Lebaran Cepatlah Datang
oleh Benny Rhamdani
Lebaran dua hari lagi. Sepertinya, akulah anak yang paling tidak sabar di dunia ini menunggu lebaran datang. Semua karena kabar yang disampaikan Ibu seminggu yang lalu.
“Ayahmu akan bebas dari penjara saat lebaran. Setelah shalat ied, kita sekeluarga akan menjemput Ayah,” kata Ibu membuat aku, Kak Riana dan Bang Ryan bersorak girang.
Mungkin aku yang teriaknya paling kencang. Ya, karena aku yang merasa paling bersalah sehingga Ayah masuk penjara.
Hari itu adalah ulangtahunku. Aku ingin sekali mendapat hadiah. Kutelepon Ayah yang masih bekerja di toko.
“Ayah, jangan lupa pulangnya bawa boneka,” pintaku.
Ayah menyanggupinya. Tapi sejam kemudian Ayah pulang tanpa membawa boneka. Rupanya Ayah lupa karena terburu-buru. Tentu saja aku marah.
“Pokoknya aku ingin dibelikan boneka!” kataku sambil menangis lalu berlari ke kamar.
Tak lama kemudian kudengar Ayah pergi dengan sepeda motornya. Padahal hari sudah mulai hujan. Ya, salah Ayah. Coba kalau tadi tidak lupa.
Aku menunggu Ayah kembali ke rumah. Tapi harapanku mendapat boneka di hari ulang tahun tidak jadi kenyataan. Aku malah mendapat kabar, karena Ayah mengendari motor dengan ngebut, Ayah malah menabrak seorang anak yang menyeberang. Anak itu meninggal.
Ayah menyerahkan diri ke kantor polisi. Orangtua anak itu marah dan akhirnya membuat Ayah harus melewati siding pengadilan. Ayah kemudian dihukum penjara.
Aku menyesal dengan kejadian itu. Seandainya aku tahu akan begini jadinya, aku tidak akan memaksa Ayah membelikan aku boneka.
“Semua sudah kehendak Allah. Marilah kita berdoa agar kita semua dilindungi Allah,” begitu Ibu selalu menghiburlku.
Bulan demi bulan aku menunggu waktu Ayah kembali ke rumah. Senangnya, Ayah selalu mendapat potongan masa tahanan. Misalnya ketika 17 Agustus lalu. Dan sekarang, juga mendapat potongan masa tahanan. Sehingga Ayah bisa keluar dari rumah tahanan saat lebaran nanti.
Ada satu hal yang bisa kujadikan teladan dari Ayah. Saat peristiwa kecelakaan itu, sebenarnya Ayah bisa saja lari karena jalanan sepi. Tapi Ayah malah menyerahkan diri ke polisi. Ayah ingin bertanggungjawab atas perbuatannya itu.
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Saatnya aku pergi tidur agar tidak susah bangun saat sahur nanti. Tapi aku tidak bisa segera tidur. Aku ingin berdoa khsus untuk Ayah, agar senantiasa diindungi oleh Allah.
“Saskia, kamu belum tidur?”
Aku melihat Ibu masuk ke kamar.
“Lagi ingat Ayah, Bu,” kataku.
Ibu mendekat lalu mengelus kepalaku. Aku merasa tenang, Ibu memang ajaib sekali. Kata-katanya selalu menghiburku. Belaian tangannya menghangatkan hatiku. Selama Ayah dipenjara, Ibu yang menggantikan Ayah menjaga toko kelontong kami di pasar, terkadang ditemani dua kakakku. Aku lebih banyak membantu merapikan rumah.
“Ibu bangga punya anak seperti kalian bertiga,” kata Ibu kemudian. “Kalian tidak pernah membenci Ayah meskipun dipenjara. Kalian semua terus menyayangi Ayah.”
“Aku juga bangga punya Ibu. Soalnya Ibu tetap mencintai Ayah dan kami,” kataku.
Ibu tersenyum. Oh, aku jadi semakin ingin lebaran cepat datang. Ayo… lebaran … cepatlah datang. Kami sudah rindu Ayah bersama kami di rumah ini.
^_^
No comments:
Post a Comment