Saputangan Ungu
oleh Benny Rhamdani
Mendekati gerbang sekolah aku melihat saputangan itu tergeletak di jalanan. Tadinya aku melewati saputangan itu. Tapi melihat warnanya yang ungu, aku langsung mundur dua langkah, lalu mengambil saputangan itu. Aku tak sempat melihat saputangan itu, langsung kumasuki ke saku. Bel tanda masuk berbunyi.
"Pagi, Mel," sapaku kepada Imel yang sudah duduk di bangkunya. Aku menyimpan tasku, lalu duduk di kursiku yang menurutku snagat keras. Hm, coba boleh bawa sofa dari rumah. Pasti aku lebih senang lagi belajar di kelas, atau tidur. Hehehehe.
"Selalu datang bersamaan dengan bel berbunyi. Padahal rumahmu paling dekat, Tya," kata Imel.
"Ya, begitulah kalau rumah dan sekolah begitu dekat," jawabku tersenyum.
Bu Nurki masuk kelas. Kami memberi salam, dan semuanya berjalan seperti hari-hari sebelumnya. Saat istirahat aku baru teringat saputangan yang kutemukan tadi pagi. Tepatnya ketika aku merogoh saku untuk membayar keripik kentang yang kubeli.
Aku membentangkan saputangan itu. Barangkali ada sulaman nama pemiliknya.
"Sapu tanganmu? Tumben bawa saputangan," tanya Imel.
"Bukan. Aku nemu tadi di dekat gerbang. Kayaknya terjatuh."
"Ih, jijik deh kamu! Saputangan kan biasa buat lap ingus. Siapa tahu orang yan punya itu penyakitan," sahut Imel bergidik.
"Saputangan sebagus ini mana mungkin buat lap ingus. Dan ini masih terlipat bagus. Belum dipakai."
"Jadi mau kamu ambil saputangan itu?"
Aku menggeleng. "Aku ingin mengembalikannya. Tapi siapa yang punya ya?" aku bingung.
"Pasang saja di mading. Aku kan pengurus mading," kata Imel.
"Ide bagus!"
Aku menyerahkan saputangan itu kepada Imel. Segera saja Imel mengajakku ke mading, membukanya, lalu menuliskan 'telah ditemukan sapu tangan ungu. hubungi Imel kelas 6', lalu saputangan itu ditempel di mading.
Kami berdiri beberapa saat di dekat mading. Beberapa murid yang lewat membaca pengumuman baru itu, tapi kemudian berlalu. Sampai bel istirahat usai tak ada yang menyapa kami.
"Mungkin yang punya belum membaca. Kita tunggu pulang sekolah saja ya," kata Imel.
Kami kembali ke kelas. Lagi-lagi belajar. Ya tugas kami memang belajar, kan? Biar pandai dan bisa mengejar cita-cita kami.
Suasana belajar yang menyenangkan membuat waktu tak terasa. bel pulang pun berbunyi. Aku dan Imel kembali ke mading. Berdiri di sampingnya. Saat bubaran begini akan makin banyak murid yang melewati mading. Mungkin pemilik saputangan ungu itu akan melihatnya. Lalu, karena kami ada di samping mading segera minta dikembalikan.
Sampai murid terakhir pulang, tak ada yang menghampiri kami.
"Mungkin besok. Sekarang kita pulang saja yuk! Aku lapar," kata Imel.
"Hahaha, dasar. Pantas saja kamu gendut."
Kami berjalan bersama menuju pintu gerbang.
"Neng Imel!"
Aku kaget dan menoleh. Pak Broto, satpam sekolah kami menghampiri.
"Neng Imel yang menemukan saputangan ungu itu?" tanya Pak Broto.
"Iya. Ada murid yang mencari kepada Bapak?" tanya Imel.
"Ng ... nggak ada. Tapi ... sebenarnya ... saputangan itu punya saya," jawab Pak Broto agak malu-malu.
Aku hampir tertawa. Kupikir saputangan berwarna ungu itu punya murid perempuan yang centil dan lucu. Ternyata punya Pak Broto.
"Itu saputangan hadiah ulangtahun dari anak saya yang masih TK tadi pagi," tambah Pak Brto buru-buru mungkin melihat keherananku.
"Oh iya, Pak. Selamat ulangtahun ya, Pak," kata Imel dan aku.
Imel berlari ke mading, mengambil saputangan ungu. Saputangan itu diserahkan kepada Pak Broto yang langsung berterimakasih.
"Neng Imel dan Neng Tya, jangan bilang siapa-siapa saya punya saputangan ungu ya."
Kami buru-buru mengangguk dan pulang. Tentu saja aku mati-maian menahan tawa. Dan tawaku pecah ketika sampai di rumah. Ibu heran melihatku tertawa begitu keras. Tapi aku sudah janji tak akan menceritakannya kepada siapapun. Ya ... kecuali sama kamu.
^_^
.
1 comment:
nanya dong om Bhai,
itu saputangan di tempel di mading kan?
kok harus menghubungi Imel?
Bukannya kalau harus menghubungi Imel,seharusnya saputangan itu gak usah ditempel di mading kan om? :D
Post a Comment