Saksi Mata
oleh Benny Rhamdani
Sudah beberapa minggu terakhir ini, anak-anak Pondok Jati gemar bermain sepak bola. Mereka bermain di tanah kosong di sebelah rumah Pak Wirja setiap selepas shalat Asar. Termasuk Dudi, yang biasanya lebih senang bermain kasti. Rupanya, kebiasaan Dudi bermain kasti terbawa pada permainan sepak bola. Beberapa kali bola yang harusnya ditendang dan disundul malah dipegangnya.
“Dudi, sebaiknya kamu jadi penjaga gawang saja kalau
nggak bisa menahan tanganmu agar tidak me-megang bola!” seru Jaya yang
ber-tubuh besar.
“Aku nggak mau,” tolak Dudi. Apa enaknya jadi
penjaga gawang? Pikirnya, nggak ada kesempatan memasukkan bola ke gawang
lawan.
“Kalau jadi penjaga gawang,
kamu boleh menangkap bola,” timpal Jaya.
“Daripada jadi penjaga gawang, lebih baik aku pulang,”
ancam Dudi.
“Pulang saja sana! Masih ada yang akan menggantimu!”
Jaya meng-usir tegas.
Dudi langsung memutar tubuh. Beberapa temannya ada yang
mencoba menahannya. Tetapi, Dudi berkeras hati meninggalkan lapangan.
“Alaaa … sudah, biar saja dia pulang!” teriak Jaya.
Anak-anak kembali bermain seolah tidak ada pertengkaran
antara Dudi dan Jaya. Pulangkah Dudi? Ternyata tidak. Ia bersembunyi tak jauh
dari pagar rumah Pak Wirja. Dipu-ngutnya sebuah batu. Dan, peristiwa yang
ditunggunya terjadi.
Jaya menendang bola dengan keras seperti biasanya. Bola
itu melompati pagar pembatas samping rumah Pak Wirja. Bersamaan dengan itu, Dudi melempar batu yang digeng-gamnya.
Prang!!!
Dudi segera kabur begitu mendengar bunyi kaca jendela yang pecah. Tiba di
rumah, Dudi langsung mandi, kemudian duduk santai di kamarnya sambil membaca
komik.
Namun, ia terkejut karena ibu
tiba-tiba memanggilnya. Dilihatnya Santi datang bersama Firman, teman-nya
bermain sepak bola tadi.
“Ada apa, San? Tumben datang kemari,” sapa Dudi sambil
meminta mereka duduk di teras.
“Bukan aku yang perlu, tapi Firman,”
timpal Santi buru-buru.
“Maksudku ke sini untuk minta tanggung jawabmu,” susul
Firman langsung.
Dudi mengernyitkan dahinya.
“Tentang kaca jendela Pak Wirja yang kamu pecahkan,”
sambung Firman.
“Apa? Jangan main tuduh sem-barangan! Kapan aku memecahkan kaca jendela Pak Wirja? Apa ada buktinya?” Dudi mengelak.
“Buktinya ada,” Firman menyo-dorkan batu yang terus
dibawanya. Batu itu tadi diberikan Pak Wirja. “Kamu tadi tidak langsung pulang
setelah ber-tengkar dengan Jaya. Kamu sengaja mencari cara untuk membalas sakit
hatimu pada Jaya. Kita semua tahu, Jaya sering menendang bola dengan keras
hingga masuk ke halaman rumah Pak Wirja. Tapi, selama ini belum pernah
memecahkan kaca jendela. Lalu, kamu menunggu Jaya melakukan tendangan keras.
Begitu bola itu melambung ke pagar rumah Pak Wirja, kamu melemparkan batu ke
jendela itu. Seolah-olah kaca jendela itu pecah karena bola. Begitu, bukan?”
“Mengapa aku yang mesti di-tuduh?” tolak Dudi.
“Pertama, kamu baru saja ber-tengkar dengan Jaya.
Kedua, batu yang ditemukan di dekat jendela itu ukur-annya menyerupai bola
kasti. Tanpa sadar, kamu memilihnya agar
mudah melemparkannya. Semua anak di kampung ini tahu, kamulah yang paling jago
melempar bola kasti,” papar Firman.
“Itu hanya dugaanmu saja. Belum kuat kalau nggak ada
saksi yang melihatnya,” sanggah Dudi berkeras hati.
“Saksinya ada. Akulah yang melihat semua perbuatanmu,”
Santi menyela.
Santi sedang membaca di teras balkon rumahnya saat
memergoki gelagat aneh Dudi. Dengan penuh kesadaran,
ia menemui Firman begitu kelompok anak-anak yang bermain bola itu dimarahi dan
diusir Pak Wirja.
Dudi menelan ludah menyadari kebodohannya. Ia baru
ingat kalau rumah Santi berseberangan dengan rumah Pak Wirja.
“Masih mau mengingkari?” tanya Firman.
Dudi menggeleng. “Maafkan aku. Tadi, aku benar-benar
sedang kesal,” malu-malu Dudi mengakuinya.
“Jangan minta maaf padaku saja!
Kamu harus minta maaf pada teman yang lain karena gara-gara kamu, kami
semua dimarahi Pak Wirja. Kamu juga harus minta maaf pada Pak Wirja dan
menjelaskan semua yang terjadi. Dan tentu
saja, kamu harus mengganti kaca jendela yang pecah itu. Kamu berani
melakukannya?” tanya Firman.
Dudi mengangguk sambil meng-garuk kepalanya.
“Hehehe …, tentu saja
Dudi berani. Masa, sih,
berani berbuat nggak berani bertanggung jawab.
Bukan kesatria,
dong, namanya …!” seru Santi sambil tersenyum.
Dudi mengangguk lagi. Mukanya bertambah pucat. Uh,
semua gara-gara ia tidak bisa menahan kekesalannya, rutuk Dudi dalam hati.
No comments:
Post a Comment