Dita duduk santai di sofa ruang tengah. Di depannya, tergeletak mangkok bakso yang sudah tandas. Kini, Dita beralih menghabiskan cokelat batang kesukaannya. Seminggu setelah lebaran, di rumah masoih banyak makanan.
“Dita, besok masuk sekolah, kan?” tanya Dina, kembarannya.
“Ya iyalah. Kamu juga pasti tahu,” timpal Dita.
“Maksudku, kok belum beres-beres? Sepatu sekolah terakhir dipakai kan masih kotor kena lumpur. Buku-buku sekolah juga belum dirapikan,” kata Dina.
Dita terdiam. Saat libur lebaran banyak sepupunya yang berkunjung. Mereka mengacak-acak rak buku Dita karena ingin membaca buku seri Kecil-Kecil Punya Karya. Tapi sekarang Dita belum sempat merapikannyalagi.
“Nanti repot lho,” ujar Dina lagi.
“Ih, kamu cerewet banget kayak Ibu, nenek, dan yang lainnya. Tenang aja, pasti aku bereskan rak buku aku. Memangnya kamu sudah?” tanya Dita.
“Sudah dari kemarin.”
“Nah, kalau begitu rapikan sekalian rak buku punyaku.”
Dina melempar bantal kursi. “Enaknya. Kata Ibu, nanti kebiasaan,” sergah Dina sambil melihat di sekiatr Dita. Ya, ampun! Bukan Cuma mangkuk bakso, tapi juga ada bungkus keripik pedas dari Badung, mangkok kecil bekas empek-empek.
“Kamu kok makan yang pedas-pedas melulu? Nanti sakit perut lho,” kata Dina.
“Nggak mungkin. Aku ini hobi makanan pedas. Memangnya kamu. Makan tekwan aja mules,” ledek Dina.
“Biar saja. Yang penting aku masih bisa makan sayur dan buah-buahan,” kata Dina.
“Kalo cokelat mau nggak?” tanya Dita sambil menyodorkan cokelat di tangannya.
“Tadi sudah. Terlalu banyak juga bisa bikin mules,” kata Dina.
“Uh, dasar usus tipis. Dikit-dikit mules!” ledek Dita.
Dina dan Dita memang saudara kembar. Tapi dalam beberapa hal mereka sangat berbeda. Dita sangat tomboy, sementara Dina halus dan lembut. Dita sangat berantakan, sementara Diana sangat rapi. Yang pasti, keduanya saling menyayangi. Buktinya, beberapa jam kemudian ketika Dita merasa sakit perut, Dina tidak menyalahkannya.
“Aku buatkan teh pahit hangat ya,” kata Dina.
“Iya. Sekalian obatnya,” kata Dita yang terbaring di sofa menahan sakit perutnya.
Dina membuatkan teh pahit hangat dan obat sakit perut. Dita meminumnya sambil berdoa sakit perutnya segera hilang. Tapi ternyata sakit perutnya belum hilang-hilang juga. Dita malah sekarang bolak-balik ke toilet.
Dina langsung memberi tahu Ibu ketika Ibu dan Ayah pulang dari acara halal bi halal. Ibu langsung khawatir dengan kondisi kesehatan Dita.
“Kita ke rumah sakit ya. Ini hari Minggu, dokter praktik pasti masih pada tutup,” kata Ayah.
DIta kemudian dibawa ke rumah sakit. Dina ikut mengantar. Sepanjang jalan Dina berdoa, sesekali menghibur Dita yang terus menahan sakit perutnya.
“Coba tadi aku tidak ngatain kamu usus tipis,” gumam Dita menyesal.
“Ah, kayaknya bukan karena kamu ngatain aku deh. Tapi karena kamu terlalu banyak makan yang pedas dan cokelat,” kilah Dina.
Dita dirawat sebentar di ruang UGD rumah sakit. Setelah menghabiskan satu botol caira infus, Dita diijinkan pulang. Sakit perutnya sudah berkurang. Hanya badannya saja yang masih lemas.
Dita berbaring di kamar.
“Duh, aku belum siap-siap utuk sekolah besok,” gumam Dita.
“Kalau masih belum sehat benar, jangan sekolah dulu ya,” kata Ibu.
Dina mengiyakan. Dina kemudian merapikan rak buku Dita yang berantakan.
Keesokan harinya Dita ternyata sudah sehat. Dita memaksa untuk sekolah karena ingin segera bertemu teman-temannya. Ayah dan Ibu mengijinkan selama Dita tidak lari-larian di sekolah.
Saat melihat sepatunya, Dita kaget karena sudah bersih. Dita tahu kepada siapa harus berterimakasih.
“Dina, terima kasih ya. Aku menyayangimu. Jangan bosan ya menasehati aku agar jadi anak baik sepertimu,” ucap Dita saat berangkat sekolah.
“Aku juga menyayangimu, Dita,” jawab Dina.
^-^
No comments:
Post a Comment