Jo
& Jim Jerami
Hari masih gelap karena matahari masih
malu-malu menyembul. Jo sudah bangun membantu ayah mengangkat barang-barang
dagangannya ke atas kereta kuda.
“Sudah semua, Ayah!” teriak Jo setelah
meletakkan gentong terakhir berisi selai stroberi.
Ayah mengangguk. “Terima kasih. Kalau
begitu, kita sarapan dulu, yuk!” ajak Ayah sambil merangkul kepala Jo.
Jo menyiapkan telur dadar istimewa untuk
ayah. Ia selalu melakukan hal itu bila ayah akan berdagang ke kota karena ibu
telah meninggal sebulan lalu.
“Berapa lama Ayah akan pergi kali ini?”
tanya Jo sambil menghabiskan sarapannya.
“Sekitar satu minggu,” jawab Ayah.
Mata Jo melebar. “Satu minggu? Lama
sekali!” Ya, kalau masih ada ibu, maka Jo tidak akan merasa kesepian ditinggal
selama itu.
“Tak usah sedih begitu. Ayah sudah
menyiapkan teman untukmu,” kata Ayah kemudian.
Selesai sarapan, Ayah mengajak Jo ke
kamarnya. Ia lantas menunjukkan sebuah boneka dari jerami setinggi Jo.
“Bagus sekali boneka jerami ini. Sayang,
ia tidak bisa kuajak bermain jika aku kesepian,” gumam Jo.
“Boneka jerami ini akan hidup seperti
manusia jika matahari bersinar dan kembali seperti ini kalau matahari
tenggelam. Jadi, sepanjang siang kamu bisa berteman dengannya,” kata Ayah
sambil tersenyum.
“Wah, hebat benar!”
Ayah mengangguk. Ia sebentar melihat
keluar jendela.
“Fajar hampir menyingsing. Ayah
berangkat dulu agar bisa secepatnya sampai ke kota,” kata Ayah.
“Terima kasih atas bonekanya, Ayah!”
kata Jo saat Ayah naik ke atas kereta kudanya.
“Ya. Jangan lupa memberinya nama. Dan,
jangan menyalakan api di dekatnya,” pesan Ayah sebelum berangkat.
Jo mengamati kereta kuda ayahnya hingga
lenyap dari pandangan. Ia lalu melihat ke ufuk timur. Tampak olehnya fajar
telah menyingsing.
“Cihuuui …, boneka jerami itu pasti
sudah hidup,” teriak Jo.
Ia bergegas menuju rumah. Ternyata,
boneka jerami itu sedang menengok-nengokkan kepalanya, seperti sedang
kebingungan berada di kamar sendirian.
“Hai, selamat pagi! Kata ayah, mulai
hari ini kamu menjadi sahabatku,” sapa Jo seraya mengulurkan tangannya.
“Aku bersedia. Tapi, kamu harus
memberiku nama dulu,” sahut boneka jerami.
Jo kebingungan. “Ah, bagaimana kalau
kupanggil Jim? Kamu suka nama itu?”
“Ya, aku suka. Jim si Boneka Jerami.
Hahaha …,” Jim tertawa riang.
“Bagus, kalau kamu suka.”
“Lantas, apa yang harus kita lakukan
sepagi ini?” tanya Jim.
“Bagaimana kalau kita membersihkan
rumah? Sejak ibuku meninggal, kami tidak pernah membersihkan rumah ini.
“Aku setuju!”
Mereka pun bekerja membersihkan rumah
sambil bernyanyi riang.
Jim ternyata punya kekuatan ajaib
lainnya. Ia bisa merayap naik ke dinding untuk membersihkan sudut-sudut rumah.
Ia juga dapat mengangkat lemari besar dengan satu tangan. Wah, dalam waktu
singkat semuanya sudah beres.
“Rumahku sekarang bersih sekali. Ayah
pasti senang. Tanpamu aku tak mungkin mengerjakan ini dalam sehari,” ungkap Jo.
“Aku juga senang dapat melakukan semua
ini. Sekarang, apalagi yang akan kita kerjakan?” tanya Jim.
“Kita memerah susu dulu, mengumpulkan
telur ayam, dan memetik jagung di ladang. Setelah itu, baru kita makan siang,”
usul Jo.
Mereka lantas menjalankan rencana itu.
Karena Jim punya kekuatan ajaib, semua pekerjaan bisa diselesaikan dengan
cepat.
“Aku akan menyiapkan hidangan istimewa
untukmu, Jim,” kata Jo usai memetik jagung di ladang. Ia segera ke dapur
memasak.
“Jo, tunggu dulu. Jangan menyalakan api
di dekatku,” tiba-tiba terdengar teriakan Jim.
“Oh, maaf. Aku lupa. Tapi, aku harus
masak untuk makan siang kita,” kata Jo.
“Kalau begitu, biarkan aku menjauh dari
sini dulu.”
Belum sempat Jo menyahut, Jim sudah
pergi. Jo pun segera memasak. Begitu Jo membawa masakannya ke meja makan, Jim
datang.
Jo dan Jim menghabiskan makan siang
mereka. Setelah selesai makan, mereka istirahat sebentar.
“Boleh kutahu, kenapa aku tidak boleh
menyalakan api di dekatmu?” tanya Jo.
“Ada satu hal yang memusuhiku. Namanya
si Lidah Api. Ia selalu berusaha
memusnahkan aku,”jelas Jim.
Jo akhirnya mengerti. Lalu, ia mengajak
Jim bermain bola. Menjelang matahari terbenam Jim masuk ke kamar ayah. Ia
kembali menjadi boneka jerami ketika matahari tenggelam.
Jo yang kesepian memandang bintang di
langit. Tubuhnya letih dan ingin segera tidur. Tapi, brrrr … udara malam terasa
dingin.
“Ah, sebaiknya kunyalakan perapian
saja,” pikir Jo. Sebentar, ia teringat pesan ayah agar tidak menyalakan api di
dekat Jim.
“Tapi, Jim berada jauh di kamar ayah,”
gumam Jo. Ia segera menyalakan perapian. Tubuhnya pun mulai hangat. Pelan-pelan
ia tertidur pulas.
Tanpa
disadari Jo, angin berembus masuk dari sela-sela rumah. Si Lidah Api
kegirangan. Apalagi kamar tidur ayah tak tertutup pintunya. Bara dari
perapian beterbangan ditiup angin. Bara
itu beberapa ada yang hinggap di tubuh Jim.
Ketika esok paginya Jo terbangun, ia
kaget melihat tubuh Jim sudah menjadi abu. Jo menyesal dan bersedih. Tak
disangka sahabatnya harus jadi abu karena keteledorannya.
No comments:
Post a Comment