Sahabat yang Pelupa
Nenek Tomboi mengajak Fira mengunjungi seorang sahabatnya.
Sebelum berangkat, Nenek Tomboi memberi satu pesan penting kepada Fira.
“Namanya Manisha. Tapi, dia paling tidak suka dipanggil
Nenek, jadi kamu bisa memanggilnya Tante Manis,” ucap Nenek Tomboi.
Fira mengangguk. Lalu, dengan mobil centil yang dipinjam
dari papa, mereka berangkat menuju kediaman Tante Manis. Sahabat Nenek Tomboi
itu tinggal di sebuah apartemen seorang diri.
“Sebenarnya, Tante Manis punya dua anak yang sudah
berkeluarga. Tapi, mereka tinggal di luar Jawa, sementara Tante Manis tak mau
meninggalkan Jakarta. Jadi, Tante Manis memilih tinggal di apartemen,” urai
Nenek Tomboi di perjalanan.
Fira hanya manggut-manggut. Dia sudah tak sabar ingin
melihat tempat tinggal Tante Manis. Selama ini, Fira belum pernah melihat
langsung isi apartemen. Paling-paling hanya bentuk bangunannya dari luar. Kata
mama, tinggal di apartemen itu enak. Tapi, papa bilang, enak tinggal di rumah
biasa yang punya halaman sehingga bisa menanam pepohonan. Lagi pula, kamar
apartemen sempit untuk ditinggali lebih dari tiga orang.
“Kalau untuk ditempati sendirian mungkin enak. Tapi, kita
kan tak selamanya hidup sendirian. Bagaimana kalau ada saudara dari luar kota
yang ingin menginap?” tambah papa.
Hmmm … benar juga ya, kata papa, pikir Fira. Kadang, di
rumah yang besar saja, kalau sedang kedatangan rombongan saudara dari luar kota
sudah penuh sesak. Apalagi di apartemen!
Mobil yang dikendarai Nenek Tomboi masuk ke pelataran sebuah
kompleks apartemen. Mereka melewati pos pemeriksaan terlebih dahulu. Dua orang
memeriksa bagasi sampai kolong mobil. Seorang berseragam kemudian menanyai
maksud kedatangan mereka. Setelah Nenek Tomboi menjelaskan, petugas itu
langsung memberi petunjuk tempat parkir.
Di kompleks itu ada dua gedung tinggi berlantai sepuluh.
Dari tempat parkir, Fira melihat lapangan tenis dan kolam renang. Nenek Tomboi
kemudian mengajak Fira ke salah satu gedung. Lagi-lagi, seorang petugas
apartemen di dalam menanyai Nenek Tomboi.
“Maaf, apa sudah ada janji berkunjung?” tanya petugas itu
sambil terseyum.
“Sudah,” jawab Nenek Tomboi singkat.
Kemudian, petugas itu meminta Nenek Tomboi mengisi buku
tamu. Fira menarik napas. Repot juga mau berkunjung ke apartemen.
“Tidak apa-apa. Ini demi keamanan,” bisik Nenek Tomboi
seolah mengerti kejengkelan Fira.
Fira kemudian diajak Nenek Tomboi naik lift menuju lantai
sembilan. Ke luar dari pintu lift, Fira masih harus menyusuri lorong apartemen
itu. Sampai akhirnya, di sebuah ruang yang pintunya sedikit terbuka.
“Assalamu `alaikum!” Nenek Tomboi mengucapkan salam sambil
membuka pintu itu.
Fira mengikuti Nenek Tomboi masuk. Seperti Nenek Tomboi,
Fira juga terkejut ketika melihat isi ruangan tamu yang berantakan. Lebih
berantakan dari kamar Bang Fadil. Pintu yang terbuka dan ruangan tamu yang
berantakan! Jangan-jangan … mungkinkah ada pencuri masuk?
“Ssst …!” Nenek Tomboi memberi kode kepada Fira agar tak
menimbulkan suara. Nenek Tomboi memasang posisi sigap. Ya, Nenek Tomboi juga
mencurigai ada yang tak beres di ruangan itu?
Bagaimana mungkin ada pencuri di tempat yang penjagaan
keamanannya sangat ketat begini? pikir Fira.
Tiba-tiba, terdegar suara yang mengejutkan mereka dari
satu-satunya kamar.
“Mmmbbbppp … aduhh …!”
BRUK!
Nenek Tomboi segera menerobos masuk kamar. Fira sudah
membayangkan Tante Manis yang tengah disumpal mulutnya dan diikat tangannya
oleh pencuri yang masuk. Tapi, begitu masuk ke kamar itu, Fira malah menemukan
Tante Manis sedang tengkurap di lantai berkarpet. Di dekat muka Tante Manis,
ada potongan donat yang terlempar dari mulut. Yang mengherankan, kamar itu pun
berantakan!
“Aduh, maaf! Sudah datang rupanya?!” kata Tante Manis sambil
berdiri. Tubuh Tante Manis lebih gendut ketimbang Nenek Tomboi. Bisa ditebak,
pasti Tante Manis doyan makan.
Nenek Tomboi memeluk hangat Tante Manis. Kemudian, giliran
Fira menyalami Tante Manis.
“Penyakit lupanya makin parah, ya? Itu pintu, kok, dibiarkan
terbuka?” tegur Nenek Tomboi.
“Astagfirullah! Iya, tadi ada tukang cuci yang mengambil
pakaian kotor. Karena aku sedang buru-buru, pintunya lupa kututup rapat.
Duduklah. Aku buatkan ….”
“Enggak usah repot-repot. Sekarang, jelaskan dulu kenapa
ruang di sini semuanya berantakan?” cegah Nenek Tomboi.
“Oh … ini karena kamu mau datang.”
Lho, mau kedatangan tamu kok, malah berantakan? Fira
bertanya heran dalam hati.
“Masih ingat enggak, dulu kamu pernah memberi hadiah jam
beker ayam?” lanjut Tante Manis.
“Hmmm … ya! Itu sudah lama sekali. Tiga puluh tahun lalu!”
“Nah, biar begitu aku masih menyimpan. Aku tuh, ingin
menunjukkan padamu lagi jam beker itu. Jadi, kamu senang karena sahabatmu itu
tetap merawat setiap benda yang kamu berikan,” kata Tante Manis.
“Lalu, apa hubungannya dengan ruangan yang berantakan ini?”
“Aku bingung mencari jam beker itu. Aku masih ingat tiga
hari lalu masih memainkannya, tapi lupa menyimpannya,” jelas Tante Manis.
“Oooh …,” Fira dan Nenek Tomboi memonyongkan mulutnya
kompak.
“Mumpung sekarang ada mantan polwan, aku bisa minta bantuan
sekalian mencarikan jam beker itu,” ujar Tante Manis.
Nenek Tomboi tersenyum. “Langkah pertama, kamu harus
mengingat benar saat-saat terakhir dengan jam beker itu. Biar jelas, jam itu
hilang atau dicuri .…”
“Justru itu! Aku lupa!” Tante Manis menggaruk-garuk
kepalanya yang ditumbuhi rambut putih.
“Aku sudah bilang, seharusnya kamu membuat catatan biar
enggak lupa. Ya, sudah, sekarang kita cari ulang dari kamar!” putus Nenek
Tomboi.
Mereka pun masuk ke kamar. Sementara itu, Fira mengitari
ruang tamu yang menyatu dengan dapur. Dia ikut mencari kalau-kalau ada tempat
yang terlewat. Sampai akhirnya, Fira melihat bagian tembok yang ditempeli
telepon. Tembok itu penuh coretan. Mungkin, karena buku catatannya habis, Tante
Manis suka mencatat hal-hal penting di tembok saat menelepon.
Fira terpaku ketika membaca tulisan tangan di tembok itu.
Pak Joko, Jam Beker, 13.00!
Wah, ini pasti ada hubungannya! pikir Fira. Dia buru-buru
menyusul ke kamar. “Aku tahu di mana jam beker itu sekarang!” teriak Fira
kemudian.
“O, iya? Di mana ketemunya?” tanya Nenek Tomboi.
“Di tembok.”
“Di tembok? Kok, bisa?”
“Aha!” teriak Tante Manis kemudian. “Tembok telepon, kan?”
Mereka kemudian pindah ke tembok telepon. Fira menunjuk
catatan di tembok. Menurut Nenek Tomboi, itu namanya petunjuk.
“Ya, sekarang aku ingat. Tiga hari lalu, ketika aku
melihat-lihat jam beker itu, tahu-tahu bagian jarum detiknya lepas. Aku lantas
menelepon Pak Joko, tukang servis jam, datang kemari. Kemudian, Pak Joko
memeriksa jam itu. Katanya, ia harus membawa pulang untuk membetulkannya. Lalu,
aku menelepon kemarin, katanya Pak joko akan mengantar jam, beker itu hari ini,
pukul satu siang! Ya, aku lupa hal itu
….”
Nenek Tomboi mendengus. cuma gara-gara pelupa, seluruh
ruangan bisa jadi berantakan!
“Kalau pukul satu siang, berarti semenit lagi, dong!” seru
Fira.
Benar saja. Tahu-tahu terdengar bunyi bel berbunyi. Ketika
Tante Manis membuka pintu, ternyata yang datang Pak Joko sambil membawa jam
beker yang sudah diperbaiki.
“Waduh, kok berantakan begini, ya?” Pak Joko juga heran
melihat ruangan yang acak-acakan.
Akhirnya, acara hari itu adalah merapikan ruangan apartemen
yang ditempati Tante Manis. Baru kemudian mereka pesta makan pizza. Hmmm …,
kalau urusan makanan sih, Tante Manis enggak akan pernah lupa!
No comments:
Post a Comment