Dunia Leyka
Leyka sedang membaca bukunya saat sebuah suara tiba-tiba
terdengar di lantai dekat jendela. Bruk! Leyka langsung menoleh, dan melihat
seorang anak lelaki berusaha berdiri. Pakaiannya tidak umum. Selempang hijau,
sepatu boot cokelat, juga topi kulit dengan sehelai bulu ayam menancap di sisi
kanan.
“Kamu Peter Pan?” tanya Leyka sambil melihat gambar di buku
tentang peter pan yang dibacanya.
“Bukan. Aku Thinker Bell. Hahaha. Ya, tentu saja aku Peter
Pan. Maaf kalau aku mengejutkanmu,” kata Peter pan.
“Bukankah kamu seharusnya berada di Neverland?” tanya Leyka
lagi.
“Ah, sudah lama aku meninggalkan Neverland. Membosankan.
Semua serba kekanakan. Aku sedang keliling dunia. Tapi saat terbang tadi aku
nyaris tersambar helikopter, sehingga tubuhku tidak seimbang dan terjatuh ke
kamarmu. Untung saja jendela kamarmu terbuka,” tutur Peter Pan sambil duduk di
sisi tempat tidur. Dan kamu, apa yang sedang dilakukan?”
“Membaca buku tentangmu.”
“Ah, itu pasti ngaco ceritanya. Aku sudah membaca semua buku
tentangku. Isinya tidak ada yang benar. Untuk apa kamu baca suatu informasi
yang tidak benar? Lagipula, membaca itu membosankan. Kamu tidak ingin keluar
rumah, melihat dunia dari angkasa?” tanya Peter Pan.
“Tentu saja aku mau. Tapi Ibu selalu melarangku bermain di
luar rtumah. Katanya berbahaya. Ah,
apakah kamu tidak mengajak Wendy?”
“Wendy? Siapa itu?”
“Temanmu.”
Peter Pan tertawa. “Pasti gara-gara buku dongeng itu.
Percayalah, aku tidak punya teman bernama Wendy. Ya, dulu aku punya sih. Seekor
anak ayam bernama Wendy. Tapi sudah diambil orang, entah siapa. Eh, kamu sudah
siap ikut terbang, kan?”
Leyka mengangguk. Peter Pan merogoh kantung jelek di
pinggangnya. Segenggam serbuk dikeluarkannya kemudian disemburkan ke wajah
Leyka. Karuan Leyka terbatuk.
“Nah, sekarang kamu bisa terbang denganku,” kata Peter Pan.
“Bagaimana caranya?’
“Ucapkan saja dalam hatimu kamu ingin terbang. Begitu juga
kalau kamu ingin belok, cepat, pelan, atau turun,” jelas Peter Pan.
Leyka mengcapkan dalam hati ingin terbang. Wow! Tiba-tiba
Leyka melayang lalu posisi badannya berputar seperti Superman jika terbang.
Peter Pan melakukan hal yang sama. Kemudian berkata, “Ayo
ikutlah aku!” Peter pan kemudian melesat keluar jendela.
Leyka mengucapkan keinginannya melesat seperti Peter pan. Dan
… wussssh! “Aaaaah!” Leyka kaget tubuhnya terbang cepat menerpa udara,setelah
melewati jendela. Sampai-sampai Leyka tak berani membuka matanya.
“Buka matamu! Lihatlah pemandangan di bawah,” seru Peter Pan
yang tahu-tahu berada di sisi Leyka.
Leyka pun membuka matanya perlahan. Wow! Dia melihat pemandangan yang … “Apanya
yang indah? Aku tidak bisa melihat jelas kotaku,” kata Leyka.
“Ya, begitulah kotamu ini. Kotor penuh polusi. Aku heran
bagaimana kalian mau tinggal di kota yang jorok ini. Lihat di bawah sana, orang
membawa sampah sembarangan. Lalu di sana, ada pabrik membuang limbah ke sungai,”
Peter Pan tampak kesal.
Leyka mendengar terus penjelasan Peter Pan.
“Sekarang, ikut aku ke kota lain, yuk!” Peter pan langsung
menarik pergelangan tangan Leyka.
Wuzzz! Mereka terbang lebih cepat lagi. Satu jam kemudian,
Peter pan melambatkan terbangnya.
“Nah, sekarang lihatlah ke bawah. Indah, kan?” tanya Peter
Pan.
Wendy melihat kota di bawahnya. Benar-benar menakjubkan. Kota
dengan gedung tinggi, namun banyak taman dengan pohon-pohon rindang. Air sungai
mengalir bersih mengelilingi kota. Sudut-sudut jalanan tampak asri. Jarang
sekali orang yang menggunakan kendaraan pribadi. Mereka lebih senang bepergian
dengan kereta tenaga matahari. Untuk jarak dekat, mereka lebih suka bersepeda.
“Bagaimana kota in
ibis abegitu indah?” tanya leyka.
“Karena para pemimpin memberi contoh yang baik. Mereka ke
kantor bersepeda dan pakai kendaraan umum, jadi warga pun mengikuti.”
Leyka benar-benar betah berada di atas kota itu. Tapi
kemkudian dia teringat waktu makan siang. “Aku harus pulang. Maukah kamu
mengantarku? Aku tidak tahu arahnya,” kata Leyka.
“Ya, tentu saja. Ayo, ikuti aku!” Peter Pan kemudian mengajak
Leyka terbang.
Tapi saat memasuki kota Leyka tinggal, tiba-tiba wajah Peter
Pan pucat. “Ada apa, Peter Pan?” tanya Leyka.
“Dadaku sakit. Kotamu benar-benar tak cocok untukku.”
“Ayo ke kamarku. Biar kamu istirahat dulu di sana,” ajak
Leyka cemas.
“Tidak. Aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Uhuk.
Pulanglah sendiri. Rumahmu sudah dekat,” kata Peter pan sambil melambaikan
tangannya.
Dengan berat hati Leyka kembali ke kamarnya. Dia kemudian
berdiri di jendela, memandang ke angkasa, berharap Peter Pan kembali sehat.
Bersamaan dengan itu Ibu masuk ke kamar. Ibu kaget karena
melihat Leyka berdiri di jendela kamar yang terbuka lebar. “Leyka, jangan buka
jendelanya, sayang,” kata Ibu sambil menutup jendela. “Apa yang kamu lakukan di
jendela ini? Ibu kan sudah bilang, kalau kamu masih berdiri di jendela, Ibu
akan pasangkan teralis.
Leyka terdiam. Kepalanya masih memikirkan nasib Peter Pan.
“Waktu makan siang tiba. Ibu memasak sup jagung kesukaanmu,”
bujuk Ibu sambil menuntun Leyka.
Leyka tak menjawab.
Ibu tersenyum karena Leyka dengan mudah dibujuk mengikuti ke
ruang makan. Biasanya Leyka sulit diminta mengikuti kata-kata Ibu. Sejak bayi
Leyka menyandang autis. Sangat sulit bagi Ibu mengajak Leyka berkomunikasi.
Seringnya Leyka seperti berada di dunianya sendiri.
“Nanti sore Ibu akan mengajak ke dokter lagi,” kata ibu terus
berkata sendiriaan.
Peter Pan, kamu baik-baik saja, kan?
No comments:
Post a Comment