Friday, October 24, 2008
Cernak, 26 Oktober 2008
Aku takut sekali dengan hewan yang namanya kucing. Jangankan untuk membelainya, berada di dekatnya saja sudah membuat aku keringat dingin. Aku takut sekali kucing itu mencakar mukaku, menggigit tanganku, lalu bulu-bulunya terhirup hidungku hingga membuat nafasku tercekik.
Aku tidak tahu kenapa membenci kucing. Yang jelas aku senang sekali jika nonton film Tom and Jerry, melihat kucing nakal itu dikalahkan si tikus. Oh iya, aku juga pernah membaca tulisan tentang berbahayanya virus yang ditularkan kucing. Terutama buat perempuan seperti aku.
Jika ada temanku yang mengajak ke rumahnya, aku pasti selalu bertanya,”di rumahmu ada kucing nggak?”
Kalau dijawab tidak ada, maka aku main ke rumahnya. Kalau ada, aku lebih baik cari alasan agar tidak main ke rumahnya. Dan aku jadi tahu siapa saja temanku di kelas yang memelihara kucing. Dian, Hana, Muti dan Hafidz.
“Ayolah, Intan, main ke rumahku. Kucingku bukan kucing kampung kok. Kami selalu membawanya ke dokter hewan sebulan sekali biar tidak kena virus,” ajak Muti. Tapi aku ettap menggeleng.
“Kucingku akan kukurung di kandangnya,” janji Hana yang minta diajarkan matematika di rumahnya. Aku tetap menggeleng jarena membayangkan jika kucing itu bisa lepas dari kandangnya dan menerkamku.
“Kamu konyol deh takut sama kucing!” ledek Hafidz.
Biarlah. Aku lebih baik dikatakan konyol.
Suatu hari aku pulang les sendirian. Aku biasanya naik sepeda, tapi karena bannya bocor aku harus jalan kaki. Saat menapaki trotoar aku melihat seekor kucing hitam di tengah trotoar. Aku langsung menghentikan langkahku.
Kutunggu beberapa menit, sambil berharap kucing itu berlalu dari trotoar yang akan kulewati. Eh, kucing itu malah berabring di trotoar. Menyebalkan. Aku menunggu siapa tahu ada orang yang akan melalui trotoar ini. Aki akan memintanya mengusir kucing itu. Tapi harapanku tidak kunjung tiba.
Aku melotot ke arah kucing itu. Tapi si kucing melotot ke arahku lebih tajam. Aaaaaargh! Aku langsung berbalik arah, lalu mencari jalan lain menuju rumah. Ya biarpun memutar dan lebih jauh, tapi tetap akan kulakukan ketimbang melewati kucing itu.
Sampai di rumah aku kaget Mama tengah menungguku. Begitu melihat aku, Mama langsung memelukku.
“Kamu tidak apa-apa, kan? Mama baru saja mau minta Bang Fahri menjemputmu,” kata Mama.
“Memangnya ada apa, Ma?” tanyaku bingung.
“Di jalan Seroja tadi ada tawuran anak-anak sekolah. Katanya keadaan kacau. Banyak orang yang kena lempar batu dan botol. Mama cemas ada apa-apa denganmu,” jelas Mama.
“Intan tadi nggak jalan sana. Intan memutar lewat jalan Pelangi. Agak jauh. Makanya jadi capek nih,” kataku.
“Tumben. Biasanya nggak mau lewat Pelangi?” tanya Mama.
“Tadi … ada kucing di trotoar yang menghalangi jalan. Makanya ambil jalan memeutar,” kataku.
“Wah, kucing itu jadi penyelamatmu.”
Aku hanya mengangkat bahu. Hal itu tidak membuatku jadi menyukai kucing. Bagiku kucing itu hanya kebetulan saja membuatku terhindar melewati kekacauan di jalan Seroja. Dan aku pun tidak tahu jika beberapa hari kemudian ….
Saat itu aku pulang sendirian dari toko buku. Aku memilih berjalan kaki karena udara sore yang sejuk. Lagipula aku hanya membeli satu buku cerita jadi tidak terbebani apapun.
Ketika berjalan di trotoar, lagi-lagi aku melihat seekor kucing di depanku. Kucing itu mirip dengna kucing yang menghalangi langkahku beberapa hari lalu. Dan lagi-lagi kucing itu berbaring di trotoar, memaksaku untuk berbalik arah.
Tapi baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba aku melihat seekor kucing belang berjalan menujuku. Aku jadi ketakutan setengah mati. Aku pun meutuskan untuk menyeberangi jalan. Tapi lagi-lagi dari jalanan ada seekor kucing yang berjalan ke arahku.
Keringat dingin membasahiku. Buru-buru aku berbalik, dan kini jalan satu-satunya adalah masuk ke halaman rumah orang yang ada di pinggir jalan terdekat. Aku pun membuka pintu pagar dengan buru-buru. Kumasuki halamna rumah itu lalu masuk ke teras rumah.
“Ahhh!” aku kaget ketika melihat sejumlah kucing melompati pagar dan berjalan menuju ke arahku.
Aku langsung mengetuk pintu rumah. Karena kucing-kucing itu terus mendekat, aku pun membuka pintu itu tanpa menunggu orang membukanya dari dalam. Untunglah pintu itu tidak terkunci. Aku pun masuk dengan jantung berdebar.
“Permisi! Boleh aku masuk?” tanyaku ketakutan.
Tidak ada jawaban. Dan aku kaget ketika melihat kucing-kucing itu ternyata bisa mendorong pintu dan terus berjalan mendekatiku.
Aku lang sung masuk lebih dalam. Ketika aku menuju sebuah kamar yang pintunya terbuka, aku langsung masuk ke sana.
Oh …!
“Tolong … tolong aku …”
Aku terkejut mendengar suara itu. Ternyata di kamar itu ada seorang wanita tua yang tengah terbaring kesakitan.
“Tolong teleponkan dokterku. Aku sudah tidak bisa bergerak menuju telepon. Namaku Nyonya Halimah,” kata wanita tua itu.
Aku merasa kasihan melihatnya. Buru-buru aku mencari telepon di rumah itu. Kulihat dekat telepon itu ada secarik kertas berisi nomor-nomor telepon darurat, termasuk nomor telepon dokter. Saat kutelepon dokter dan menyebutkan nama Nyonya Halimah, sang dokter tidak banyak bertanya lagi. Dia berjanji akan segera datang.
Aku kembali masuk ke kamar menemani Nyonya Halimah sampai dokter itu datang.
“Terima kasih, nak. Siapa namamu?” tanya Nyonya Halimah.
“Intan.”
“Kenapa kamu masuk ke mari?”
“Aku sangat takut kucing. Tadi aku dikejar-kejar kucing di depan rumah ini. Ada tiga ekor kucing. Kucing cokelat, belang dan hitam. Maaf jika aku lancang masuk ke rumah ini.”
“Tidak apa-apa. Aku malah bersyukur. Jika kamu tidak masuk, bagaimana aku bsia mencari pertolongan dokter. Oh iya tentang kucing-kucing itu, dua yang kau sebutkan itu memang penghuni rumah ini. Tapi kamu jangan takut. Tenang saja,” kata Nyonya Halimah.
Hah! Aku langsung melihat sekelilingku takut kalau-kalau ada kucing di sekitarku.
“Dulu aku punya kucing hitam. Sangat pintar dan baik. Tapi dia mati terlindas pengendara mobil yang tidak bertanggungjawab,” kata Nyonya Halimah. “Itu dia fotonya!”
Aku melihat foto kucing yang tertempel di dinding. Hah! Kucing itu mirip banget dengan kucing yang mencegat langkahku di trotoar. Apakah ….?
Aku merinding. Sepertinya aku akan bertambah takut dengan kucing …..
"Dulu aku juga takut dengan dengan kucing. Tapi aku kemudian melwan rasa takut itu. Aku pelatih keberanianku. Rasa takut itu harus dilawan. Jika tak keberatan, kamu bisa sering main ke rumah ini. Nanti aku akan melatihmu agar tidak takut dengan kucing."
Aku tidak langsung menjawab. Nah, menurut kalian kuterima atau tidak ya tawaran Bu Halimah itu?
^-^
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment