Cheng Ho
Pelaut Muslim Pemberani
Siapa pelaut pemberani yang kalian kenal? Columbus atau Vasco da Gama? Ya, jawabannya yang benar adalah Cheng Ho. Hm, apakah kalian baru mendengarnya?
Nama Cheng Ho sudah tidak asing lagi bagi sebagian masyarakat Indonesia, terutama masyarakat yang tinggal di daerah pesisir Sumatra dan Jawa. Tokoh ini dikenal sebagai seorang laksamana yang memimpin suatu armada besar mengelilingi hampir separuh belahan bumi. Demikian populernya, oleh sebagian masyarakat Tionghoa, nama laksamana ini dipakai sebagai nama kelenteng di Semarang, yakni Kelenteng San Po Kong.
Masyarakat keturunan Tionghoa yang beragama Islam yang tergabung dalam Pembina Iman Tauhid Indonesia (PITI) dipakai untuk menamakan masjid di Surabaya, Masjid Muhammad Cheng Ho, termasuk di Palembang yang belum lama ini diresmikan.
Nama Cheng Ho oleh sebagian masyarakat Tionghoa di Asia yang daerahnya pernah dikunjungi, pada setiap bulan Juli dirayakan peringatan kedatangannya. Mulai dari prosesi upacara di kelenteng sampai dengan berbagai festival diselenggarakan dengan meriah. Bahkan di daerah yang tidak dikunjungi pun peringatan tersebut dilangsungkan secara besar-besaran.
Siapa Cheng Ho?
Cheng Ho nama aslinya Ma Ho yang hidup dengan keluarganya di bagian K'un yang terletak di ujung baratdaya danau Tien-chih di propinsi Yün-nan. Cheng Ho dilahirkan sekitar tahun 1371 di Distrik Kunjang sebagai putera kedua dari MaHazhi (Haji Ma) yang beragama Islam. Ia bersaudara lima orang, dengan seorang saudara laki-laki dan empat perempuan.
Pada tahun kelahirannya, kaisar Ming pertama sedang mengerahkan seluruh daya dan usaha untuk mempersatukan kembali Tiongkok di bawah kekuasaan Ming setelah Dinasti Yüan atau Mongol (1279-1368) runtuh. Walaupun Ming telah menguasai keadaan, belum seluruh daratan Tiongkok berhasil ditaklukkan, dan Yün-nan termasuk salah satu daerah yang dengan gigih ingin terus mempertahankan kebebasannya dan tidak bersedia tunduk pada pemerintahan Ming.
Baru pada 1382 ketika Cheng Ho berusia 11 tahun tentara Ming berhasil menaklukkan Yün-nan. Pada tahun itu juga ayah Cheng Ho jatuh sakit dan meninggal dunia. Keluarga itu kemudian menghadapi masa-masa yang sangat sulit. Pada 1383 Cheng Ho melarikan diri ke ibukota Beijing yang pada masa itu masih bernama Peiping. Dalam usianya yang keduapuluh (1391), ia mengabdi pada putra mahkota Yen yaitu Chu Ti (putra keempat Kaisar Hung-wu).
Pada 1403 Chu Ti menjadi Kaisar Ch'eng-tsu. Ma Ho termasuk orang yang berpendidikan, ia mempelajari pengetahuan seni-perang, dan ia membedakan dirinya sendiri dalam penumpasan pemberontakan di Yün-nan. Pada tahun 1404 ia mendapat perhatian Kaisar sehingga memberikan julukan Cheng, dan ia diangkat sebagai Laksamana Besar yang bertugas membawahi para Laksamana. Cheng Ho sangat mengabdi dan setia kepada tuannya dan ketika Raja Yen mengibarkan panji-panji peperangan, ia turut dalam berbagai pertempuran dan berjasa besar. Karena jasanya itu ia kemudian dihadiahi pangkat Taijian (San-pao T’ai-chien = Kasim Agung San-pao).
Raja Yen berhasil mengalahkan musuh-musuhnya dan naik tahta di Kekaisaran Ming dengan menggunakan gelar Zhu Di. Beberapa tahun setelah bertahta, ia kemudian memutuskan untuk mengirim ekspedisi laut terbesar yang pernah dilancarkan sepanjang sejarah Tiongkok. Menurut kaisar, pemimpin ekspedisi tersebut harus seorang yang dapat dipercaya dan berbakat menjadi panglima, karena ia akan membawahkan puluhan ribu orang pelaut. Kaisar kemudian menunjuk Cheng Ho untuk memikul tugas berat itu.
Ternyata pilihan kaisar tidak keliru, karena terbukti sebagai hasil ekspedisi pertama para utusan dari luar negeri berduyun-duyun mengunjungi Tiongkok. Mereka berasal dari negara-negara yang pernah dikunjungi Cheng Ho dan armadanya. Karena keberhasilannya itu kaisar menyerahkan pimpinan tertinggi atas enam pelayaran berikutnya kepada Cheng Ho.
Ke Palembang
Dalam tiga dari ketujuh pelayarannya, Cheng Ho didampingi oleh MaHuan, yang bertugas sebagai penerjemah dalam komunikasi antara Cheng Ho dengan para penguasa lokal. Ma Huan juga seorang “reporter” jeli dalam melihat tempat-tempat serta penguasa-penguasa lokal yang berhubungan dengan komandan ekspedisi. Ma Huan yang juga seorang Muslim mencatat semua yang disaksikannya dan kemudian dibukukan berjudul Ying-yai Shêng-lan (=Survei Menyeluruh Wilayah-wilayah Pesisir).
Buku itu merupakan deskripsi yang didasarkan pada observasi pribadi mengenai wilayah-wilayah yang terbentang mulai dari Asia Tenggara daratan di Timur sampai ke Mekah di Barat. Akan tetapi, salah satu kesukaran yang dihadapi dalam membaca buku yang ditulis MaHuan itu adalah dalam mencocokkan nama-nama wilayah dalam ejaan bahasa Tionghoa kuno dengan nama sebenarnya.
Khusus untuk Palembang nama-nama yang berhasil diungkapkan adalah San Fo Ji (mengacu ke Sriwijaya), Pa LinFong, Po Lin Bang atau Jiu Jiang (secara harfiah berarti “Pelabuhan Lama” atau“Sungai Lama”). Menurut penuturan Ma Huan, Cheng Ho singgah di Palembang untuk pertama kalinya dalam pelayarannya yang pertama (1405-1407) dengan tujuan utama menangkap seorang perompak Ch’en Zuyi beserta pengikutnya yang menyingkir dari Propinsi Fujian.
Titah Kaisar Ming pertama itu didasarkan pada laporan dari seorang Tionghoa lain yang tinggal di Palembang bernama Shi Jinqing. Ch’en Zuyi sangat kaya dan kekayaannya itu didapat dari pekerjaannya sebagai perompak yang menyerang kapal-kapal pembawa harta yang lewat perairan dekat Palembang. Ia memerintah dengan sangat kejam, dan pada kenyataannya ia menjadi penguasa lokal, walaupun scara hukum wilayah Palembang berada di bawah kekuasaan dan pengaruh Majapahit di Jawa.
Cheng Ho dan pasukannya berhasil menangkap Ch’en Zuyi dan membawanya kembali ke Tiongkok. Ia kemudian dihukum mati di hadapan kaisar. Setelah Ch’en Zuyidihukum, sebagai tanda terima kasih kaisar menghadiahi Shi Jinqing dengan mengangkatnya sebagai penguasa Palembang.
Pada ekspedisi kedua tahun 1407-1409 Cheng Ho disertai oleh Wang Ching-hung dan Hu-Hsien. Pada ekspedisi kedua ini jelas disebut nama-nama tempat atau negeri yang dilawat, tetapi Palembang tidak disebut. Pada ekspedisi ketiga tahun 1409-1411 itu tidak disebut mengunjungi Palembang dan baru pada ekspedisinya yang keempat tahun 1413-1415 Cheng Ho melawat lagi Palembang setelah mengunjungi Champa, Kelantan, Pahang, Jawa, kemudian San Fo Ji (Palembang) dan terus ke Melaka, Aru, Samudra, Lambri, Ceylon, Kayal, Kepulauan Maladeva, Cochin, Calicut dan Hormuz.
Pada ekspedisi keempat inilah Ma Huan pertama kalinya turut yang tugasnya sebagai juru bicara, penterjemah dan pembuat laporan. Pada ekspedisi kelima 1417-1419 Cheng Ho yang disertai Ma Huan sempat juga melawat Palembang setelah Champa, Pahang, Jawa dan seterusnya.
Pada ekspedisi Cheng Ho yang keenam (1421-1422), armada-armadanya tidak mengunjungi Palembang. Berita ekspedisi yang ketujuh 1431-1433 berita Ma-Huan dilengkapi oleh sumber Hsia Hsi yang ditulis oleh Chu-yun-ming juga termasuk buku berjudul Ch'ien wen chi. Dalam ekspedisi terbesar ini disebutkan jumlah orang dari berbagai pekerjaan meliputi 27.800 dan lebih dari 100 kapal besar. Waktu itu yang mengikuti ekspedisi bukan hanya Ma Huan tetapi juga Fei-Hsin dan Kung Ch’en. Pada ekspedisi ketujuh itu Cheng Ho melawat pula ke Palembang. Yang menarik perhatian bahwa dalam ekspedisi yang ketujuh ini MaHuan menceritakan pelayarannya ke Mekkah.
Agaknya Palembang dianggap sebagai tempat yang penting, dan mungkin sudah banyak dihuni oleh komunitas Tionghoa. BeritaTionghoa abad ke-7 Masehi sudah menyebutkan adanya hubungan dagang,politik dan agama dengan kekaisaran Tiongkok. Dengan kehadiran orang-orang Tionghoa yang antara lain dari Kuang Tung, Chuang Chou dan dari daratanTiongkok Selatan seperti daerah sekitar Yün-nan tempat asal Laksamana Cheng Ho dan Ma Huan yang sudah banyak pemeluk agama Islam maka orang-orang Tionghoa yang datang dan kemudian bermukim di Palembang mungkin sebagian merupakan komunitas Tionghoa-Muslim.
Tinggal di Goa
Semarang tidak disebutkan dalam catatan perjalanan Ma Huan. Padahal sebagian orang Tionghoa percaya bahwa Cheng Ho pernah singgah di Semarang. Entah apa sumbernya, diceritakan bahwa Cheng Ho singgah di Semarang karena salah seorang anggotanya (Wang Jinghong) sakit keras. Ketika itu armada Cheng Ho sedang berada di perairan Laut Jawa sebelah utara Semarang. Untuk menyembuhkan Wang Junghong, kapal kemudian merapat di pelabuhan Simongan, Semarang. Di darat Cheng Ho dan anak buahnya menemukan sebuah gua batu. Gua itu kemudian dijadikan tempat tinggal sementara. Di muka gua dibangun sebuah pondok kecil untuk tempat beristirahat sambil diobati. Konon kabarnya, yang mengobati Wang adalah Cheng Ho sendiri.
Singkat cerita, beberapa hari kemudian Wang sembuh tetapi masih perlu istirahat. Cheng Ho tetap meneruskan pelayarannya, sedangkan Wang diberi 10 orang untuk menjaganya dan sebuah kapal serta perbekalan untuk menyusul armada induk. Akan tetapi Wang merasa betah tinggal di Semarang. Di situ ia dan anakbuahnya membuka lahan dan perumahan. Lama kelamaan permukiman itu menjadi ramai pendatang. Para anakbuahnya berkawin dengan penduduk pribumi.
Tempat yang dibuka Wang Jinghong itulah yang sekarang menjadi kelenteng Sam Po Kong di Gedung Batu, Semarang. Lebih dari 600 tahun yang lalu Cheng Ho bermuhibah ke Nusantara. Di antara tempat-tempat yang pernah dikunjungi Cheng Ho, Palembang merupakan tempat yang penting. Terbukti dari tujuh ekspedisinya, empat di antaranyasinggah di Palembang dan mempunyai suatu tujuan.
Jawa memang dikunjungi, tetapi tidak secara khusus menyebutkan tujuannya, apalagi menyebut nama kota yang disinggahi. Semarang tidak disebutkan dalam catatan harian resmi Ying-yai Sheng-lan, tetapi orang percaya bahwa Cheng Ho pernah singgah di Semarang dan setiap tahun diselenggarakan secara besar-besaran peringatan kunjungannya ke Semarang. Sebaliknya, Palembang yang pada waktu itu sering dikunjungi Cheng Ho, jarang merayakan peringatan kedatangannya.
Nah, teman-teman sekarang makin mengenal Cheng Ho. Sebagai warga Palembang, sudah sepantasnya bangga karena telah menjadi bagain sejarah seorang tokoh besar Muslim dunia bernama Cheng Ho.
(ben)
Pelaut Muslim Pemberani
Siapa pelaut pemberani yang kalian kenal? Columbus atau Vasco da Gama? Ya, jawabannya yang benar adalah Cheng Ho. Hm, apakah kalian baru mendengarnya?
Nama Cheng Ho sudah tidak asing lagi bagi sebagian masyarakat Indonesia, terutama masyarakat yang tinggal di daerah pesisir Sumatra dan Jawa. Tokoh ini dikenal sebagai seorang laksamana yang memimpin suatu armada besar mengelilingi hampir separuh belahan bumi. Demikian populernya, oleh sebagian masyarakat Tionghoa, nama laksamana ini dipakai sebagai nama kelenteng di Semarang, yakni Kelenteng San Po Kong.
Masyarakat keturunan Tionghoa yang beragama Islam yang tergabung dalam Pembina Iman Tauhid Indonesia (PITI) dipakai untuk menamakan masjid di Surabaya, Masjid Muhammad Cheng Ho, termasuk di Palembang yang belum lama ini diresmikan.
Nama Cheng Ho oleh sebagian masyarakat Tionghoa di Asia yang daerahnya pernah dikunjungi, pada setiap bulan Juli dirayakan peringatan kedatangannya. Mulai dari prosesi upacara di kelenteng sampai dengan berbagai festival diselenggarakan dengan meriah. Bahkan di daerah yang tidak dikunjungi pun peringatan tersebut dilangsungkan secara besar-besaran.
Siapa Cheng Ho?
Cheng Ho nama aslinya Ma Ho yang hidup dengan keluarganya di bagian K'un yang terletak di ujung baratdaya danau Tien-chih di propinsi Yün-nan. Cheng Ho dilahirkan sekitar tahun 1371 di Distrik Kunjang sebagai putera kedua dari MaHazhi (Haji Ma) yang beragama Islam. Ia bersaudara lima orang, dengan seorang saudara laki-laki dan empat perempuan.
Pada tahun kelahirannya, kaisar Ming pertama sedang mengerahkan seluruh daya dan usaha untuk mempersatukan kembali Tiongkok di bawah kekuasaan Ming setelah Dinasti Yüan atau Mongol (1279-1368) runtuh. Walaupun Ming telah menguasai keadaan, belum seluruh daratan Tiongkok berhasil ditaklukkan, dan Yün-nan termasuk salah satu daerah yang dengan gigih ingin terus mempertahankan kebebasannya dan tidak bersedia tunduk pada pemerintahan Ming.
Baru pada 1382 ketika Cheng Ho berusia 11 tahun tentara Ming berhasil menaklukkan Yün-nan. Pada tahun itu juga ayah Cheng Ho jatuh sakit dan meninggal dunia. Keluarga itu kemudian menghadapi masa-masa yang sangat sulit. Pada 1383 Cheng Ho melarikan diri ke ibukota Beijing yang pada masa itu masih bernama Peiping. Dalam usianya yang keduapuluh (1391), ia mengabdi pada putra mahkota Yen yaitu Chu Ti (putra keempat Kaisar Hung-wu).
Pada 1403 Chu Ti menjadi Kaisar Ch'eng-tsu. Ma Ho termasuk orang yang berpendidikan, ia mempelajari pengetahuan seni-perang, dan ia membedakan dirinya sendiri dalam penumpasan pemberontakan di Yün-nan. Pada tahun 1404 ia mendapat perhatian Kaisar sehingga memberikan julukan Cheng, dan ia diangkat sebagai Laksamana Besar yang bertugas membawahi para Laksamana. Cheng Ho sangat mengabdi dan setia kepada tuannya dan ketika Raja Yen mengibarkan panji-panji peperangan, ia turut dalam berbagai pertempuran dan berjasa besar. Karena jasanya itu ia kemudian dihadiahi pangkat Taijian (San-pao T’ai-chien = Kasim Agung San-pao).
Raja Yen berhasil mengalahkan musuh-musuhnya dan naik tahta di Kekaisaran Ming dengan menggunakan gelar Zhu Di. Beberapa tahun setelah bertahta, ia kemudian memutuskan untuk mengirim ekspedisi laut terbesar yang pernah dilancarkan sepanjang sejarah Tiongkok. Menurut kaisar, pemimpin ekspedisi tersebut harus seorang yang dapat dipercaya dan berbakat menjadi panglima, karena ia akan membawahkan puluhan ribu orang pelaut. Kaisar kemudian menunjuk Cheng Ho untuk memikul tugas berat itu.
Ternyata pilihan kaisar tidak keliru, karena terbukti sebagai hasil ekspedisi pertama para utusan dari luar negeri berduyun-duyun mengunjungi Tiongkok. Mereka berasal dari negara-negara yang pernah dikunjungi Cheng Ho dan armadanya. Karena keberhasilannya itu kaisar menyerahkan pimpinan tertinggi atas enam pelayaran berikutnya kepada Cheng Ho.
Ke Palembang
Dalam tiga dari ketujuh pelayarannya, Cheng Ho didampingi oleh MaHuan, yang bertugas sebagai penerjemah dalam komunikasi antara Cheng Ho dengan para penguasa lokal. Ma Huan juga seorang “reporter” jeli dalam melihat tempat-tempat serta penguasa-penguasa lokal yang berhubungan dengan komandan ekspedisi. Ma Huan yang juga seorang Muslim mencatat semua yang disaksikannya dan kemudian dibukukan berjudul Ying-yai Shêng-lan (=Survei Menyeluruh Wilayah-wilayah Pesisir).
Buku itu merupakan deskripsi yang didasarkan pada observasi pribadi mengenai wilayah-wilayah yang terbentang mulai dari Asia Tenggara daratan di Timur sampai ke Mekah di Barat. Akan tetapi, salah satu kesukaran yang dihadapi dalam membaca buku yang ditulis MaHuan itu adalah dalam mencocokkan nama-nama wilayah dalam ejaan bahasa Tionghoa kuno dengan nama sebenarnya.
Khusus untuk Palembang nama-nama yang berhasil diungkapkan adalah San Fo Ji (mengacu ke Sriwijaya), Pa LinFong, Po Lin Bang atau Jiu Jiang (secara harfiah berarti “Pelabuhan Lama” atau“Sungai Lama”). Menurut penuturan Ma Huan, Cheng Ho singgah di Palembang untuk pertama kalinya dalam pelayarannya yang pertama (1405-1407) dengan tujuan utama menangkap seorang perompak Ch’en Zuyi beserta pengikutnya yang menyingkir dari Propinsi Fujian.
Titah Kaisar Ming pertama itu didasarkan pada laporan dari seorang Tionghoa lain yang tinggal di Palembang bernama Shi Jinqing. Ch’en Zuyi sangat kaya dan kekayaannya itu didapat dari pekerjaannya sebagai perompak yang menyerang kapal-kapal pembawa harta yang lewat perairan dekat Palembang. Ia memerintah dengan sangat kejam, dan pada kenyataannya ia menjadi penguasa lokal, walaupun scara hukum wilayah Palembang berada di bawah kekuasaan dan pengaruh Majapahit di Jawa.
Cheng Ho dan pasukannya berhasil menangkap Ch’en Zuyi dan membawanya kembali ke Tiongkok. Ia kemudian dihukum mati di hadapan kaisar. Setelah Ch’en Zuyidihukum, sebagai tanda terima kasih kaisar menghadiahi Shi Jinqing dengan mengangkatnya sebagai penguasa Palembang.
Pada ekspedisi kedua tahun 1407-1409 Cheng Ho disertai oleh Wang Ching-hung dan Hu-Hsien. Pada ekspedisi kedua ini jelas disebut nama-nama tempat atau negeri yang dilawat, tetapi Palembang tidak disebut. Pada ekspedisi ketiga tahun 1409-1411 itu tidak disebut mengunjungi Palembang dan baru pada ekspedisinya yang keempat tahun 1413-1415 Cheng Ho melawat lagi Palembang setelah mengunjungi Champa, Kelantan, Pahang, Jawa, kemudian San Fo Ji (Palembang) dan terus ke Melaka, Aru, Samudra, Lambri, Ceylon, Kayal, Kepulauan Maladeva, Cochin, Calicut dan Hormuz.
Pada ekspedisi keempat inilah Ma Huan pertama kalinya turut yang tugasnya sebagai juru bicara, penterjemah dan pembuat laporan. Pada ekspedisi kelima 1417-1419 Cheng Ho yang disertai Ma Huan sempat juga melawat Palembang setelah Champa, Pahang, Jawa dan seterusnya.
Pada ekspedisi Cheng Ho yang keenam (1421-1422), armada-armadanya tidak mengunjungi Palembang. Berita ekspedisi yang ketujuh 1431-1433 berita Ma-Huan dilengkapi oleh sumber Hsia Hsi yang ditulis oleh Chu-yun-ming juga termasuk buku berjudul Ch'ien wen chi. Dalam ekspedisi terbesar ini disebutkan jumlah orang dari berbagai pekerjaan meliputi 27.800 dan lebih dari 100 kapal besar. Waktu itu yang mengikuti ekspedisi bukan hanya Ma Huan tetapi juga Fei-Hsin dan Kung Ch’en. Pada ekspedisi ketujuh itu Cheng Ho melawat pula ke Palembang. Yang menarik perhatian bahwa dalam ekspedisi yang ketujuh ini MaHuan menceritakan pelayarannya ke Mekkah.
Agaknya Palembang dianggap sebagai tempat yang penting, dan mungkin sudah banyak dihuni oleh komunitas Tionghoa. BeritaTionghoa abad ke-7 Masehi sudah menyebutkan adanya hubungan dagang,politik dan agama dengan kekaisaran Tiongkok. Dengan kehadiran orang-orang Tionghoa yang antara lain dari Kuang Tung, Chuang Chou dan dari daratanTiongkok Selatan seperti daerah sekitar Yün-nan tempat asal Laksamana Cheng Ho dan Ma Huan yang sudah banyak pemeluk agama Islam maka orang-orang Tionghoa yang datang dan kemudian bermukim di Palembang mungkin sebagian merupakan komunitas Tionghoa-Muslim.
Tinggal di Goa
Semarang tidak disebutkan dalam catatan perjalanan Ma Huan. Padahal sebagian orang Tionghoa percaya bahwa Cheng Ho pernah singgah di Semarang. Entah apa sumbernya, diceritakan bahwa Cheng Ho singgah di Semarang karena salah seorang anggotanya (Wang Jinghong) sakit keras. Ketika itu armada Cheng Ho sedang berada di perairan Laut Jawa sebelah utara Semarang. Untuk menyembuhkan Wang Junghong, kapal kemudian merapat di pelabuhan Simongan, Semarang. Di darat Cheng Ho dan anak buahnya menemukan sebuah gua batu. Gua itu kemudian dijadikan tempat tinggal sementara. Di muka gua dibangun sebuah pondok kecil untuk tempat beristirahat sambil diobati. Konon kabarnya, yang mengobati Wang adalah Cheng Ho sendiri.
Singkat cerita, beberapa hari kemudian Wang sembuh tetapi masih perlu istirahat. Cheng Ho tetap meneruskan pelayarannya, sedangkan Wang diberi 10 orang untuk menjaganya dan sebuah kapal serta perbekalan untuk menyusul armada induk. Akan tetapi Wang merasa betah tinggal di Semarang. Di situ ia dan anakbuahnya membuka lahan dan perumahan. Lama kelamaan permukiman itu menjadi ramai pendatang. Para anakbuahnya berkawin dengan penduduk pribumi.
Tempat yang dibuka Wang Jinghong itulah yang sekarang menjadi kelenteng Sam Po Kong di Gedung Batu, Semarang. Lebih dari 600 tahun yang lalu Cheng Ho bermuhibah ke Nusantara. Di antara tempat-tempat yang pernah dikunjungi Cheng Ho, Palembang merupakan tempat yang penting. Terbukti dari tujuh ekspedisinya, empat di antaranyasinggah di Palembang dan mempunyai suatu tujuan.
Jawa memang dikunjungi, tetapi tidak secara khusus menyebutkan tujuannya, apalagi menyebut nama kota yang disinggahi. Semarang tidak disebutkan dalam catatan harian resmi Ying-yai Sheng-lan, tetapi orang percaya bahwa Cheng Ho pernah singgah di Semarang dan setiap tahun diselenggarakan secara besar-besaran peringatan kunjungannya ke Semarang. Sebaliknya, Palembang yang pada waktu itu sering dikunjungi Cheng Ho, jarang merayakan peringatan kedatangannya.
Nah, teman-teman sekarang makin mengenal Cheng Ho. Sebagai warga Palembang, sudah sepantasnya bangga karena telah menjadi bagain sejarah seorang tokoh besar Muslim dunia bernama Cheng Ho.
(ben)
No comments:
Post a Comment