Rahasia Edwin
oleh Benny RhamdaniEdwin masih belum tidur meski di luar malam telah larut. Malam Minggu ini Edwin berniat menuntaskan buku KKPK yang dipinjamnya dari Andi kemarin lusa.
"Tadi sore aku melihatmu memanjat pagar tembok rumah tua," terdengar suara berbisik di telinga Edwin. Rupanya Ryan, adik Edwin, belum tidur juga. "Apa yang kau lakukan di sana?"
"Kau tak perlu tahu apa yang kulakukan sore tadi!" jawab Edwin.
"Akan kuadukan besok karena kau telah melanggar larangan Ayah," ancam Ryan kesal. Tubuhnya dibalikkan membelakangi kakaknya.
"Silakan saja! Aku akan mengadu kepada komplotan Megi, kau masih suka ngompol!" Edwin balik mengancam.
Tidak ada jawaban dari mulut Ryan. Edwin segera melanjutkan membaca buku yang sempat tertunda. Namun, tiba-tiba ada sesuatu yang meresahkan hatinya.
Keesokan paginya, seperti biasa Edwin sudah harus mempersiapkan diri untuk pergi latihan pramuka di sekolah.Setelah berpakaian seragam pramuka, Edwin menyantap sarapan yang disiapkan Ibu. Kali ini ia sengaja tidak menghabiskan sarapannya. Tanpa sepengetahuan Ibu, ia memasukkan sisa sarapannya ke dalam kantung plastik.
"Untuk apa nasi goreng dan lauk itu?" tanya Ryan yang memergoki perbuatan Edwin.
"Sudah kubilang kau tidak perlu tahu apa yang kulakukan !"rutuk Edwin. Bergegas ia memasukkan kantung plastik itu ke dalam tasnya. "Dan jangan coba-coba untuk melapor kepada Ibu. Ancamanku semalam masih berlaku."
Edwin segera meninggalkan Ryan yang masih keheranan. Di ruang tengah ia bertemu Ibu yang tengah membersihkan karpet.
"Edwin berangkat, Bu,"pamit Edwin.
"Tidak menunggu Andi menjemput?" tanya Ibu mengingatkan.
"Kemarin Andi sudah pesan kalau pagi ini tidak menjemput,"jawab Edwin. Tanpa menunggu kata-kata lagi dari mulut Ibu, Edwin berjalan ke luar rumah. Ada sesuatu yang membuatnya tergesa-gesa pergi.
Sepanjang jalan perasaan Edwin tidak tenang. Semalam ia hampir tak bisa tidur karena ada rahasia yang disembunyikannya. Sampai di depan sebuah bangunan yang tak terawat Edwin menghentikan langkahnya. Sebentar ia menengok ke kanan dan kiri. Setelah yakin tidak ada yang mengintai, Edwin menghampiri tembok rumah tua itu. Hup!
Ia melompati pagar tembok yang cukup tinggi itu. Tidak terlalu sulit buatnya untuk memasuki pekarangan rumah tua itu.
Begitu memasuki pekarangan rumah tua itu, Edwin langsung berlari kecil ke belakang bangunan. Tiba di dekat pintu dapur Edwin kembali mengamati sekelilingnya. Barulah kemudian ia membuka pintu yang tidak terkunci. Sampai di dapur yang tak terawat itu, Edwin langsung mendekati sebuah kardus besar di sudut ruang dekat jendela "Selamat pagi, Pupi!" sapa Edwin sambil meraih seekor anak anjing dari dalam kardus.
Setelah mengelus-elus sebentar lehernya, Edwin meletakkan anjing itu ke dalam kardus kembali. Berikutnya, ia mengeluarkan sisa sarapan yang dibawanya serta sebotol susu yang dibuatnya tadi.
"Makan dan minum yang kenyan gya, Pupi. Sayang aku mesti latihan pramuka. Nanti siang aku akan menemuimu lagi!" ucap Edwin. Pupi segera melahap makanan itu. Ketika, kemudian Edwin ke luar dari tempat itu ada gonggongan kecil mengantarnya pergi.
Di sekolah, Edwin tidak lagi memikirkan anjing kecil yang diperolehnya dari Rivai kemarin siang. Sebenarnya Edwin ingin membawa anjing itu ke rumah. Tetapi, ia takut Ayah tak akan mengizinkannya. Maka untuk sementara Edwin memutuskan untuk menyimpan Pupi di rumah tua yang tak berpenghuni itu.
Kegiatan pramuka diikuti Edwin sepenuh hati. Tetapi, perasaan lega itu tidak berlangsung lama. Karena matanya melihat langit di atas mendung dan kemudian berubah menjadi hujan deras.Langsung benak Edwin teringat kepada si Pupi. Pasti anjing itu kedinginan, atau mungkin saja kebasahan karena atap rumah tua itu bocor. Oh, kalau saja KakPembina mengizinkannya pulang! Ia akan menerobos hujan untuk melindungi Pupi.Tetapi, Kak Pembina justru mengadakan kegiatan keterampilan di dalam kelas.Terpaksa, meski dengan setengah hati, Edwin mengikuti acara itu.
Lewat tengah hari hujan di langit baru berhenti. Kakak Pembina segera membubarkan latihan hari itu. Edwin yang sejak tadi menunggu waktu bubar segera berlari meninggalkan sekolah.
Kembali Edwin melompati pagar tembok dan memasuki dapur rumah tua itu. Alangkah kagetnya ia ketika melihat Pupi tidak berada di tempatnya. Mustahil kalau anak anjing itu kabur karena ia belum mampu melompati kardus itu. Karuan Edwin menjadi gelisah. Ia mencari anak anjing itu di setiap sudut ruangan, bahkan sampai keluar pekarangan. Percuma, ia tetap tak menemui Pupi.
Dengan langkah lesu, Edwin pulang kerumah. Ketika ia membuka pintu, telinganya menangkap gonggongan halus dari dalam rumah. Secepat kilat Edwin langsung masuk ke dalam rumah. Di ruang tengah ia melihat Ayah, Ibu, dan Ryan yang tengah bercanda dengan seekor anjing. Heh,bukankah anak anjing itu adalah si Pupi ? Edwin memperhatikan anak anjing itu.
"Darimana kau dapatkan anak anjing itu?" tanya Edwin seraya mendekati adiknya.
"Bukan urusanmu. Kau tidak perlu tahu apa yang kulakukan!" sahut Ryan dengan nada yang sama bila Edwin mengucapkan kata-kata itu. la mendekap anak anjing itu agar tidak diambil kakaknya.
"Sudah jangan bertengkar!"ucap Ayah berusaha menengahi. "Win, duduk lebih dekat sini. Nah, sekarang jawab pertanyaan Ayah! Kenapa kau menyembunyikan seekor anak anjing di rumah tua itu?"
Edwin menunduk. Jadi, Ayah sudah tahu tentang semuanya. Itu berarti segala rahasianya sudah terbongkar.
"Ayo jawab, jangan ragu-ragu!" desak Ayah.
"Sebenarnya Edwin ingin memelihara anjing yang diberi Andi itu di rumah. Tapi Edwin takut Ayah tidak mengizinkan," jawab Edwin.
"Ayah kan tidak pernah melarang siapa saja di rumah ini untuk memelihara binatang, asalkan mau merawatnya dengan baik," timpal Ayah. "Tapi, kau telah membuat kesalahan! Rumah tua tempat kau menyimpan anak anjing ini memang tak berpenghuni. Tapi,seharusnya kau tak masuk dan menyimpan anak anjing di sana tanpa izin si empunya. Ingat jangan lakukan itu lagi, ya!"
"Baik, Yah!" Edwin mengangguk.
"Sudah, ganti pakaian dan terus makan siang. Perutmu pasti lapar karena pagi tadi hanya sarapan setengahnya," sambung Ibu menyindir.
Edwin beranjak dari tempat duduknya.Baru beberapa langkah ia berjalan Ryan sudah mencegatnya.
"Maafkan, aku membuntutimu tadi pagi. Kemudian aku melapor pada Ayah tentang anak anjing ini. Ayah menyuruh aku membawanya pulang," tutur Ryan dengan tangan mendekap si Pupi.
"Tidak apa-apa. Aku malah berterima kasih padamu. Mulai saat ini si Pupi jadi milik kita berdua."
"Tidak hanya itu. Kau juga harus berjanji tidak mengancamku lagi dengan akan mengatakan kepada Megi bahwa aku masih ngompol!"
"Ya, aku janji!" sahut Edwin sambil tersenyum.
Untuk satu kebaikan yang dilakukan adiknya, Edwin tidak keberatan untuk memenuhi permintaan adiknya itu.
No comments:
Post a Comment