Friday, June 06, 2008
CERNAK, 8 Juni 2008
Pelajaran Buatku
Oleh Benny Rhamdani
Sejak kenaikan harga BBM ada saja yang membatasi kesenanganku. Segalanya berubah jadi tak nyaman. Apalagi Mama dan Papa membuat aturan yang membuatku mengada-ada. Bukan hanya Mama dan Papa, tapi juga Kak Rani dan Kak Indra.
“Fajar, jangan main game melulu. Boros listrik. Kita harus hemat listrik. Matikan teve dan game-nya,” kata Kak Indra saat aku asyik bermain game.
“Fajar, lampu kamarnya jangan dinyalakan terus. Kalau sudah siang ya matikan. Kalau mau tidur nyalakan lampu tidurnya saja. Kita semua sudah berjanji untuk hidup lebih hemat, kan?” kata Kak Rani tak kalah cerewet.
Aturan dari Mama lebih banyak lagi. Aku tidak boleh berlama-lama di kamar mandi, apalagi sampai menghabiskan air setengah bak mandi. Aku juga tidak boleh setiap hari mencuci sepedaku dengan air bersih. Pokoknya yang berurusan dengan hemat air, Mama paling cerewet.
Aturan dari Papa tak banyak. Papa hanya meminta aku tidak terlalu lama menggunakan telepon. Semua isi rumah sama-sama harus berhemat karena gaji Papa belum naik. Sementara uang belanja Mama harus naik, uang transport kami semua juga naik.
“Daripada banyak main game, mendingan baca buku. Membaca buku itu bikin kita tahu banyak hal,” kata Kak Indra.
“Tapi aku bukan kutu buku kayak Kak Indra. Lagipula, aku nanti takut berkacamata tebal kayak Kak Indra,” jawabku.
“Kak Indra berkacamata bukan karena membaca buku. Tapi karena kebiasaan Kak Indra yang kurang baik saat membaca dulunya. Membaca sambil tidur-tiduran. Ya, kalau Kak Indra tahu dari dulu, Kak Indra juga tidak akan membaca sambil tidur-tiduran,” kata Kak Indra.
“Ya, sama saja,” kataku sambil meninggalkan Kak Indra.
Tadinya aku berniat bersepeda ke luar rumah. Tapi sejam lalu baru saja hujan lebat. Jalanan pasti becek. Nanti sepedaku kotor. Artinya aku harus membersihkannya. Dan bila aku mencuci sepedaku dengan air bersih, pasti Mama ngomel lagi.
“Harusnya tadi kamu tampung air hujan di pancuran buat mencuci sepeda,” begitu pasti nanti kata Mama.
Padahal aku lupa tadi menampung air hujan di cucuran atap.
Aku terus berjalan menyusuri jalan komplek hingga keluar komplek. Aku akhirnya menuju rental penyewaan game. Aku tidak membawa uang. Jadi aku hanya duduk saja di dekat meja kasir sambil melihat anak-anak yang sedang bermain game.
Penajaga kasir di rental itu namanya Anto. Dia temanku di klub sepakbola. Umurnya dua tahun lebih tua dariku. Tapi dia tak tampak seperti lebih tua dariku karena tubuhku yang besar, sedangkan dia kecil. Mungkin dia sekarang harusnya sudah kelas dua SMP. Tapi aku tahu dia tidak sekolah lagi.
“Bapakku sakit-sakitan tidak bisa cari uang lagi. Ibuku jadi buruh cuci, uangnya hanya cukup untuk makan kami. Syukur kalau ada uang lebih bisa buat beli obat,” kata Anto.
Karena itulah Anto di rental ini sebagai kasir sekaligus penjaga rental di siang hari. Katanya sih, gajinya tidak besar, tapi dia ingin menabung gajinya untuk melanjutkan sekolah.
“Fajar, mukamu kok kelihatan lesu begitu?” tanya Anto saat aku mendekat.
“Aku lagi kesal sama peraturan di rumah. Ini dilarang, itu dilarang. Alasannya harus hemat listrik, hemat air, hemat energi,” jawabku.
“Tapi kan kamu tidak dilarang sekolah. Jadi harusnya kamu bersyukur,” kata Anto.
“Aku lebih suka kayak kamu. Bisa cari uang sendiri dari kecil. Jadi mau apa-apa pakai uang sendiri,” kataku.
“Ah, jangan begitu. Uangku tidak banyak. Enakan juga sekolah, nanti kalau sekolahnya tinggi dan selesai baru cari uang. Pasti jumlahnya lebih banyak,” kata Anto.
“Iya, tapi banyak aturannya,” protesku.
“Memangnya bekerja tidak pakai aturan? Aku bekerja di sini juga banyak larangannya. Aku dilarang meninggalkan rental seenaknya. Kadang mau ke kamar kecil saja kalau lagi ramai, aku tidak bisa lakukan. Aku juga tidak bisa bolos kerja,” kata Anto. Aku langsung bersungut. Sebal juga karena Anto tidak mendukungku.
“Sudahlah, Fajar, jangan cemberut. Mukamu jadi jelek. Main game saj sana. Di nomor sembilan kosong tuh!” kata Anto.
“Aku tidak bawa uang. Memangnya boleh utang?” tanyaku.
“Sudah main saja sana gratis. Tapi nanti kalau ada tamu yang mau main, kamu berhentidulu,” kata Anto.
“Nanti boss kamu marah,” tolakku.
“Bossku baru datang sore nanti. Sudah main sana!” kata Anto.
Aku pun bermain game meskipun tidak enak hati. Tapi lebih tidak enak hati lagi menolak kebaikannya.
Selama satu jam aku bermain gratis. Aku berhenti ketika ada anak yang ingin bermain game. Kemudian aku menemai Anto menjaga rental. Karena Anto pandai menghibur dengan cerita-cerita lucunya, rasa kesalku jadi hilang. Saat azan ashar berkumandang aku melangkah pulang.
Keesokan harinya sepulang sekolah aku menemui Kak Indra.
“Kak Indra, punya buku-buku bacaan yang bisa dipinjam nggak?” tanyaku.
“Wah tumben nanyain buku. Jangan-jangan sebentar lagi hujan salju,” ledek Kak Indra.
“Bukan buatku. Anto yang jaga rental kemaren tanya, apa boleh pinjam buku buat bacaan saat menjaga rental atau di rumahnya,” kataku.
“Oh, Anto teman main sepbakbolamu itu. Ya, ambil saja yang dikardus itu. Itu novel dan beberapa buku bacaan petualangan yang asyik. Itu koleksi lama. Tadinya mau Kak Indra sumbangin ke perpustakaan kampong. Tapi kalau Anto suka membaca, lebih baik kasih ke dia saja,” kata Kak Indra.
Aku langsung membawa kardus itu. Lumayan banyak juga. Aku membawanya dengan sepeda ke rental tempat Anto bekerja. Untung hari tidak hujan.
Begitu sampai sdi depan rental aku melihat ke meja kasir bukan Anto yang bekerja, tapi pemilik rental.
“Pak Kadir, Anto tidak masuk?” tanyaku.
“Tadi dia buru-buru sekali pulang,” kata Pak Kadir.
“Kenapa, Pak?” aku mencemaskan keadaan ayah Anto yang sakit-sakitan.
“Enggak tahu. Katanya ada masalah ramie-rame di kampungnya,” jawab Pak Kadir sambil sibuk meladeni penyewa game yang mau membayar.
Aku segera meraih sepedaku dan mengayuhnya ke perkampungan Anto tinggal. Letaknya lumayan jauh. Tapi dengan sepeda dan memotong jalan aku bisa menmpuhnay dengan cepat.
Aku kaget ketika sampai perkampungan itu. Di depanku, aku melihat ebberapa petuigas berseragam mengusir warga. Jumlah petugas itu banyak sekali. Lalu ada kendaraan besar buldoser berjalan di antara rumah-rumah kayu. Sebagian sudah roboh kena lindas.
Beberapa warga kampong kulihat marah, menangis dan kesal. Ada juga yang membawa karton bertuliskan: JANGAN GUSUR RUMAH KAMI.
Setelah mencari-cari, akhirnya aku menemukan Anto di antara kerumanan warga. Dia berdiri mematung bersama keluarganya di antara tumpukkan barang-barang yang tak seberapa mahal.
“Anto, kamu tidak apa-apa, kan? Rumah kamu kena gusur? Bagimana kamu tinggal?” tanyaku bingung.
Anto menggeleng pelan. “Kami baik-baik saja. Sudah biasa kami digusur. Ini yang kelima kalinya rumah kami digusur ….”
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Airmataku jatuh karena sedih.
Tes.
*******
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment