Sepatu Merah
Pada jaman dahulu kala, hiduplah seorang lelaki di India. Ia hidup seorang diri, pembantunya tak ada. Untuk mencari nafkahnya ia bekerja sebagai tukang sepatu. Sepatu buatannya sangat kuat dan indah.
Persediaan berasnya hampir habis, karena belakangan ini pelanggannya tidak pernah membeli sepatu buatannya. Tukang sepatu itu merasa sedih. Ia tak mempunyai uang lagi untuk membeli beras dan kulit yang baru. Ia jatuh sakit karena kurang makan.
Tukang sepatu mempunyai sehelai kulit yang indah sekali, yang ia beli beberapa tahun yang lalu. Karena indahnya kulit itu tidak ia jadikan sepatu. Tapi sekarang ia berpikir lain. Karena merasa putus asa, ia bermaksud membuat sepatu yang indah dengan kulit itu.
Bibirnya bergumam sendiri, “Aku akan membuat sepatu yang istimewa. Barangkali saja ada orang yang mau membeli dengan harga yang cukup mahal. Aku akan dapat membeli makanan dan bahan kulit lain.”
Dengan tekun dan hati-hati ia mulai bekerja. Lama-lama selesailah sepatu itu. Bagus sekali. Ia selanjutnya letakkan sepatu itu dalam etalase tokonya. Dengan sabar ia menunggu datangnya pembeli. Tetapi tak seorang pun mau membeli sepatu itu. Orang-orang merasa terlalu mahal.
Tukang sepatu itu merasa bingung. Suatu malam penuh duka, ia duduk sendiri di kursi rumahnya. Ia tak punya uang lagi untuk membeli makanan dan kopi. Ia mengeluh, “Ah, darimana aku dapat makan besok? Ya, Tuhan begitu besar cobaan-Mu kepadaku yang hina ini...”
Di luar hujan turun dengan derasnya. Angin dingin menghembus. Tiba-tiba pintu rumahnya diketuk orang. Ia berdiri membukanya. Yah, seorang pengemis miskin berdiri di muka pintu. Pengemis itu berkata perlahan, “Berilah aku sedikit uang. Aku kedinginan dan lemas sekali. Sehari ini aku belum makan...”
“Aku tak ada uang dan makanan, tapi masuklah dan keringkan bajumu dekat perapian. Malam ini kau dapat tidur di sini”, ujar tukang sepatu itu dengan ibanya.
Masuklah pengemis itu ke dalam dan duduk dekat api. Ia tak bersepatu. Telapak kakinya koyak-koyak dan belah-belah karena gigitan batu-batu tajam.
“Mengapa kau tak punya uang, Pak Tua?” tanya pengemis. Tukang sepatu itu menjawab, “Aku sudah tua sekali. Langganan-langganaku tak mau membeli sepatu lagi. Sepatu-sepatuku tahan lama...”
Pengemis itu mengambil sepasang sepatu istimewa dan berkata, “Sepatu ini bagus sekali, mengapa tak kau jual?”
“Tak seorang pun membelinya. Mereka merasa terlalu mahal.” Jawab tukang sepatu itu dengan wajah penuh kesedihan.
“Aku ingin sepatu seperti ini, kakiku pecah-pecah dan berdarah. Tetapi ah... aku tak ada uang sama sekali”, ujar pengemis.
“Ambillah sepatu itu, tak seorang pun mau membelinya. Ambilllah jika kau menyukainya”.
Sambil berkata begitu tukang sepatu itu pergi meninggalkan pengemis sendiri dan pergi tidur. Pagi-pagi sekali ia bangun. Pengemis itu sudah pergi, sepatu merah dibawanya juga.
Tukang sepatu itu memasak air untuk minum. Tak ada makanan sama sekali. Duduklah ia tenang-tenang menunggu apa yang mungkin terjadi pada dirinya.
Kira-kira jam satu siang pintu rumahnya diketuk orang. Ia buka pintu sambil ia terheran-heran. Di depan pintu berdiri seorang Menteri Kerajaan dengan pakaian kebesarannya. Di belakangnya berdiri seorang pelayan membawa makanan yang lezat-lezat. Menteri itu berkata dengan senyumnya tersungging di bibirnya.
“Saya membawa makanan untuk Anda!”
“Makanan ini untuk saya?” kata tukang sepatu itu dengan rasa keheranan. “Mungkin ini suatu kekeliruan?”
“Bukan kekeliruan, makanlah dahulu nanti saya ceritakan”, kata Perdana Menteri Kerajaan itu. Maka tukang sepatu itu pun makan dengan lahapnya. Selesai makan Perdana Menteri itu berkata, “Tadi malam Anda telah memberi Baginda sepatu merah dan kini beliau akan membayarnya kembali.”
“Tetapi, saya berikan sepatu merah itu kepada seorang pengemis. Siapa Tuan Anda?”, tanya tukang sepatu itu dengan penuh keheranan.
“Tuanku adalah Maharaja KerajaanWirata. Desa ini masuk wilayahnya. Untuk lebih mengenal kehidupan rakyatnya dari dekat, beliau menyamar sebagai seorang pengemis. Anda tentu mengira beliau seorang pengemis sungguhan. Anda berikan kepada beliau satu-satunya kekayaan Anda. Mulai hari ini Anda diminta tinggal di Istana Wirata. Nah, cukup penjelasan saya mari kita berangkat sekarang!”
Kini tukang sepatu itu hidup berbahagia di Istana raja. Tetapi ia tidak sombong dan congkak
No comments:
Post a Comment