Sopir Berewok
Sejak kelas satu sampai kini kelas lima, Putri belum
pernah pergi dan pulang sekolah sendiri. Pasti selalu diantar dan dijemput.
Kalau Bi Sum sedang repot, ada Bang Jaka yang menggantinya. Tapi, hari ini
semua berubah.
Bi Sum kemarin sore pulang ke
kampungnya karena ibunya meninggal dunia. Lalu, Bang Angga sedang praktik dari kampusnya di luar kota. Mama dan papa juga tidak mungkin menjemputnya karena harus
bekerja.
“Mama hanya bisa mengantarmu ke
sekolah, tapi pulangnya kamu tetap harus sendirian,” kata Mama pagi-pagi.
Ingin rasanya Putri bolos sekolah.
Tapi, hari ini ada pelajaran matematika yang paling Putri senangi.
“Lalu, siapa yang akan menemani Putri sepulang
sekolah nanti di rumah?” tanya Putri bingung.
“Nanti siang,
ada Mbak Rita. Mama sudah meneleponnya tadi, agar menemani kamu di rumah,” sahut Mama.
Putri mengangguk setuju. Ia paling senang ditemani
Mbak Rita, kakak sepupunya. Sayangnya, Mbak
Rita juga harus sekolah pagi, dan letak sekolahnya berlawanan arah dengan
sekolah Putri. Coba kalau searah, Putri akan minta tolong Mbak Rita supaya
menjemputnya.
Siangnya,
Putri kebingungan mencari kendaraan untuk pulang. Kalau dengan Bang Angga, ia
tinggal naik ke boncengan motor. Atau, kalau
bersama Bi Sum, Putri tinggal tahu beres naik ke atas bajaj. Ah, tapi banyak
temannya yang pulang sendiri naik bajaj. Mereka berani,
kok.
Matahari makin menyengat. Bajaj yang
lewat di depan Putri kebanyakan sudah diisi. Sampai akhirnya, sebuah bajaj kosong berhenti di depan Putri.
“Mau ke mana, Non?” tanya sopir
bajaj sambil melongokkan kepala.
Putri tidak langsung menjawab. Ia
terkejut melihat tampang sopir bajaj itu.
Mukanya dipenuhi kumis dan berewok.
“Ayo, Abang
antar. Nanti, susah lagi cari bajaj di
sini,” bujuk sopir bajaj.
“Ke Jalan
Merpati berapa, Bang?” tanya Putri akhirnya.
“Dua ribu lima ratus saja, deh.”
Putri tidak menawar lagi karena
ongkos tersebut memang sudah biasa kalau pergi dengan Bi Sum. Ia segera naik ke
dalam bajaj. Aneh juga rasanya duduk di bajaj sendiri. Putri berusaha menikmati
perjalanan sambil melihat ke pinggir jalan. Namun, ketika di perem-patan jalan
tahu-tahu sopir bajaj itu berbelok ke kiri.
Padahal, semestinya jalan lurus.
Putri mulai berkeringat, bingung.
Pelan-pelan, ia mengamati wajah sopir bajaj itu. Mukanya seram seperti penjahat di
televisi. Aha, jangan-jangan dia penculik, pikir Putri. Ia ingat kata
teman-temannya bahwa kalau anak diculik maka orangtuanya harus mene-busnya
dengan mahal. Ada juga yang diculik untuk dijadikan tumbal jembatan atau
gedung. Hiiiy ….
Putri tak
kuat lagi menahan rasa takutnya. Napasnya mulai sesak. Ia menangis
terisak-isak.
Sopir
bajaj bingung mendengar suara tangis Putri. Ia menghentikan bajajnya dan
menepi.
“Lho, kok,
nangis?” tanya sopir bajaj pelan.
“Habis Abang jahat, sih! Abang pasti penculik!” jawab
Putri.
“Penculik? Hehehe …, apa karena muka Abang berewok
dan jelek, lantas Abang dikira penculik?” sopir bajaj
itu malah tersenyum.
“Kalau bukan menculik, apa lagi? Ini bukan jalan ke
rumah saya. Harusnya, di perempatan tadi
jalan lurus,” cetus Putri masih terisak.
Sopir
bajaj manggut-manggut. “Jadi, itu sebabnya. Wah …
Non pasti tidak tahu. Mulai pukul sembilan,
jalanan di perempatan tadi diubah arusnya. Jalan itu cuma searah. Tidak bisa
dua arah seperti sebelumnya. Nah, untuk mencapai jalan Merpati,
Abang harus memutar dulu ke sini. Kalau
tidak percaya, lihat saja nanti,” kata supir bajaj sambil menjalankan kembali
bajajnya.
Putri terdiam. Ia masih setengah tidak percaya.
Tetapi, ketika bajaj itu tiba pada jalan yang dikenali Putri, akhirnya Putri
jadi malu sendiri. Ya, ia telah berburuk sangka pada supir bajaj itu.
“Sudah, Bang. Ini rumah saya,” seru
Putri ketika bajaj sampai di depan rumahnya.
Putri mengeluarkan ongkos dari
sakunya. “Ini uangnya, Bang. Maafkan saya tadi ya, Bang.”
“Tidak apa-apa. Itu artinya kamu
waspada dengan orang asing. Cuma lain kali,
jangan cuma waspada karena berewoknya saja,
ya! Hehehe …,” kelakar sopir bajaj. Kemudian, ia meneruskan
pekerjaannya mencari penumpang.
Putri menarik napas lega. Hari ini ia mendapat
banyak pengalaman ber-harga. Dan, ia kagum pada dirinya sendiri karena kini
sudah berani pulang sekolah tanpa dijemput siapa pun.
No comments:
Post a Comment