Paparazi Cilik
oleh Benny Rhamdani
Mita mendapat kiriman dari Paman Eko di Jepang. Sebuah kamera saku otomatis lengkap dengan telenya. Warnanya seperti pelangi dan bisa dilipat. Bukan alang-kepalang, girangnya Mita mendapat kamera itu.
oleh Benny Rhamdani
Mita mendapat kiriman dari Paman Eko di Jepang. Sebuah kamera saku otomatis lengkap dengan telenya. Warnanya seperti pelangi dan bisa dilipat. Bukan alang-kepalang, girangnya Mita mendapat kamera itu.
"Akhirnya, cita-cita Mita
menjadi paparazzi akan segera terwujud," gumam Mita sambil mengelilingi
ruang tamu.
"Kalau anak perempuan namanya
bukan paparazzi, Kak Mita, tetapi mamarazzi," sela Ugi yang mendapat
kiriman sepatu kelinci.
"Hush, ya, tidak bisa.
Paparazzi, ya paparazzi. Tidak ada mamarazzi, anakrazzi, kakekrazzi, nenekrazzi
.…" timpal Mita.
"Memangnya papalaci itu
apaan?" tanya si bungsu Tio.
“Paparazi itu, wartawan foto yang
suka mencari berita sensasi. Bukan papalaci!”
"Iya, papalaci. Tio kan, masih
cadel."
Mita makin merasa beruntung ketika
Mama memberinya satu rol film untuk dimasukkan ke dalam kamera. "Ingat,
kameranya harus terbuka lensanya," pesan Mama.
"Ini kan, kamera otomatis. Kalau
lensanya tertutup, tidak akan bisa dipencet tombolnya," jelas Mita. Ia
sudah tidak sabar lagi ke luar rumah. Sambil menenteng kamera barunya, Mita
berkeliling di Kampung Cemara.
Wini yang sedang keselek makan bakso
langsung difotonya. Klik! Dodi yang sedang kesakitan kena lempar bola kasti.
Klik! Toto yang sedang diseret ibunya untuk mandi sore. Klik! Andi yang terbirit-birit
dikejar anak anjing. Klik! Lupita dengan sepeda roda tiga adiknya. Klik! Klak!
Kluk! Klok! Tidak terasa, Mita seharian telah menghabiskan satu gulungan film.
Akhirnya, Mita terpaksa membuka
celengannya untuk mencuci dan mencetak film. Tak apa-apa, nanti aku kan
mendapat gantinya, pikir Mita yang sudah punya rencana. Selain itu, ia memang
sudah tidak sabar melihat hasil foto buruannya.
Di rumah, Ugi dan Tio tidak hentinya
tertawa melihat foto-foto yang dipamerkan Mita. Semuanya begitu lucu.
"Lantas, mau dikemanakan
foto-foto ini?" tanya Ugi.
"Tunggu saja besok. Aku akan
menjadi kaya karena foto-foto itu," pikiran Mita melayang jauh.
Besok siang, selepas sekolah Mita
langsung mendatangi teman-teman yang difotonya satu per satu. Hampir semuanya
langsung pucat dan malu melihat hasil foto Mita.
"Jangan takut, aku tidak akan
menunjukkan foto ini kepada orang lain. Pokoknya, aku tunggu sore nanti di
rumah untuk menebus foto ini," kata Mita kemudian.
"Wah, ini namanya
pemerasan," kata Dodi.
"Ih, memangnya baju diperas
segala," timpal Mita tidak memedulikan.
Keruan saja, teman-teman Mita jadi
saling mengunjungi. Kemudian, mereka berkumpul untuk memecahkan persoalan
mereka. Yang jelas, mereka tidak ingin Mita mendapat untung, sedanngkan mereka
mengalami kerugian yang memalukan.
"Kita biarkan saja foto-foto
itu. Jangan ada yang menebusnya. Nanti dia akan mengulanginya lagi," usul
Toto.
"Tetapi, bagaimana kalau fotoku
tersebar kepada anak-anak yang lain?" keluh Wini yang menyadari betapa
jelek wajahnya di foto itu.
"Ya, kita ingatkan teman-teman
yang lain agar tidak melihat foto-foto kita. Diberi tahu saja bahwa mereka juga
nanti akan mendapat giliran," sahut Andi.
Akhirnya, semua bersepakat untuk
tidak menebus foto mereka ke rumah Mita. Sementara, Mita terbengong-bengong di
rumah menunggu kedatangan teman-temannya. Rupanya cita-cita Mita jadi paparazzi
tidak terkabulkan.
Kling … klong! Bel rumah berbunyi.
Mita dengan penuh harap memburu pintu depan. Ia mengintip dari jendela. Mukanya
mendadak pucat ketika mengetahui yang datang, ternyata dua orang lelaki
berseragam polisi. Mita membatalkan niatnya membuka pintu.
"Ma, ada tamu di luar,"
teriak Mita di depan kamar Mama. Ia sendiri kemudian masuk ke dalam kamar.
Mengapa ada polisi datang ke sini? Mita membatin. Jangan-jangan, teman-temannya
melaporkan kegiatannya ke polisi? Ah, masa sih, sampai sejauh itu.
"Mita ... Mita," seru Mama
terdengar dari luar kamar.
Mita bukan keluar kamar, malah masuk
ke kolong tempat tidur. Tubuhnya seperti kian menciut ketika Mama masuk ke
dalam kamar.
"Mita di mana kamu? Itu ada Pak
Polisi mencari kamu. Aduh, sedang apa kamu di kolong ranjang, Mita? Nanti ada
kecoak, lho!" ujar Mama yang menemukan Mita saat berjongkok.
Mendengar Mama menyebut kecoak, Mita
langsung keluar dari kolong ranjang.
"Mau apa Pak Polisi mencari
Mita, Ma?" tanya Mita kemudian.
"Kamu pasti belum mendengar
berita pencurian di rumah Pak Broto kemarin. Nah, Pak Polisi itu sedang
menyelidiki pelakunya. Tadi, Pak Polisi sudah wawancara beberapa orang.
Ternyata, Andi memang melihat ada mobil berhenti di depan rumah Pak Broto.
Tetapi, karena ia sedang dikejar anjing, Andi tidak begitu mengingat persis
mobilnya. Lantas, Andi menyebutkan bahwa kamu juga ada di sana saat itu. Malah,
sempat memotret di sana," tutur Mama.
"Mobil di depan rumah Pak Broto?
Tunggu sebentar … kalau tidak salah, mobil itu terfoto kemarin." Mita
segera memeriksa hasil fotonya kemarin di atas meja. Diambilnya foto saat Andi
dikejar anjing. Di bagian pinggir foto itu, jelas terlihat sebuah mobil
berwarna cokelat dari belakang terparkir di depan rumah Pak Broto. Nomor plat
mobilnya meski kecil masih dapat dilihat. "Ini fotonya, Ma. Biar Mita yang
berikan kepada Pak Polisi."
Mita mengikuti Mama ke ruang tamu.
Kali ini, ia tidak cemas lagi. Malah, Mita memberanikan diri bercerita panjang
lebar mengenai foto hasil bidikannya itu.
"Boleh kami minta foto ini untuk
bahan penyelidikan?" pinta Pak Polisi kemudian.
"Wah, sebenarnya foto ini mau
saya jual, Pak," kata Mita.
"Mita, masa untuk kebaikan mau
kamu jual juga. Biar nanti Mama yang ganti," sela Mama.
Mita tersenyum. "Tidak usah, Ma.
Pak Broto kan, orangnya sering menolong. Mita dengan senang hati juga mau
menolong," timpal Mita kemudian.
Kedua Pak Polisi itu segera pamit.
Mita kembali ke kamarnya dengan hati riang. Biarlah, teman-temannya tidak perlu
menebus foto-foto mereka, Mita berniat memberikannya secara cuma-cuma. Namanya
juga paparazzi kampung. Yang jelas, ia merasa bangga bisa membantu Pak Polisi
menangkap pencuri di rumah Pak Broto.
No comments:
Post a Comment