Luki Temanku
oleh Benny Rhamdani
"Panggil aku Luki," begitu ia selalu memperkenalkan dirinya. Nama panjangnya Yuli Lukita. Tetapi ia tak mau dipanggil Yuli ataupun Ita. Katanya, nama Luki lebih bagus, mirip-mirip nama anak lelaki.
Luki temanku memang agak aneh. Ia senang melakukan apa yang dilakukan anak lelaki. Memanjat pohon, main kelereng, atau main layang-layang. Bahkan waktu istirahat di sekolah, ia tak pernah mau bergabung dengan anak perempuan sepertiku untuk main lompat karet. Luki lebih suka main benteng-bentengan atau galasin di halaman sekolah, bergabung dengan anak lelaki.
Hubunganku dengannya tidak terlalu akrab. Lucu, ya? Soalnya kami duduk sebangku. Pernah sekali aku menegurnya karena rambutnya yang biasa dikuncir dua itu tahu-tahu dipotong pendek.
"Kenapa kamu potong, Luk? Sayang kan. Rambut kamu kemarin itu bagus," kataku waktu itu.
"Ah, aku malas berambut panjang. Gerah."
"Tapi..."
"Ala, sudah jangan cerewet kaya nenek-nenek! Ini kan rambutku. Jadi mau kuapakan rambut ini, ya terserah aku," sungut Luki.
Sejak itu aku tidak mau lagi mengusiknya. Kubiarkan saja Luki dengan kebiasaan dan kesenangannya, selama kupikir tak mengganggu aku. Luki tetap aneh bagiku, sampai sekarang.
Hari Rabu, jam pelajaran pertama adalah olah raga. Kami sekelas tentu saja senang. Setelah berganti pakaian olah raga, kami langsung berkumpul di halaman. Aku kaget ketika yang menghimpun kami bukannya Pak Jadi, guru olah raga kami, melainkan Bu Yayuk, Ibu Kepala Sekolah.
"Pagi ini kalian olah raga sendiri. Pak Jadi tak bisa mengajar karena mesti mengikuti penataran. Nah, buat anak lelaki kalian boleh main bola kaki. Sedang anak putrinya boleh olah raga apa saja," seru Bu Kepala Sekolah.
"Anak putrinya boleh ke ruang senam, Bu?" tanya Asti.
"Boleh saja. Nah, Ibu harap tidak ada yang meninggalkan lapangan sebelum Ibu beri tahu," pesan Bu Yayuk. Setelah itu ia pergi meningalkan kami.
Kami pun bersorak girang. Anak-anak lelaki langsung mengambil bola kaki dari ruang olah raga. Sementara aku bergabung dengan teman-teman perempuanku ke ruang senam.
"Sandra, aku tidak ikut ke ruang senam ah," ujar Luki mencegat langkahku.
"Memangnya kamu mau olah raga apa, Luk?" tanyaku heran.
"Aku mau main bola kaki saja."
Aku membelalakkan mata. "Itu kan mainan anak lelaki," timpalku.
"Biar saja, aku juga bisa kok menendang bola. Atau jadi penjaga gawang."
“Terserah kamu deh, kalau memang itu maupun. Eh, aku boleh nonton kamu main bola?" tanyaku sambil berbalik arah.
"Kenapa tidak ikut main saja?" Luki malah balik bertanya.
Aku merinding sambil membayangkan bola kulit yang siap menghantam tubuhku. 'Tidak, ah! Aku takut sama bolanya. Bola yang tidak kutakuti cuma bola bekel dan bola pingpong," jawabku setengah bergurau.
Akhirnya aku tidak jadi ke ruang senam. Aku duduk di sisi lapangan. Luki benar-benar ikut main bola. Mulanya Joko menolak. Tetapi setelah adu mulut dengan Luki, akhirnya Joko memperbolehkan Luki ikut main bola kaki. Luki kelihatan senang sekali. Apa lagi ia menjadi penjaga gawang. Biarpun lapangannya lebih kecil dari lapangan sepak bola yang sebenarnya, tetapi aku tetap tidak mau seandainya diajak main bola.
Pertandingan berjalan seru. Kedua kelompok saling menyerang bergantian. Sampai tiba ketika gawang yang dijaga Luki diserang. Luki tampak siap. Di depannya tampak Edwin menggiring bola. Kaki Edwin kemudian menendang bola itu dengan keras ke gawang. Aku melihat Luki berusaha menangkap bola itu, tetapi gagal. Bola itu menumbur pada perutnya.
Aku menjerit kaget. Mendadak aku kuatir karena kulihat Luki kesakitan memegang perutnya. Buru-buru kuhampiri Luki.
"Sakit ya, Luk? Sudah jangan main lagi," usulku cemas.
Luki mengangguk. Ia lalu bilang pada Joko tidak mau main lagi. Aku menuntunnya ke sisi lapangan.
"Sakit sekali, Luk? Kita ke ruang P3K saja yuk. Kamu bisa berbaring di sana," aku memberi usul lagi.
“Tidak usah. Kita duduk di sini saja." Ia lalu duduk di atas kursi yang tersedia di sisi lapangan. Aku memandangnya dengan penuh kecemasan.
"Tadi kan sudah kubilang kalau permainan itu buat anak lelaki. Tapi kamu ngotot juga. Akibatnya begini. Perutmu tidak kuat kena serudukan bola," kataku. Kulihat Luki tidak begitu peduli dengan ucapanku. Ia malah asyik memandang ke tengah lapang menyaksikan permainan bola kaki.
"Kamu kapok kan, Luk?" tanyaku.
"Sama sekali tidak. Besok-besok aku pasti main bola lagi dengan mereka. Hari ini aku memang sedang sial saja, hingga perutku kena bola," jawab Luki membuatku terperanjat kaget.
Ah, Luki... Luki. Ternyata kamu memang temanku yang aneh. Apa yang dikatakannya memang menjadi kenyataan. Besok-besok ia masih tetap menjadi Luki yang suka dengan permainan anak lelaki. Bahkan ia jadi tambah sering main bola kaki.
Apakah di antara kalian ada yang mempunyai teman seperti Luki, temanku itu?
No comments:
Post a Comment