Jangan Menyerah
Mestinya sore yang cerah ini aku berada di taman. Ya, bermain dengan
teman-temanku. Entah itu bermain sepeda, bermain kejar-kejaran atau
malah bermain sepak bola dengan anak lelaki.
Uuuh!
Tapi itu tidak mungkin aku lakukan. Aku hanya bisa berada di rumah.
Tidak peduli hari hujan maupun cerah. Ya, aku harus tetap duduk di atas
kursi rodaku. Semua ini harus kulakukan sejak seminggu yang lalu.
Setelah kecelakaan mobil itu.
“Intan, di luar hari cerah. Tidak mau bermain …”
“Tidak, Ma,” aku memotong kalimat Mama. Buat apa aku keluar?
Untuk melihat tatapan kasihan teman-temanku? Untuk melihat senyum
mengejek musuh-musuhku?
“Kamu tidak bisa terus
menerus di rumah begini. Sekolah pun kamu tidak mau masuk lagi. Keluar
rumah juga tidak mau,” kata Mama.
“Mama sih enak.
Coba kalau Mama kayak aku …” Aku terdiam sebentar. Kulihat Mama
meneteskan air matanya meski sudah berusaha keras menahannya.
Saat kecelakaan itu, aku memang sedang naik mobil yang disopiri
Mama. Kami baru pergi belanja. Di perjalanan tahu-tahu ada mobil
neyelonong dari arah yang berlawanan. Mama langsung membanting stir.
Mobil kami keluar jalur lalu menabrak pohon. Aku pingsan entah berapa
lama. Saat sadar aku baru tahu kakiku hilang satu.
Tentu saja aku sedih. Aku juga bingung. Aku jadi menyalahkan semua
orang. Menyalahkan mobil yang menabrak. Menyalahkan Mama yang mengajakku
belanja. Ah, semestinya aku tidak boleh menyalahkan Mama. Tentu saja
tidak ada seorang ibupuin yang mau anaknya cacat.
“Maafkan Intan, ma. Intan tidak bermaksud membuat Mama sedih,” kataku kemudian.
Mama mendekap kepalaku. “Mama juga minta maaf,” kata Mama entah untuk keberapa kalinya.
Mama pun tidak menanyakan lagi kenapa aku tidak mau keluar
rumah atau tidak mau ke sekolah. Ya, aku memang tidak mau masuk sekolah
lagi dengan keadaan kakiku ini. Apa yang bisa aku lakukan di sekolah
bila harus duduk di kursi roda begini?
Ting-tong-ting-tong ….
Bel rumah berbunyi. Mama meninggalkan aku. Tak lama kemudian Mama kembali ke kamar menemuiku.
“Teman-temanmu mau bertemu …”
“Aku tidak mau bertemu mereka, Ma,” kataku.
“Kaihan mereka. Setiap hari mereka bertamu agar bisa bertemu denganmu,” bujuk Mama.
“Tidak, Ma. Aku tidak mau bertemu dengan mereka.”
Aku menarik nafas lega dan membiarkan diriku terkurung di kamarku.
Dua hari kemudian aku kembali ke rumah sakit untuk kontrol
kesehatanku. Karena kesal menunggu giliran masuk, aku menjalankan kursi
rodaku. Mama memintaku agar berhati-hati. Tapi sama sekali tidak
melarangku jalan-jalan mengitari lorong rumah sakit.
Sampai akhirnya aku melihat sebuah ruangan yang terbuka. Aku melihat ada
beberapa anak sedang duduk mengitari seorang wanita yang tengah
memegang buku. Sepertinya wanita itu tengah mendongeng. Kudengar darei
ucapannya. Dan sepertinya dongengnya itu menarik. Soalnya, anak-anak di
sekelilingnya tampak mendengarkan dengan tekun.
“Silakan masuk. Jangan di pintu saja,” kata wanita itu. “Namaku Bu Bertha. Siapa namamu?”
“Aku Intan, Bu.” Aku kemudian masuk ke ruangan itu.
Bu Bertha melanjutkan dongengnya. Rupanya Bu Bertha tengah
mendongeng kisah puteri berambut panjang Rapunzel. Ya, aku juga suka
cerita itu.
“Nah, sekian dulu cerita hari ini. Kalian
kembali ke tempat tidur dan kamar masing-masing. Besok sore Ibu akan
datang lagi bercerita dengan kalian,” kata Bu Bertha sambil menutup
bukunya.
Terdengar suara anak-anak yang kecewa. Aku
tidak tahu siapa anak-anak sebayaku ini. Apakah mereka pasien ataukah
keluarga pasien? Seperyinya pasien juga seperti aku.
Bu Bertha berdiri. Dia mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. Wow!
Ternyata itu tongkat lipat. Dan … Oh! Bu Bertha menggunakan tongkat itu
untuk berjalan. Rupanya Bu Bertha tidak bisa melihat.
“Hai, kamu anak baru? Namaku Iren. Kamu baru pertama melihat Bu Bertha ya?” tanya seorang anak perempuan.
“Ya, aku baru pertama ke ruangan ini.”
“Ini ruangan untuk bercerita. Banyak pasien yang senang
mendengar dongeng Bu Bertha. Bahkan ketika kami keluar dari rumah sakit
ini, kami sering datang ke sini untuk mendengar dongengnya,” kata anak
perempuan itu. Dia kemudian berdiri dan berjalan Oh rupanya dia
menggunakan kaki palsu.
“Bu Bertha selalu ceria dan
bisa menyenagkan orang lain meskipun tidak bisa melihat. Hal itulah yang
membuat aku semangat. Aku jadi lebih percaya diri. Semula aku minder
karena tidak dapat melihat, tapi sejak mendengar dongeng-dongengnya aku
jadi semangat lagi,” kata seorang anak sambil mengeluarkan tongkat
seperti milik Bu Bertha.
Anak lainnya ternyata juga
cacat. Mereka meninggalkan ruangan dengan ceria. Tinggal aku sendirian.
Ya, seharusnya aku bisa semngat lagi. Tidak terus bersedih. Meski cacat
aku harus bisa hidup bahagia dan menyenangkan orang lain.
“Intan … Intan!”
Aku mendengar suara panggilan Mama. Aku segera memutar kursi
rodaku menghadap ke pintu. Kulihat Mama di pintu. Mama berdiri cukup
lama di sana. Lama sekali sampai aku heran.
“Kenapa, Ma?” tanyaku.
“Mama senang kamu sudah mau tersenyum. Rasanya sudah lama Mama tidak melihat kamu tersnyum ….”
“Ah, Mama.” Aku jadi malu.
Ya, mulai saat ini aku berjanji akan selalu tersenyum
menghadapi hari-hariku. Aku akan belajar membuang perasaan sedihku. Aku
akan bermain kembali dengan teman-temanku, bersekolah dan tentu saja
menerima keadaanku apa adanya.
No comments:
Post a Comment