Namanya Heri
Apa yang paling asyik dilakukan sebelum bel masuk berbunyi? Membuat pe-er? Oh, itu cuma kerjaan anak-anak yang terlalu banyak nonton sinetron dewasa. Jawaban bagi Bayu dan kawan-kawannya adalah main bola di halaman sekolah! Meskipun hanya pakai bola bleter.
“Tendang, boy!”
“Over dong! Jangan main sendiri!”
“Cihuy!”
“Gol tau! Curang ah!”
“Siapa yang curang? Tanya wasit tuh.”
“Wasit dari orang hongkong. Kita main
“Hahahahaha!”
Nah, asyik
“Eh, ada mobil masuk halaman sekolah. Gila banget. Kok bukan pakir di luar
Bayu menoleh. Sebuah mobil van mewah yang merknya tak dikenal Bayu parkir dengan mulus di depan ruang kepala sekolah. Kaca jendela mobil dibuka. Tampak dua orang tak dikenal bayu. Satunya sebaya dengan Bayu. Mukanya bulat berkacamata. Kulitnya bersih. Tipe anak orang kaya. Satunya lagi yang lebih dewasa sudah bisa dipastikan supirnya. Dari wajahnya Bayu bisa langsung menyimpulkan supir itu berdarah arab.
“Kasih dia bola!” ucap Bayu.
Erwin menendang bola di kakinya. Buk! Tepat mengenai pintu sebelah kiri bagian depan mobil. Anak berkacamata itu tampak kaget.
“Eh, tendangin dong bolanya ke sini!” teriak Bayu sambil bertolak pinggang.
Anak bermuka bulat itu memandang Bayu sebentar, kemudian ia membuang mukanya. Melihat pun tidak ke bola yang ditendang Erwin.
“Kagak bisa main bola ya?” hardik Ridwan yang berambut keriting.
“Bukan. Kakinya pincang kali!” sahut Erwin.
Lelaki yang tadi menyupir mobil turun.”Bener-bener keterlauan nih anak-anak sini. Kagak di swasta mahal, kagak di negeri. Sama aja bandelnya pada nih!” gerutunya.
“Bang Duloh, biarin aja. Jangan dianggap,” cegah anak berkacamata.
Lelaki yang dipanggil Bang Duloh tetap berjalan memutari mobil. Dia mengambil bola bleter di dekat ban mobil depan. Ditendangnya bola itu hingga ke kaki Erwin.
“Sombong banget tuh anak. Nendang bola aja pake nyuruh supirnya. Mentang-mentang anak orang kaya. Huh!” umpat Erwin.
“Udah main lagi aja yuk!” ajak Bayu sambil merebut bola di kaki Erwin.
“Eh, lihat tuh!” teriak Ridwan.
Bang Duloh membuka bagasi belakang. Dia mengeluarkan benda berlogam dari bagasi. Kelihatannya cukup berat. Benda itu kemudian didirikan di dekat pintu mobil. Olala! Ternyata itu kursi roda yang bisa dilipat.
Bang Duloh kemudian membuka pintu.
“Bismillahirohmanirohim,” gumam Bang Duloh sebelum kemudian mengangkat tubuh anak berkacamata itu.
Anak-anak yang bermain bola langsung mematung dengan mulut ternganga melihat pemandangan di depan mereka. Anak berkacamata itu duduk di kursi roda.
“Wah, dosa deh aku,” bisik Erwin.
“Makanya kalo punya mulut dijaga. Jangan asal ngecap,” timpal Bayu.
“Pasti dia anak baru. Tuh, masuk ruang kepala sekolah. Gimana kalo dia ngadu sama Pak Diran ya?” Erwin gelisah.
Bayu angkat tangan sambil mundur dan geleng-geleng kepala. Anak-anak lainnya ikut-ikutan. Akibatnya tinggal Erwin sendirian di tengah halaman sekolah.
“Huuuh! Dasar pada nggak solider! Pengecut!” Erwin mengejar Bayu ke kelas.
“Hahahahaha!” Bayu dan kawan-kawannya tertawa begitu sampai di kelas. Bersamaan itu bel tanda masuk berbunyi.
Di kelas Erwin makin tidak karuan hatinya ketika Pak Kepala sekolah masuk ruangan dengan anak berkursi roda itu.
“Anak-anakku, kenalkan murid baru di kelas ini. Namanya Heri Setiawan…”
Kepala Erwin tertunduk makin dalam.
Saat istirahat tiba Erwin langsung menghampiri Heri.
“Maafkan aku ya. Tadi sempat ngatain kamu. Aku nggak nyangka kalo kamu ….”
“Cacat? Nggak apa-apa kok. Memang aku begini,” kata Heri.
Erwin senang karena ternyata Heri mau memaafkannya.Akhirnya Heri menjadi sahabatnya. Juga dal;am urusan sepak bola. Bagimana bias? Ya, ternyata Heri juga penggemar sepak bola. Bahkan Heri banyak tahu tentang dunia sepakbola meskipun tidak memainkannya langsung.
Ketika ada pertandingan sepakbola antar sekolah dasar, Heri jadi manajer lapangan. Dia yang mengatur strategi. Akhirnya Erwin dan kawan-kawannya berhasil memenangkan kompetisi sepakbola.
*-*
No comments:
Post a Comment