Pina dan Ibu
Dahulu kala, ada seorang wanita yang tinggal bersama putrinya, Pina, di sebuah gubuk kecil di desa. Sang Ibu bekerja siang dan malam untuk memenuhi kebutuhan mereka tiap harinya. Tidak peduli seberapa keras ia bekerja, dia tidak pernah mendapat bantuan apa pun dari putrinya.
Pina adalah pemalas, manja dan suka bermain di halaman belakang sepanjang hari. Setiap kali ibunya meminta bantuan di sekitar rumah atau mencoba untuk meminta dia untuk suatu keperluan, dia selalu menemukan alasan dengan mengatakan dia tidak bisa menemukan objek yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas itu. Tak perlu dikatakan, ibunya selalu berakhir melakukan pekerjaan sendiri.
Suatu hari, ibunya sakit parah. Dia memanggil Pina, yang seperti biasa sedang bermain di halaman belakang.
"Pina! Pina! Kemarilah, Anak. Ibu benar-benar sakit. Tolong Ibu buatkan bubur. Aku terlalu lemah untuk bangun."
Pina mengabaikan ibunya dan terus bermain.
"Pina,cepat datang ke sini, atau siapapun!" Ibu mengerahkan semua kekuatannya hanya untuk mengatakan ini. Pina menjulurkan kepalanya ke dalam kamar ibunya.
"Apa yang Ibu inginkan? Ibu benar-benar mengharapkan aku untuk memasak untuk Ibu? Itu terlalu sulit, "protes Pina sambil cemberut dan menghentak kakinya.
"Pina, itu sangat sederhana. Hanya menempatkan beberapa beras dalam panci dan tambahkan air. Setelah air mendidih, biarkan mendidih untuk sementara. Aduk sesekali dengan sendok. Semua yang Pina butuhkan sudah ada di dapur."
Pina dengan terpaksa pergi ke dapur. Ibu bisa mendengar suara Pina membenturkan laci dan lemari. Kemudian Ibu mendengar Pina membuka pintu belakang dan menyelinap keluar ke halaman belakang. Ibunya menunggu dan menunggu. Akhirnya, dia memanggil Pina lagi.
"Pina, apakah sedang memasak?"
"Tidak," jawabnya Pina menantang.
"Mengapa?" respon jengkel ibunya.
"Karena Pina tidak bisa menemukan sendok," jawabnya.
"Oh, Dasar anak malas! Kamu bahkan belum mencarinya! Ibu sedang sakit, tapi Ibu tidak bisa mengandalkanmu!"
Ibu menangis dengan sedihnya. Dalam kemarahannya, dia berteriak, "Aku berharap akan tumbuh seribu mata seluruh kepalamu! Kemudian kamu dapat menemukan apa yang kamu cari. Mungkin kamu tidak akan memiliki alasan lagi."
Setelah ibu mengatakan itu, tidak terdengar suara balasan. Ibu berpikir, "Dia pasti sedang mencoba diam berharap aku akan melupakan yang aku pinta." Ibu menghela napas.
Dia menunggu sebentar untuk melihat apakah Pina akan datang kembali. Menyadari sia-sia menunggu itu, ibu berusaha bangkit untuk memasak sendiri. Ketika dia melihat ke halaman belakang, tidak ditemukan Pina di sana. Dia menghela napas lagi dan berkata pada dirinya sendiri, "Anak malas itu mungkin pergi ke rumah temannya agar tidak usah mengerajakan apa yang aku pinta."
Setelah kelelahan, sang ibu segera kembali ke kamarnya untuk istirahat. Dengan keadaan yang begitu lemah, ibu hanya mencoba untuk melakukan segala sesuatu dengan sendiri. Jam demi jam berlalu, masih belum ada tanda-tanda anak bandelnya kembali. Dengan berat hati, ibu berpikir bahwa Pina pasti telah melarikan diri.
Ketika ibu akhirnya sembuh dari penyakitnya, hal pertama yang dia lakukan adalah mencari Pina. Tidak ada yang melihat atau mendengar di mana Pina. Rasanya seperti dia menghilang ke udara. Bulan berlalu dan masih tidak ada tanda-tanda kabar Pina. Sang ibu merasa menyesal atas ledakan amarahnya, dan dia takut tidak pernah melihat putrinya lagi.
Suatu hari, ibu menyapu halaman belakang tempat Pina sering bermain. Ia melihat tanaman aneh tumbuh di tempat terakhir melihat Pina. Pada saat itu daun tanaman telah terbuka penuh. Di dalamnya, ia melihat buah kuning yang aneh menyerupai kepala anak dengan seribu mata. Seribu mata ...
Dia tiba-tiba teringat kata-kata amarah yang dia ucapkan. Dengan sedih, ia menyadari bahwa sama seperti cinta ibu yang telah memanja putrinya, begitu pula kemarahannya tanpa sadar mengutuk putrinya. Bagaimanapun, putrinya telah berubah menjadi tanaman ini.
Untuk menghormati memori putrinya tercinta, tanaman itu diberi nama buah Pina. Dia merawat tanaman itu seperti putrinya sendiri. Buah berkembang dengan baik sehingga melahirkan semakin banyak buah-buahan, dan menjadi populer di kalangan desa dan seluruh negeri. Namanya kemudian berkembang ke pinya, atau Pineapple dalam bahasa Inggris. Begitulah kisah asal-usul nanas, menurut cerita rakyat Filipina, yang artinya anak manja yang dikutuk dengan seribu mata.
No comments:
Post a Comment