Pulang Malam
Tifany menuju ke pintu depan. Langkahnya tertahan karena Ibu memanggilnya.
“Mau ke mana, Fan?” tanya Ibu.
“Mau ke rumah Rizky. Ada tugas kelompok,” jawab Tifany.
“Mau tugas kelompok kok nggak bawa buku?” Ibu heran.
“Tugas kelompoknya bikin pekerjaan tangan. Semua disiapkan Riky,” jelas Tifany.
“Jangan lama-lama pulangnya. Sebelum magrib sudah ke rumah,” pesan Ibu.
Tifany hanya mengangguk. Dia melanjutkan langkahnya dengan perasaan lega. Tifany memang menuju rumah Rizky yang letaknya lumayan jauh. Dari jalan raya depan komplek rumahnya, Tifany harus naik angkot.
Begitu turun dari angkot, Tifany masuk ke sebuah rumah yang bergerbang besar. Seorang pembantu membukakan pintu. Tifany sudah dikenal oleh pembantu Rizky itu.
“Rizky ada di rumah, mbak?” tanya Tifany.
“Iya. Ada di kamarnya lagi main game,” kata pembantu itu.
Tifany makin bersemangat melangkah. Dia langsung menuju ke kamar Rizky di loteng. Dilihatnya Rizky asyik memainkan game.
“Katanya mau dari tadi datangnya?” tanya Rizky tanpa menoleh.
“Aku mesti lihat dulu keadaan Ibu. Kalau lagi marah-marah susah keluar rumah,” kata Tifany sambil duduk di sebelah Rizky. Dia mengambil sebuah joystick. “Mainnya berdua dong.”
Rizky mengganti permainan dan mengatur agar bisa bermain bersama Tifany.
Tidak ada tugas sekolah yang dikerjakan Tifany. Dia memang berbohong kepada Ibu tadi. Semua demi kesenangannya bermain game di rumah Rizky.
“Tapi aku nggak bisa lama-lama ya,” kata Tifany sambil mulai bermain game.
“Iya terserah kamu deh,” timpal Rizky.
Waktu pun berjalan. Rencana Tifany hanya satu jam di rumah Rizky malah mundur karena tak merasakan waktu. Bahkan Tifany baru menyadarinya ketka pembantu Rizky masuk ke kamar mengingatkan Rizkuy untuk mandi sore.
“Sudah mau magrib,” kata pembantunya itu.
Tifany gelagapan. “Wah, aku harus pulang nih,” kata Tifany. Tapi dia kaget ketika melihat lewat jendela kamar, ternyata di luar hujan deras sekali.
“Sudah, kamu mandi dulu aja di sini. Nanti di rumah nggak usah mandi. Pulang pun kamu bakal kehujanan,” kata Rizky yang senang kalau Tifany main ke rumahnya. Habis, di rumahnya tidak ada siapa-siapa selain pembantunya. Mama dan Papa bekerja. Pulangnya kadang larut malam.
Tifany pun mandi di rumah Rizky. Tapi sampai lewat azan magrib hujan belum berhenti. Rizky malah mengajak Tifany makan malam. Karena lapar, Tifany pun makan bersama Rizky.
Menjelang pukul tujuh, hujan baru berhenti. Tifany langsung pamit pulang. Dia agak was-was juga ketika akhirnya sampai ke komplek rumahnya. Bagimana kalau Ibu marah ya?
Dadanya makin kencang ketika mendekati pintu pagar rumah. Tapi… Kok kelihatan sepi ya? Mobil Ayah tidak ada di garasi. Tidak ada suara televisi ataupun musik yang biasa dinyalakan adik dan kakaknya.
“Tifany!”
Tifany menoleh. Rupanya Pak Fauzan yang memanggilnya. Dia tetangga depan rumahnya.
“Tadi ibumu nitip kunci kalau-kalau kamu pulang. Semuanya tadi pergi setengah jam lalu,” kata Pak Fauzan sambil menyodorkan kunci.
Tifany berterimakasih. Dia segera menuju ke rumah. Pintu rumah pun dibuka. Suasana sangat sepi. Tifany langsung menuju ke meja makan. Biasanya Ibu meninggalkan pesan di sana. Ternyata benar saja. Ada selembar kertas di atas meja.
“Tifany, Ibu dan lainnya sudah menunggu kamu pulang sampai magrib. Ternyata kamu belum pulang juga. Karena Ayah sudah memesan tempat, jadi Ibu tidak bisa menunggu lagi. Kami akan merayakan ulang tahun pernikahan Ibu dan Ayah. Ayah mentraktir makan di restoran sea food. Oh iya, Ibu tadi bertanya kepada Sulis, teman sekelasmu. Katanya, tidak ada tugas kelompok hari ini. Jaga rumah baik-baik ya.”
Tifany mendadak lemas. Jadi hari ini semua makan enak di restorang sea food. Wuah, padahal Tifany paling suka sea food. Parahnya lagi, Ibu tahu dirinya membohong. Pasti nanti, pulang-pulang Ibu akan memarahinya.
Tifany menyesal. Akhirnya, dia sendirian di rumah, sampai Ibu dan lainnya pulang dengan suka cita dan perut kenyang.
No comments:
Post a Comment