Kue Stroberi
Kejutan paling awal kudapatkan tahun ini adalah Papa
memutuskan kami sekeluarga pindah ke kota lain. Tepatnya ke Bandung. Tentu saja
aku bingung.
“Untuk apa pindah ke Bandung? Nenek sudah meninggal tahun
lalu,” tanyaku heran. Dulu, sewaktu Nenek masih hidup, aku ingin sekali pindah
ke Bandung. Rasanya senang sekali bisa tinggal bersama Nenek. Tapi aku hanya
bisa tinggal sekali dalam setahun. Itu pun dalam liburan yang singkat.
“Cindy, justru itulah kita harus pindah. Nenek menginginkan
Papa meneruskan usaha toko kue Nenek yang sudah maju di Bandung,” jelas Papa.
“Lalu bagaimana usaha toko kue dan restoran Papa di
Palembang ini?” tanyaku.
“Nanti akan diurus oleh Om Dave,” jawab Pap sambil melirik
Mama.
Om Dave adalah adik Mama. Keluarga Mama asli Palembang,
sedangkan keluarga Papa asli dari Bandung.
Papa mengenal Mama ketika Mama kuliah di Bandung. Setelah berkeluarga,
Papa ikut Mama ke Palembang. Itu sebabnya aku lahir di Palembang.
“Tapi toko kue nenek sudah diurus sama Tante Lia?” tanyaku.
Tante Lia adalah adik Papa di Bandung.
“Tante Lia akan meneruskan kuliahnya di Amerika. Lagipula
Tante Lia tidak suka mengurus toko kue,” jawab Papa.
Akhirnya, aku mengerti mengapa kami harus pindah. Ya, aku juga tidak ingin toko kue Nenek akhirnya
tidak terurus. Padahal aku ingat sekali, Nenek sangat senang dengan toko kuenya itu.
Seminggu kemudian kami pindah ke Bandung. Menempati rumah Nenek. Sekolahku tentu saja pindah
juga. Artinya, aku mendapat banyak teman baru di Bandung. Tapi aku tidak melupakan
teman-temanku di Palembang. Aku masih suka kirim-kirim SMS ataupun e-mail.
Ada seorang anak yang menyebalkan di sekolah baruku. Namanya
Willy. Dia selalu meledekku dengan sebutan anak tukang kue. Hm, di Palembang
juga dulu aku pernah disebut begitu. Jadi aku tidak mau meladeninya.
“Lagi pula jadi anak tukang kue itu bukan hal yang jelek.
Papa juga anak tukang kue. Tapi di sekolahnya dulu pintar. Semua anak Nenek
bisa sekolah tinggi meskipun anak tukang kue,” hibur Mama kala itu.
Suatu kali aku membawa beberapa kue ke sekolah. Papa yang
meminta.
“Bagikan ke teman-temanmu,” kata Papa.
Aku pun membagikan ke teman-teman di kelas. Willy pun tetap aku beri. Tapi dengan sombongnya dia menolak.
“Ah, pasti itu kue basi yang tidak laku di toko, kan?” katanya.
Uuh, aku ingin sekali melempat kue-kueku ke mukanya. Tapi
aku masih bisa bersabar. “Ini baru dibuat tadi pagi. Papaku sendiri yang
membuatnya,” kataku.
“Mana mungkin kue baru dibagi-bagikan. Nanti bangkrut toko
kuemu itu,” ledek Willy lagi.
“Kalau tidak mau ya sudah. Tapi jangan menghina begitu
dong,” kataku sambil melewatinya.
Aku sebenarnya bisa balas mengatainya. Aku tahu, ayah Willy
adalah pemillih sebuah bengkel mobil. Bengkel yang besar. Tapi tentu saja aku
bisa mengatainya anak tukang bengkel. Tapi buat apa mengatai orang. Mama dan
Papa paling tidak suka kalau aku membalas keburukan orang dengan keburukan
lagi.
Suatu hari saat akhir pekan, aku tidak punya acara
jalan-jalan. Aku memutuskan membantu Papa dan Mama di toko kue. Sebenarnya
sudah ada lima pelayan di toko kue. Tapi aku sangat senang membantu di toko
kue. Apalagi saat ramai di akhir pekan. Kota Bandung memang selalu penuh oleh
wisatawan di akhir pekan.
Saat siang, tanpa sengaja aku melihat Willy di halaman
parkir. Oh, sedang apa dia? Aku melihat Willy tidak sendirian, tapi dengan
ayahnya. Kulihat ayahnya seperti mengajak Willy masuk, tapi Willy tak mau. Aku
tahu sebabnya dia tak mau masuk. Pasti malu ketemu dengan aku.
Aku pun berjalan menuju halaman parkir.
“Hai, Willy!” sapaku. “Selamat siang, Om!”
Willy kaget melihatku. Ayahnya juga begitu.
“Silakan masuk, Om.
Kuenya masih ada, kok.”
“Kamu temannya Willy?” tanya ayah Willy.
“Iya, Om. Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku.
“Om mau beli kue sus stroberi. Tapi Willy tidak mau masuk.”
“Oh, biar saya temani Willy, Om. Sepertinya kuenya masih
ada,” kataku.
Ayah Willy masuk ke toko. Aku melirik ke arah Willy yang
masih merengut. Tak lama kemudian Ayah Willy keluar dengan keranjang kue.
“Untung kuenya masih ada,” kata Ayah Willy.
“Buat siapa kuenya, Om?”
“Mama Willy lagi ngidam pengen sus stroberi. Dulu juga waktu
mengandung Willy, mama Willy juga ngidam yang sama. Makanya Willy juga suka kue
sus stroberi. Malah paling rakus. Biasanya kalo diajak ke sini paling girang
dia. Tapi hari ini kok malas,” kata Ayah Willy.
Aku tersenyum mengangguk. Mereka pun pergi dengan mobil
mereka.
Senin paginya, di sekolah aku mulai merasakan Willy mulai
berubah. Dia tidak memanggilku anak tukang kue lagi. Mungkin dia malu, karena
walaupun sering meledekku, diam-diam dia adalah penggemar kue di toko kue kami.
^_^
No comments:
Post a Comment