Friday, February 14, 2014

Cernak, 16 Feb 2014

 Rumah Tua

Oleh Benny Rhamdani

“Jangan main terlalu jauh sendiri ya! Kalau bosan, nanti Nenek carikan teman anak ellaki sebaya denganmu.”

Pesan Nenek seperti kulupakan begitu saja. Aku keasyikan mengejar seekor kelinci putih di belakang rumah nenek. Tanpa sadar aku sudah begitu jauh bermain. Sampai akhirnya kelinci yang kukejar lari masuk ke sebuah perkarangan rumah tua.

Masuk atau tidak ya? Aku bingung karena kulihat di dalam perkarangan itu si kelinci terduduk diam. Seperti menantangku untuk menangkapnya. Aku memutuskan untuk melewati pagar kayu yang sudah tua dan bolong-bolong pada beberapa bagian.

“Hei, mengapa kamu masuk ke sini?”

Aku kaget karena mendengar suara nyaring yang mendadak. Kutengok ke samping kiri dan kanan , tapi tak ada orang. Ke belakang juga tak ada orang.

“Aku di atas pohon mangga,” kata suara itu lagi.

Aku menengadahkan kepalaku. Seorang anak lelaki tengah asyik memakan mangga. Dia pasti mengupas kulitnya menggunakan gigi karena tak memegang pisau.

“Kamu nggak takut main ke sini?” tanya anak lelaki itu setelah turun. “Rumah tua itu kan kosong.”

“Kamu sendiri nggak takut, kenapa aku harus takut?” aku balik bertanya.

“Hebat. Oh iya, namaku Igo. Kamu siapa? Sepertinya pendatang ya?”

“Indra. Aku liburan di rumah nenekku. Kamu bukan penghuni rumah itu?”

“Bukan. Aku anak kampung. Kebetulan aku lewat sini. Kulihat mangganya matang, jadi aku ambil saja,” ucap Igo santai. “Eh kamu tadi ngejar-ngejar kelinci ya? Di dalam rumah itu banyak kelincinya kalau kamu mau.”

“O ya?” Karena penasaran aku berjalan mendekati rumah tua itu.

“Lewat samping saja,” kata Igo memintaku membuntutinya. “Aku kebetulan beberapa kali main ke sini jadi aku tahu keadaannya.”

“Hatsyih!” aku bersin karena hidungku tergelitik debu.

“Guriparas!” timpal Igo.

Aku tersenyum geli. Seperti nenekku, orang-orang di daerah ini selalu mengatakan kata asing itu setiap mendengar orang bersin. Mungkin kebiasaan atau tradisi. Tapi kata Nenek, itu semacam doa agr cepat sembuh.

Igo mendorong pintu samping. Ternyata tak dikunci. Igo memberiku isyarat agar masuk. Semula aku ragu. Tapi Igo kemudian menarikku masuk. Suasana di dalam tak separah yang kubayangkan. Tampak bersih, walaupun tak banyak perabotan. Aku melihat beberapa bingkai foto di dinding.

“Itu!” tunjuk Igo. Dua ekor kelinci menjauh ketika melihat kami. Aku mengejar. Kelinci itu menuju ruangan bawah tanah. Aku ragu-ragu menuruni tangga.

“Masuklah!” Igo mendorongku hingga aku menuruni tangga. Tapi ternyta Igo tak ikut. Dia malah menutup pintu ke ruang bawah tanah. Mungkin semacam gudang.

BRUK!

“IGO! Apa yang kamu lakukan?” aku langsung berteriak nyaring. “Jangan bercanda! Aku nggak suka!”

Sama sekali tak ada sahutan dari balik pintu. Aku meraba-raba dinding mencari saklar lampu. Tapi aku gagal. Akhirnya, aku menaiki tangga dan duduk di undakan teratas sambil terus menggedor pintu. Barangkali ada yang mendengar.

Entah berapa puluh menit kemudian, pastinya aku sudah putus harapan, tiba-tiba pintu dibuka dari luar. Kupikir Igo yang mengerjaiku, makanya aku sudah bersiap menghajarnya. Ternyata bukan.

“Siapa kamu? Mengapa ada di rumah kami?”

“Kalian siapa?” tanyaku.

“Kami Rahmi dan Rahma. Kami tinggal di sini. Dan kamu?”

Tanpa berlama-lama aku segera menceritakan segalanya sambil duduk di kursi. Kulihat dua anak kembar itu hanya terbengong-bengong tak percaya.

“Igo? Jadi kamu bertemu Igo? Tidak mungkin. Dia itu orang kampung yang sudah meninggal setahun lalu,” kata satu dari mereka. Entah Rahma atau Rahmi.

“O ya?” Kali ini aku yang terkejut. Tapi tak terlalu lama. Mataku tertuju pada deretan figura foto. Ada foto keluarga rumah ini. Di sana jelas ada dua anak perempuan kembar dan satu anak lelaki.

“Hatsyih!” aku bersin karena hidungku gatal.

“Guriparas!” aku mendengar suara kedua anak kembar mendoakanku. Ah, bukan cuma dua tapi ada tiga suara. Dan aku tahu di mana asalnya. Di salah satu kamar. Aku langsung membuka pintu kamar itu. dan kutemukan Igo tengah berdiri.

“Apa maksudmu mengurungku di bawah tanah tadi?” aku langsung mendorong Igo. Meskipun tubuhnya sedikit lebih besar, aku tidak takut.

Tiba-tiba pintu depan dibuka. Aku lihat seorang wanita setengah baya masuk bersama… nenekku!

“Lho, Indra sudah kenal sama Igo? Baru nenek mau ajak Igo ke rumah buat nemanin kamu selama liburan di sini,” kata Nenek bingung.

“Siapa yang mau main dengan dia?” kataku sambil menjauhi Igo.

“Lho, katanya kamu mau belajar naik kuda. Igo ini punya kuda dan pandai naik kuda. Dia bisa mengajarimu,” kata Nenek.

Aku menghentikan langkahku. Menurut kalian kuterima atau tidak permintaan Nenek agar aku bersahabat dengan Igo? Memang benar, aku ingin belajar menunggang kuda. Tapi aku juga masih jengkel sama Igo!

No comments: