Jangan Lewat Sana!
Oleh Benny Rhamdani
“Jangan lewat sana!”
“Kenapa?” Aku heran Rani malah menyuruh kami berjalan lurus, bukannya belok.
Di perempatan jalan ini, baik lurus maupun belok kanan nantinya akan tiba ke rumah Rani. Cuma kalau jalan lurus akan lebih jauh jaraknya. Jalan lebih singkat ya belok kanan.
“Aku mau ke toko Pak Ahmad dulu,” jawab Rani.
“Di dekat rumahmu kan ada minimarket. Jauh lebih lengkap,” kilahku.
“Aku sudah cari kok. Barangnya nggak ada di sana,” kata Rani.
Kami mengayuh sepeda masing-masing lebih cepat. Rencananya, pulang les ini Rani ingin meminjami aku buku cerita serial Kelas Ajaib. Aku sudah baca seri pertamanya, Inilah kelas Paling Ajaib. Sangat bagus ceritanya. Nah, Rani sudah membeli dua buku lainnya dari seri itu, yakni Makin Seru di Kelas Ajaib dan Saatnya Menjerit.
Menjelang Toko Pak Ahmad aku memelankan kayuhan. Soalnya Rani kan harus ke toko itu. Tapi …
“Katanya mau ke toko Pak Ahmad dulu?” tanyaku heran karena Rani melewati begitu saja toko Pak Ahmad.
“Aku lupa bawa uangnya,” jawab Rani cepat seperti sudah menyiapkan sejak lama.
Kami mengayuh sepeda lebih cepat lagi. Kalau lewat jalan yang belok kanan tadi, mungkin kami sudah sampai. Lewat jalan ini kami harus memutar lagi. Untung kakiku masih baik-baik saja ketika sampai rumah Rani. Dan rasa capekku terbayar dengan dua buku yang dipinjamkan Rani.
Aku pulang buru-buru setelah mendapat dua buku dari Rani. Aku ingin sampai rumah sebelum magrib. Tentu saja aku tidak mau mengambil jalan memutar. Aku lewat jalan yang lebih dekat.
“Andini!”
Aku mendadak menerem sepadaku. Aku menoleh. Kulihat teman sekelasku, Fira, datang mendekat setengah berlari.
“Dari mana kau?” tanya Fira.
“Rumah Rani pinjam buku.”
“Oh … kok tadi tidak kulihat lewat sini?” Fira bertanya lagi.
“Mutar.”
“Oh ….”
“Aku pulang ya. Harus buru-buru sampai rumah,” kataku. Setelah Fira mengangguk aku langsung melanjutkan kayuhan sepedaku.
Keesokan paginya di kelas aku langsung berkomentar tentang buku yang kupinjam. Belum tamat semua kubaca, tapi aku ingin mengomentarinya ketika jam istirahat.
“Rani, aku suka bukunya. Memang benar katamu, lebih asyik. Aku jadi makin penasaran. Oh iya, waktu pulang kemarin aku bertemu Fira.”
“Oh iya? Dia bilang apa saja?”
“Tidak ada yang penting sih,” kataku.
“Jangan ke sana! Kita ke kantin lain saja,” kata Rani tiba-tiba.
Kami tengah berjalan menuju kantin. Ada dua kantin di sekolah. Satu berjalan lurus dari koridor sekolah di dekat meshola, satunya lagi berbelok dekat perpustakaan.
“Lho, katamu nggak suka jajanan di kantin dekat perpustakaan?” tanyaku heran.
“Sesekali kan nggak apa-apa,” jawab Rani.
Aku menurut saja. Aku memang terbiasa jajan bareng Rani di saat istirahat. Lumayan mengirit uang sakuku, karena Rani suka mentraktir.
Tiba di kantin dekat perpustakaan, Rani kelihat bingng memilih jajanan. Kalao di kantin dekat mushola biasanya Rani akan memesan batagor atau mie ayam. Tapi di kantin ini tidak ada. Lebih banyak kue-kue basah dan kering.
Akhirnya Rani mengambil roti keju dan teh botol, begitu juga aku. Lalu Rani membayar semuanya. Sepertinya Rani kurang puas dengan acara mengisi perut istirahata kali ini. Tapi makanan yang dijualtidak disukainya. Akhirnya kami kembali ke kelas.
“Rani, kamu menganggap aku sahabat, kan?” tanyaku begitu duduk di kelas.
Rani mengerutkan keningnya. “Tentu saja. Kalu tidak, untuk apa aku meminjamkan buku-bukuku kemarin, juga mentraktirmu jajan tadi,” kata Rani.
“Iya. Tapi sahabat itu nggak cuma meminjam atau membelikan sesuatu,” kataku.
“Maksudmu?” Rani heran.
“Sebenarnya ada masalah apa sih? Kamu merahasiakan sesuatu dariku. Iya, kan?” tanyaku lagi.
Rani terdiam, lalu mengangguk.” Bagaimana kamu tahu?”
“Iya, soalnya dari kemarin kamu selalu aneh. Sepertinya kamu sedang menghindari seseorang. Kamu kemarin mengajak berputar, lalu hari ini menghindari kantin dekat mushola. Siapa orang yang kamu hindari itu?” tanyaku.
“Fira,” jawab Rani.
“Hah? Fira? Bukankah kalian sudah bermaafan?” tanyaku.
Ya, kemarin memang Rani dan Fira bertengkar di kelas. Gara-gara Fira meledek Rani karena mendapat nilai jelek di ulangan matematika. Menurut Rani, biarpun jelek ia sudah berusaha mengerjakannya sendiri. Sedangkan Fira mendapat nilai bagus karena mencontek dari Salsa, teman sebangkunya.
Bu Aminah langsung melerai mereka. Keduanya kemudian diminta saling memaafkan dan bersalaman. Ya, kupikir masalahnya berhenti sampai situ.
“Aku masih dendam sama Fira. Bahkan aku membencinya,” kata Rani.
“Ah … mudah-mudahan jangan lama-lama mendendam dan membenci nya. Soalnya kita yang akan rugi,” kataku.
“Kok kita yang rugi?” Rani heran.
“Iya. Jadinya kita selalu berusaha menghindari orang yang kita benci itu. Ke mana-mana kita berusaha menghindarinya. Akhirnya kita sendiri yang capek dan kesal, sementara orang itu belum tahu kita mbenci atau tidak,” jelasku.
Rani terdiam sebentar. “Ya, sebenarnya aku tidak mau membenci Fira. Tapi setiap aku ingat kejadian itu, aku jadi membencinya,” kata Rani kemudian.
“Nah, sekarang jangan ingat yang kemarin. Coba ingat kebaikan-kebaikan Fira. Ingat, dulu siapa yang membantu kamu ketika jatuh dari sepeda dan hampir ditabark truk. Lalu siapa yang datang hujan-hujan ke rumahmu mengantar kalkulatormu yang tertinggal di kelas? Fira, kan?”
Rani mengangguk. “Ya, Fira juga yang pertama menjenguk aku ketika sakit demam berdarah tahun lalu, bahkan dia yang mencarikan aku jus jambu batu. Dan … duh lebih banyak kebaikan Fira ketimbang hal-hal yang menjengkelkan darinya,” kata Rani.
“Ya, sudah. Jangan hanya satu kesalahan, kita lupakan kebaikannya yang banyak itu. Apalagi kalian sudah saling memaafkan,” kataku sambil menarik napas.
“Terima kasih, Andini. Kamu telah mengangatkan aku. Kamu memang sahabat sejatiku,” kata Rani.
Aku tersenyum. Inilah enaknya punya seorang sahabat. Apakah kalian juga punya sahabat?
^_^
No comments:
Post a Comment