Sehari Dalam Hidup Dina
Hari ini pengumuman peserta lomba baca puisi di gelanggang milik Pemda. Babak penyisihan dilakukan tiga hari lalu. Pesertanya sampai dua ratus anak. Sebenarnya aku tak berani berharap. Dari sekolahku saja ada Tika yang ikutan lagi, padahal tahun lalu jadi juaranya.
Aku tidak perlu ke gelanggang
untuk mengetahui 20 nama peserta yang masuk final lusa. Kubuka website milik
panitia lomba puisi melalui internet komputer Ayah.
“Ada namamu, Dina?” tanya Ibu
mendekatiku.
“Belum. Ini jaringan internetnya
lemot,” jawabku sambil melihat halaman situs yang kubuka. Dadaku berdegup
kencang.
Satu-dua-tiga!
Halaman itu tampil. Pengumuman Final Lomba Puisi Tingkat SD 2013. Langsung kucari namaku. Dina Salsavila.
“Alhamdulillah. Ibu. Ini namaku!”
teriakku girang.
Ibu melihat barus yang kutunjuk. “Alhamdulillah.
Kamu memang hebat!” uji Ibu sambil memelukku. “Kamu harus mempersiapkan diri
lebih baik lagi untuk final.”
Aku kembali melihat ke layar
monitor. Seperti kuduga, nama Tika juga tertera di sana.
“Pokoknya kamu jangan menerah
dulu sebelum berusaha dengan baik ya,” kata Ibu seperti tahu apa yang
kupikirkan.
|”Siap, Bu!” kataku sambil dalam
posisi hormat seperti Ibu kalau berseraga, Polwan. Ya, ibuku memang Polwan.
Tidak seperti Ibu Tika yang juga penyair terkenal. Yang bisa mengajarinya
membaca puisi dengan baik. Meskipun ibuku polwan, tapi ibu berusaha membantuku
cara membaca puisi. Caranya, Ibu bersamakau browsing di Internet. Melihat video-video
pembacaan puisi. Dari sanalah aku belajar.
Di sekolah, kabar lolosnya aku dan Tika lolos ke final menjadi perbincangan hangat. Bahkan guru-guru pun memberi semangat padaku. Aku tergolong baru dikenal sebagai pembaca puisi. Baru beberapa bulan lalu aku menang lomba baca puisi di sekolah. Tapi Tika tidak ikutan. Menurut teman-temanku, “tidak level bagi Tika .”
Siangnya ketika pulang sekolah, Tika mendekatiku. “Wuah, selamat ya bisa masuk final. Mungkin kamu bisa mengalahkan peserta lainnya. Tapi nggak mungkin mengalahkan aku. Kamu masih pembaca puisi amatiran. Cuma pantas baca puisi di sekolah,” katanya sambil berlalu pergi.
Aku merasa dadaku sakit. Ingin
menangis. Tapi kutahan karena masih di sekolah. Begitu sampai di rmah aku tak
kuat menahan tangisku. Aku menumpahkannya di kamar. Ibu belum pulang dinas,
jadi aku tak bisa mengadu. Aku malah ketiduran.
Aku terbangun ketika kepalaku
disentuh Ibu. Tanpa diminta, aku langsung menceritakan kesedihanku.
“Dulu Ibu juga pernah diledek
ketika mau masuk polwan. Bukan apa-apa. Ibu dulunya kurus dan suka sakit. Tapi
Ibu justru ingin membuktikan Ibu mampu masuk jadi polwan. Dan ketika Ibu
berhasil ya, mereka semua akhirnya mengakui kemampuan Ibu,” jelas Ibu.
Ah, Ibu memang hebat. Kata-katanya membuat aku semangat lagi. Ya, aku harus membuktikan bahwa aku juga mampu.
Akhirnya, hari final lomba baca puisi tiba. Kami harus daftar ulang dulu ke panitia. Lalu duduk di belakang panggung menunggu giliran. Ibu dan Ayah sudah duduk di bangku penonton. Tapi aku tidak melihat Tika.
Satu per satu nama peserta dipanggil, termasuk aku. Tapi ketika
nama Tika dipanggil, dia tak maju. Pembawa acara kemudian mengumumkan Tika
mengundurkan diri karena sakit. Aku terkejut, karena kemarin masih kulihat di
sekolah.
Setelah semua finalis selesai
membaca puisi aku menemui Ayah dan Ibu.
“Dina, kamu paling bagus
dbandingkan lainnya,” kata Ibu dan Ayah.
“Terima kasih, Bu,” jawabku.
“Terima kasih, Bu,” jawabku.
Setelah setengah jam menunggu,
nama pemenang pun diumumkan.
Dan … aku adalah pemenang
pertamanya! Bahagianya ketika aku menerima piala dan hadiahnya. Di perjalanan
di dalam mobil tak jentinya Ibu memuji aku.
“Bagaimana kalau sekarang kita
membesuk Tika?” pinta Ibu.
“Ah, buat apa? Dia sombong,”
kataku.
“Tapi dia kan temanmu. Jangan
lupa, sesungguhnya kemenanganmu ini karena kata-katanya yang menyakiti hatimu
juga, kan?” tanya Ibu.
Aku tersenyum. Ya, buat apa aku
menyimpan dendam kepada Tika?
^_^
^_^
No comments:
Post a Comment