Pohon Tua di Pinggir Jalan
Clara hampir setiap hari melewati
pohon kenari tua itu. Letaknya persis di pinggir jalan sebelum belok ke komplek
perumahan Clara tinggal. Penampilannya mencolok, karena dialah satu-satunya
pohon kenari yang tersisa. Yang lainnya sudah ditebang beberapa waktu untuk
pembangunan trotoar.
Clara tidak tahu berapa usia
pohon kenari itu. Kata Ayah, sebelum Clara lahir, pohon itu sudah tumbuh. Dan
hari ini, sepulang sekolah Clara melihat seorang petugas menandai pohon itu.
Clara kenal dengan pria bernama Pak Kamto itu.
“Pak, mengapa pohon itu diberi
tanda dengan cat? Kasihan pohonnya. Lihat saja, batangnya sudah dipenuhi paku
untuk memasang papan pengumuman, sekarang dicat pula,” tanya Clara spontan.
“Clara, pohon ini sudah tua. Sudah
waktunya ditebang. Cat ini menandakan pohon ini akan ditebang besok. Jadi orang
yang setiap hari lewat sini, harus berhati-hati besok,” jawab Pak kamto.
“Tapi mengapa pohon ini ditebang?
Bukankah pohon ini bermanfaat bagi kita? Bisa memberi oksigen, menyerap air,
meneduhkan,” tanya Clara lagi.
“Betul Clara. Pohon ini punya
manfaat seperi yang kamu sebutkan. Tapi pohon ini sudah sangat tua. Lihatlah,
daunnya sudah berkurang. Tumbuhnya tidak sesubur dulu lagi. Banyak benalu di
rantingnya. Lihat pula beberapa ranting yang meranggas. Bebeberapa orang ada
yang pernah tertimpa ranting yang jatuh hingga terluka. Pohon ini jadi
mencelakai orang yang lewat,” jelas Pak Kamto.
“Tapi di sini nanti jadi
gersang,” ucap Clara.
“Pak Walikota sudah merencanakan
akan mengganti setiap pohon tua yang ditebang dengan pohon baru. Jadi kita
tidak perlu cemas. Dalam dua atau tiga tahun lagi kita akan punya pohon yang
masih subur dan rindang,” tambah Pak Kamto.
Clara menengadahkan kepalanya.
Dia melihat sosok pohon kenari yang sudah tidak serindang dulu lagi. Tampak
sakit dan ringkih.
“Lantas bagaimana dengan
burung-burung yang biasa hinggap di sini?” tanya Clara. Dia teringat peristiwa
seekor anak burung yang cedera di kaki pohon kenari. Rupanya anak burung itu
terjatuh dari sangkarnya. Clara merawat anak burung itu, hingga akhirnya bisa
terbang sendiri.
“Ah, mereka akan pindah mencari
pohon yang baru di sekitar sini. Oh iya, sebelum ditebang besok, aka nada
petugas yang memeriksa pohon ini. Jika ada sarang burung dengan anaknya, tentu
kami akan memindahkannya terlebih dulu,” ucap Pak Kamto.
Clara manggut-manggut. Dia
kemudian berjalan menuju ke rumah dengan perasaan sedikit sedih. Setahun lalu,
Clara pernah mengikuti lomba menulis puisi. Setelah pusing berpikir, Clara
akhirnya menulis tentang pohon kenari itu. Tidak disangka-sangka, puisi itu
menang lomba. Clara mendapat sebuah komputer yang diimpikannya. Sejak itulah
Clara jadi makin rajin menulis. Entah puisi, cerpen, semua dituangkan di
blognya.
Ibu melihat wajah Clara yang mendung begitu
masuk ke rumah. “Ada apa Clara? Apa bukumu disembunyikan lagi oleh temanmu?”
tanya Ibu.
“Bukan, Bu,” jawab Clara.
“Tapi mukamu sedih begitu?”
selidik Ibu.
“Pohon kenari di pinggir jalan
akan ditebang besok. Begitu kata Pak Kamto,” jelas Clara sambil duduk di dekat
Ibu.
“Benarkah? Oh …” Ibu terkejut
sekali.
Clara jadi bingung. Mengapa Ibu
sepertinya tidak suka mendengar kabar ini?” Kenapa, Bu?” tanya Clara.
Ibu menarik napasnya. “Pohon itu
menyimpan kenangan antara Ibu dan Ayah. Dulu Ibu pertama kenal Ayah di bawah
pohon itu. Ceritanya, sore itu hujan deras. Ibu baru pulang kuliah. Lalu
beteduh di bawah pohon. Kemudian Ayah melihat Ibu, menawarkan bantuan
membonceng motornya. Rupanya Ayah sudah lama memperhatikan Ibu. Tapi baru kali
itu Ayah berani mengajak kenalan dengan Ibu. Ibu sih tadinya nggak mau diajak
Ayah. Tapi Ayah memberi tahu kalau dia anak kenalan kakekmu,” papar Ibu.
“Hehehe, ia betul. Dulu
sebelumnya ayahmu sudah sering tanya-tanya sama Kakek. Tapi dia nggak berani
kenalan sendiri sama ibumu,” tiba-tiba kakek, ayahnya Ibu, muncul sambil
tertawa. “Jadi, kehadiran Clara sekarang ini karena pohon kenari itu juga.
Hehehe.”
Clara tersenyum. Pantas saja Ibu
tadi kaget. Rupanya ada kenangan di sana. Setelah mencium Ibu dan Kakek, Clara
menuju kamarnya di loteng rumah.
Sore harinya, ketika Clara
berjalan ke jendela, dia melihat pucuk pohon kenari di pinggir jalan itu.
Tiba-tiba Clara ingin mengucapkan puisi perpisahan untuk pohon kenari. Dia
segera mengambil kertas dan pulpen.
Pohon Kenari Pohon Kenangan
Tumbuhmu di tepi jalan
Menyimpan banyak sekali kenangan
Dari ibu sampai aku
Dari debu sampai waktu
Duhai, pohon kenari
Yang menemani teduh dari sengat matahari
Tak lama tiada akan pernah
kulihat lagi
Sosokmu nan tegar berdiri sendiri
Sampai jumpa, kenariku
Kan kugenggam selalu kenangan bersamamu
Di jendela, Clara membacakan
puisi itu menghadap pohon kenari. Suaranya lirih dengan basah di sudut matanya.
Tak lama kemudian, angin bertiup
kencang. Membuat dedaunan berterbangan. Clara menutup matanya agar tak
kelilipan. Lalu, tiba-tiba saja angin berhenti. Clara melihat sehelai daun
kenari tergeletak di kakinya. Ada yang aneh di daun itu. Ada tulisan di
atasnya.
Terima kasih puisi indahmu, Clara. Aku akan menyimpannya dalam
kenangan.
00OO00