Penghuni Rumah Hantu
Murid baru di kelas lima menarik perhatian Fira. Anak
perempuan bernama Winda itu nyaris tidak pernah berkata sedikit pun, kecuali
bila seseorang bertanya padanya. Itu pun dijawabnya hanya sepotong kata.
Selebihnya, cuma kepalanya yang menggeleng dan mengangguk.
“Sepertinya dia enggak suka sekolah di sini,” lapor Yuli
yang baru saja mencoba mengajak Winda bicara, tapi gagal.
“Pasti ada sesuatu yang membuatnya begitu. Aku jadi
penasaran, nih. Di mana anak baru itu sekarang?” tanya Fira.
“Di belakang. Dekat kebun sekolah,” jawab Yuli.
Fira langsung berjalan ke kebun belakang gedung sekolah.
Benar saja. Fira menemukan Winda tengah duduk sendirian di atas bangku kayu.
“Hei, ngapain bengong sendirian? Nanti digodain setan, lho!”
sapa Fira sambil mendekat.
Tiba-tiba, mata Winda membelalak kaget. Tapi, setelah
melihat sekelilingnya, ia tampak tenang. Apalagi yang datang hanyalah Fira.
“Gara-gara kamu menyendiri terus selama istirahat,
teman-teman jadi merasa bersalah, lho. Mereka khawatir ada perkataan mereka
yang membuatmu tersinggung,” lanjut Fira.
Winda memandangi Fira. “Teman-teman enggak ada yang salah,
kok. Maaf ya, kalau sikapku kurang menyenangkan kalian. Soalnya …,” Winda
memotong kalimatnya ragu.
“Kenapa? Rahasia, ya.
Tenang, aku enggak akan bilang ke siapa-siapa, kok,” desak Fira ingin tahu.
“Karena aku sangat ketakutan tinggal di rumah baru yang
ditempati keluarga kami. Di rumah itu … ada … hantunya!”
Fira melongo. “Hantu? Kayak apa hantunya?” tanyanya
kemudian.
“Hantu yang bisa menampakkan diri jadi manusia. Dia sangat
sering muncul menyerupai … aku,” jawab Winda.
Fira melongo lebih lebar. “Sudah berapa kali kamu
melihatnya?”
”Sering. Pokoknya, sejak aku mengisi rumah itu seminggu
lalu.”
“Dia mengganggumu?”
“Sebenarnya sih, enggak. Hantu itu hanya menampakkan diri.
Tapi, biar bagaimanapun, aku tetap saja takut.”
Fira berpikir sebentar.
“Pasti kamu enggak percaya. Kalau pengin bukti, nanti pulang
sore main saja ke rumahku.”
“Boleh, ya? Nanti, aku datang bersama teman-teman yang lain.
Winda buru-buru menggelengkan kepala. “Kamu tadi udah janji,
bakal menjaga rahasiaku ini!”
Bel berbunyi. Mereka segera masuk kelas. Penghuni kelas lima
berusaha mengorek keterangan dari Fira. Namun, Fira memegang teguh janjinya.
Setelah sekolah bubar, Winda memberika alamat rumahnya,
lengkap dengan nomor telepon. “Khawatir kalau kamu nyasar,” katanya.
“Aku datang pukul dua, ya! Setannya kalau siang mau nongol,
kan?’
“Iya. Mau!”
**
“Sebenarnya, setan itu ada apa enggak sih, Nek?”
Fika bertanya setelah makan siang kepada Nenek Tomboi.
“Dalam Al-Quran, kan, dijelaskan ada,” jawab Nenek Tomboi.
“Apa kita bisa melihatnya?”
“Dulu, waktu Nenek masih kecil diajari cara melihat setan.”
“Oya? Gimana caranya?”
“Ambil arang, lalu, kita coretin wajah kita dengan arang
itu. Kalau wajah kita udah tercoreng, kita tinggal menghadap ke cermin ….”
“Setannya kelihatan ya, Nek?”
“Hihihi … sebenarnya bukan setan. Tapi, bayangin kita
sendiri yang jelek karena dicoret arang. Konon, wajah setan seperti itu …
hihihi ….”
“Uuuh, Nenek. Fira tanya serius, jawabannya bercanda.”
“Habisnya, Fira nanya soal setan, sih. Nenek kan, bukan
temennya setan.”
“Idih, siapa yang bilang begitu …. Kalau memang Nenek enggak
tahu, kan, tinggal bilang aja enggak tahu.”
Nenek Tomboi bingung melihat Fira bersiap-siap hendak pergi.
“Mau pergi ke mana panas-panas begini?” tanya Nenek Tomboi.
“Mau ke rumah teman baru. Mau melihat hantu ….”
**
Letak rumah Winda lumayan jauh dari rumah Fira. Tapi, Fira
bisa mencapainya hanya dengan sekali naik angkot. Begitu tiba di teras rumah,
Fira langsung disambut Winda ramah.
Rumah Winda terbilang besar, dengan model seperti rumah
peninggalan Belanda. Pintu dan jendelanya lebar. Tangga menuju ke lantai dua
juga terbilang lebar.
“Duduk dulu, Fira. Aku ke dapur dulu bikin minuman buat
kamu,” pinta Winda di ruang tamu.
“Enggak usah repot-repot. Sirup jeruk pake es di gelas yang besar
aja, Win,” timpal Fira.
Winda meninggalkan Fira sambil tersenyum. Sementara Fira
duduk sambil memerhatikan isi ruangan. Mata Fira terbelalak ketika melihat
Winda menuruni tangga sambil memainkan biola.
“Lho, kamu kok, ada di atas? Bukannya tadi masuk dapur?
Cepat banget sih, kamu ganti baju?”
Winda tak menjawab. Dia malah kembali ke loteng sambil terus
memainkan biola. Sedetik kemudian, muncul Winda melalui pintu depan berjalan
sambil menunduk.
“Win … da?” Fira gemetar.
Winda tak menjawab. Ia masuk ke salah satu kamar. Belum
habis rasa heran Fira, Winda masuk sambil membawa gelas minuman untuk Fira.
“Kenapa mukamu pucat, Fira? Ah … pasti hantu itu sudah
menampakkan diri, ya?” tanya Winda.
Fira tak langsung menjawab. Benarkah itu hantu? Fira berdiri
sebentar melihat dinding, seolah hendak membuktikan hantu-hantu tadi tak akan
nongol dari dinding. Kemudian, ia berjalan ke jendela rumah dan memerhatikan
pemandangan di luar. Keningnya berkerut ketika melihat pakaian yang berjajar di
tali jemuran.
“Sekarang kamu percaya, kan, di rumah ini ada hantunya. Itu
sebabnya aku jadi takut. Hmmm … kira-kira bagaimana menangkap hantunya, ya?”
tanya Winda.
Fira tertawa kecil. “Hantu itu enggak perlu kamu usir,
karena memang enggak ada hantu di rumah ini. Aku tahu, kok, kamu pasti membuat
sandiwara seolah di rumah ini ada hantunya, kan? Sandiwara itu kamu buat dengan
saudara-saudaramu. Kalian pasti kembar tiga, kan?”
Winda tercengang. Dia tak menyangka permainan rahasianya
terbongkar dengan mudah oleh Fira. Dia lantas memberi isyarat dengan bertepuk
tangan. Dua saudara kembarnya muncul. Saat mereka berjajar bertiga, wajah
mereka tampak persis. Winda pun mengenalkan Fira dan dua saudara kembarnya,
Windi dan Wendi.
“Bagaimana kamu tahu kami kembar tiga?” tanya Winda
kemudian.
“Sebenarnya ada dua petunjuk, sih. Pertama, di tembok rumah
kalian enggak ada foto keluarga. Tapi, aku menemukan paku untuk mengaitkan
bingkai foto. Jadi aku mengira, kalian sengaja menyembunyikan anggota keluarga
kalian. Lalu, aku berjalan ke jendela dan melihat ke tiang jemuran. Di sana,
aku melihat tiga baju dengan model dan ukuran yang sama sedang dijemur.
Biasanya, cuma orang kembar yang demikian,” jelas Fira.
“Ooo …,” tiga saudara kembar itu memberi komentar kompak.
“Ngomong-ngomong, mengapa kalian tidak satu sekolah?” tanya
Fira kemudian.
“Ibu kami yang mau. Tapi, kami sih senang aja. Jadi, kami
bisa ngerjain teman-teman baru kami. Sejauh ini, udah ada tiga orang yang lari
terbirit-birit dari rumah ini,” jelas Winda.
“Untung aku enggak.”
“Tapi, kalau bisa jangan bocorkan pada teman-teman yang
lain. Soalnya, aku masih pengin ngerjain yang lain.”
“Oke. Itu urusan gampang. Cuma aku suka lupa menyimpan
rahasia kalau sehari saja enggak makan cokelat.”
“Huuuh, dasar!” ledek Winda dan dua kembarannya sambil
cekikikkan.
**
No comments:
Post a Comment