kepada Pangeran Sulung.
Kini, Nyi Herang sudah berhasil
masuk ke istana. Ia sangat menyukai Puteri Bungsu yang baik hati. Namun, ia
tetap mencari jalan untuk mendekati Pangeran Sulung dan memberinya racun. Sudah
enam hari ia bekerja di istana, Pangeran Sulung belum juga tampak.
Suatu hari, Puteri Bungsu
memanggil Nyi Herang agar mengikutinya. “Temani aku menemui kakakku,” pinta
Puteri Bungsu.
Nyi Herang membuntuti Puteri
Bungsu dengan dada berdebar. Mereka masuk ke sebuah kamar besar. Akhirnya, saat yang dinantikan tiba juga, pikir
Ny Herang.
Tapi, alangkah terkejutnya Nyi
Herang ketika melihat Pangeran Sulung berbaring tidak berdaya. Apa yang terjadi
dengan Pangeran Sulung?
“Kakanda, bagaimana kabarmu? Ini
pelayan saya yang baru. Namanya Nyi Herang,” ucap Puteri Bungsu sambil
mendekati Pangeran Sulung.
Nyi Herang memaksa bibirnya untuk
tersenyum. Mata Pangeran Sulung hanya mengedip pelan. Puteri Bungsu mengecup
kening kakaknya. Setelah itu, ia pamit sambil menahan isak tangisnya. Di kamar,
Puteri Bungsu baru menumpahkan air matanya di depan Nyi Herang. Rupanya, selama
ini ia menyembunyikan kesedihannya di depan semua orang.
“Apa yang telah menimpa Pangeran
Sulung, Tuan Puteri?” tanya Nyi Herang yang tersentuh hatinya melihat kesedihan
Puteri Bungsu.
“Aku sendiri tidak tahu. Awalnya,
ia terjatuh dari kudanya di pasar. Tapi, kakakku hanya terkilir, belum separah
tadi. Lama-kelamaan, sakitnya makin parah. Seorang tabib mengatakan, penyakit
kakakku dikarenakan dendam seorang yang terluka hatinya. Sayang, Pak Tabib
tidak memberitahu orangnya,” papar Puteri Bungsu sambil mengusap air matanya.
“Apakah Tuan Puteri sangat
menyayangi Pangeran?” tanya Nyi Herang.
“Ya, aku sangat menyanginya. Saat
ini, melihat keadaannya aku sudah seperti kehilangannya,” jawab Puteri Bungsu.
“Hamba bisa merasakan kesedihan
Puetri Bunsgu. Hamba juga pernah merasakan kehilangan orang yang hamba
sayangi,” timpal Nyi Herang.
Puteri Bungsu masih sesegukan.
“Percayalah, Pangeran Sulung pasti akan sembuh. Asal
Tuan puteri sungguh-sungguh berdoa,” lanjut Nyi Herang.
Puteri Bungsu menganggukkan
kepala.
Sore harinya, Nyi Herang pergi ke
makam ibunya.
“Ibu, aku tahu Ibu tidak pernah
mengajarkanku menyimpan dendam di hati. Maafkan aku, Bu. Aku telah keliru
mendendam pada seseorang. Mulai sekarang, aku akan menghapus semua dendamku.
Dendam ini hanya akan menambah jumlah orang yang bersedih,” gumam Nyi Herang
sambil menatap gundukan tanah di depannya.
Satu minggu kemudian, kesehatan
Pangeran Sulung berangsur baik. Puteri Bungsu begitu gembira. Namun, sayang ia
tidak berhasil menemukan Nyi Herang, meski Puteri Bungsu telah menitahkan para
prajurit istana mencarinya.
*****
Rahasia Tarian Mohini
Ratu Raveena sangat senang
menyaksikan tarian. Itu sebabnya, setiap tahun ia mengundang empat penari
terbaik dari beberapa sanggar tari di negerinya untuk jadi penari istana. Tahun
ini, Ratu Raveena mengundang penari Madhuri, Menakshi, Manisha, dan Mohini
untuk jadi penari istana.
Seminggu dua kali, Ratu Raveena
menyaksikan tarian mereka. Seperti biasa, Ratu Raveena meminta mereka menari
bersama lebih dulu, setelah itu ia akan meminta salah seorang penari yang
dianggapnya terbaik untuk menari seorang diri.
Akhirnya, semua mengetahui bahwa
Ratu Raveena sangat menyukai tarian Mohini karena menari seorang diri. Hal ini
diam-diam menimbulkan kecemburuan pada penari lainnya.
“Aku heran, bagaimana mungkin Ratu
Raveena menganggap Mohini lebih baik dari kita bertiga,” ujar Madhuri di tempat
tinggal para penari. Saat itu, Mohini sedang pergi keluar.
“Mungkin, Mohini menggunakan
pengaruh sihir dalam tariannya sehingga Ratu Raveena terpikat padanya,” hasut
Menakshi.
“Tapi, sihir itu sudah dilarang di
negeri ini,” timpal Manisha.
“Kalian tahu sendiri, setiap sore
seperti sekarang ini ia selalu pergi ke hutan kecil di belakang istana. Mungkin
ia menemui seseorang yang bisa memberikannya kekuatan sihir pada tariannya,”
kata Menakshi.
Madhuri dan Menakshi hanya
menganggukkan kepala. Mohini kembali tak lama kemudian. Semua bersikap wajar di
depan Mohini. Namun, kecemburuan mereka makin mendalam.
Ketika Mohini berada di kamarnya
mempersiapkan diri untuk menari, secara tak sengaja kakinya menginjak duri di
lantai. Duri itu cukup dalam menembus kakinya. Darah menetes ketika Mohini
mencabut duri itu. Ia berusaha menahan sakit di telapak kaki dan membalutnya
dengan kain tipis sehingga tak terlalu kentara.
Mohini bertekad untuk tetap menari
malam itu. Sambil menahan sakit, ia berusaha menari sebaik mungkin. Namun
rupanya darah terus mengalir, hingga akhirnya Mohini pingsan di tengah
tariannya.
Ratu Raveena segera menitahkan dayang-dayang membawa
Mohini ke tempat peristirahatan. Sambil meunggu tabib istana merawat luka
Mohini, Ratu Raveena menitahkan penasihat istana untuk menyelidiki apa yang
terjadi.
“Hamba menemukan duri di lantai
kamar Mohini. Rupanya, ada seseorang yang sengaja meletakkan duri itu untuk
mencelakai Mohini. Menurut hamba, pelakunya adalah seorang dari tiga penari
lainnya,” lapor penasihat istana
kemudian.
Ratu Raveena segera memanggil tiga
penari lainnya untuk menghadapnya.
“Kalian segera akui kesalahan
kalian. Siapa di antara kalian yang telah sengaja mencelakai Mohini?” tanya
Ratu Raveena.
Tiga penari itu tak ada yang
berani membuka mulut.
“Baiklah, jika kalian tidak ada
yang mengaku. Maka, kalian bertiga akan dihukum,” putus Ratu Raveena kesal.
“Ja … ngan, Ibu Ratu,” tiba-tiba
terdengar suara Mohini yang mulai sadar dari pingsannya. Ia berusaha bicara
sekuat tenaga untuk mencegah ketiga temannya dihukum.
“Semua karena keteledoran hamba sendiri. Sore
tadi, hamba pergi ke hutan di belakang istana. Mungkin, saat itu ada duri yang nyangkut
di pakaian hamba tanpa hamba sadari. Duri itu kemudian jatuh di lantai kamar
dan mencelakai kaki hamba sendiri,” papar Mohini.
“Sebenarnya, apa yang kau lakukan
di hutan belakang istana?” tanya Ratu Raveena.
“Hamba hanya mematuhi nasihat guru
hamba agar tidak memanjakan diri dengan duduk bermalas-malasan di tempat yang
disediakan Ibu Ratu. Hamba senang bermain di hutan karena di sana hamba bisa
mengamati dengan jelas gerak-gerik binatang seperti kelinci, kijang, kupu-kupu,
dan lainnya. Dengan demikian, hamba dapat menari seperti gerakan mereka. Karena
tarian yang diciptakan para guru kami banyak yang berasal dari gerakan yang ada
di alam sekitar,” ungkap Mohini.
“Jadi, kamu berlatih menari di
hutan?” Ratu Raveena terkejut.
“Benar, Ibu Ratu. Aku menari
dengan iringan bunyi gesekan dedaunan serta kicauan burung hutan,” tambah
Mohini.
“Oh, sekarang aku baru mengerti mengapa
tarianmu lebih baik dari yang lainnya,” ujar Ratu Raveena.
Setelah itu, Ratu Raveena mencabut
keputusannya menghukum tiga penari lainnya. Ia juga meminta tiga penari lainnya
agar tetap berlatih meski telah menjadi penari mahir.
Tengah malam, ketika para penari
mulai terlelap, tiba-tiba Madhuri membangunkan Mohini.
“Mohini, bangunlah, Aku mau minta
maaf padamu. Sekaligus aku berterima kasih atas pembelaanmu siang tadi.
Sesungguhnya, akulah yang menyimpan duri-duri di kamarmu,” bisik Madhuri
menyesal.
“Sudahlah, Madhuri. Kita lupakan
kejadian tadi. Yang penting, kita semua harus kompak dan bersahabat,” timpal
Mohini setengah mengantuk.
“Tentu saja. Aku juga ingin
berlatih tari di hutan agar bisa sehebat kamu,” janji Madhuri sambil merangkul
Mohini.
Penjual
Tiga Pakaian
Sudah hampir satu bulan lelaki itu
berjualan di sudut pasar. Dengan suara lantang, lelaki yang hanya dapat melihat
dengan sebelah mata itu berteriak, ”Ayo, beli pakaian pembawa kekayaan ini! Ayo
beli!”
Mulanya, banyak yang tertarik
dengan teriakannya. Namun, ketika tahu harga sepotong baju sangat mahal, mereka
hanya menggerutu.
“Harga baju seperti itu dua puluh
keping emas? Yang benar saja. Itu sangat mahal!” seru banyak orang. Meski tak
ada lagi yang mendatangi, penjual pakaian itu terus berdagang. Hingga suatu
siang, lelaki bernama Arun mendekatinya.
“Pak, bolehkah aku tahu mengapa
harga baju-baju ini sangat mahal?” tanya Arun.
“Karena, setelah membeli baju
dariku, dia pasti akan mendapat sekantung emas dari raja,” jawab pedagang itu.
“Bagaimana caranya?” Arun
penasaran.
“Oh, itu baru akan kuberitahu jika
kau membelinya,” jawab si pedagang.
“Sejujurnya, aku ingin membeli
baju itu. Tapi, aku tidak punya uang. Bagaimana kalau kubayar setelah
kudapatkan sekantung emas dari raja?” bujuk Arun kemudian.
Pedagang baju itu kelihatan
bimbang.
“Ayolah, aku tak akan menipumu,”
rayu Arun.
“Baiklah, ambil baju yang satu
ini. Ini adalah pakaian pertapa. Temuilah Baginda Raja dengan berpakaian
seperti pertapa. Perkenalkan dirimu sebagai anak pertapa di Bukit Kabut Hijau.
Ingatkan Baginda Raja bahwa lima tahun lalu beliau pernah ditolong saat
tersesat di hutan,” tutur penjual pakaian.
Arun mengangguk sambil berusaha
mengingat-ingat cerita lelaki di depannya. Keesokan harinya, ia segera menemui
Baginda Raja dan melakukan semua yang dikatakan pedagang pakaian.
Tanpa menunggu lama, raja langsung
memberikan sekantung emas kepada Arun. Beliau juga menawarkan untuk menginap
dan makan malam bersama, namun Arun menolak dengan alasan harus segera pulang.
Sepulang dari istana, Arun tidak
langsung menemui pedagang pakaian. Ia malah berfoya-foya menghabiskan uang yang
didapatnya. Satu bulan kemudian, ia kembali menemui pedagang pakaian itu.
“Pak, maafkan aku telah ingkar
janji. Uang yang diberikan Raja telah dirampok di tengah jalan,” katanya
berdusta, “bagaimana bila kau jual lagi satu baju padaku?”
Melihat kesedihan Arun, penjual
pakaian itu mau memaafkannya. “Kalau begitu, bawalah baju yang kedua.
Menyamarlah dengan pakaian tabib itu dan katakan bahwa kau anak Tabib Sungai
Hitam. Lima tahun lalu, Baginda Raja pernah berobat padanya,” tutur pedagang
itu.
Keesokan harinya, Arun kembali
menemui Baginda Raja. Sama seperti sebelumnya, Arun mengulangi kejahatannya. Ia
menghabiskan uang itu sendirian dan baru menemui pedagang pakaian setelah
uangnya habis.
“Maafkan aku sekali lagi, Pak.
Uang pemberian Raja telah kusumbangkan kepada penduduk di kampungku karena
mereka terserang wabah penyakit,” ujar Arun dengan muka sedih. “Sekarang, aku
berjanji tak akan mengulanginya jika kau berikan baju yang ketiga.”
“Baiklah, bawalah pakaian prajurit
itu. Menyamarlah kau sebagai seorang parjurit bernama Gupta. Baginda Raja akan
senang menyambutmu. Ingatkan bahwa kau adalah prajurit yang hilang lima tahun
lalu,” kata pedagang pakaian.
Keesokan harinya, Arun menemui
Baginda Raja dengan menyamar dengan prajurit. Tetapi, alangkah kagetnya Baginda
Raja ketika Arun menyebut dirinya sebagai Gupta.
“Pengawal, tangkap orang ini! Dia
prajurit yang telah berkhianat padaku ketika terjadi peperangan lima tahun
lalu!” teriak Baginda Raja.
Arun meronta-ronta sambil
mengatakan bahwa dia bukan Gupta. Di ruang pemeriksaan Arun menceritakan segalanya,
termasuk pria pedagang pakaian itu.
Prajurit kerajaan segera menjemput
pedagang pakaian dan membawanya ke hadapan Baginda Raja. Ternyata Baginda Raja
mengenali pedagang pakaian itu.
“Bukankah kau Mustakh, pengawal
setiaku? Mengapa keadaanmu seperti ini sekarang?” tanya Baginda Raja.
Ya, penjual pakaian itu ternyata
bernama Mustakh. Lima tahun lalu, setelah terjadi perang ia terserang penyakit.
Karena tak terobati matanya menjadi buta sebelah. Ia malu untuk kembali ke
kerajaan. Sayangnya, ia tak bisa mendapatkan pekerjaan pengganti yang pantas.
Baginda Raja terharu mendengarnya.
Ia segera memberi Mustakh sebidang tanah untuk digarapnya mengingat jasa-jasa
Mustakh di peperangan. Sementara, Arun tetap dihukum sebagai seorang penipu.
*****