Kalung Titipan
Oleh Benny Rhamdani
“Sudah siap?”
“Tunggu sebentar. Tinggal pakai kaos kaki,” kujawab pertanyaan Mama.
“Salsa, pakai kaos kakinya jangan sambil nonton televisi. Jadinya lama,” protes Kak Aga.
“Ini seru banget. Ada lima
penghuni penjara yang lepas tadi malam. Tuh, orang-orangnya. Mukanya
ada yang seram, ada juga yang tidak seperti penjahat,” kataku.
“Sayang,
tidak semua orang jahat itu mukanya menyeramkan. Juga, tidak semua
orang yang mukanya menyeramkan itu hatinya jahat,” kata Mama.
“Hihihi, misalnya Kak Aga ya?” kataku sambil melirik kakakku yang langsung melotot.
Kak Aga langsung mematikan teve agar aku segera bersiap. Kami hendak pergi ke rumah nenek di luar kota akhir pekan ini.
Lima
menit kemudian kami sudah berada di dalam mobil yang dikendarai Papa.
Mobil pun melaju meninggalkan halaman rumah. Saat melintasi perempatan
jalan, Papa sempat membeli koran Berita Pagi. Aku melihat di halaman
paling depan terpampang wajah lima tahanan yang kabur.
“Buronan apaan sih, Pa?” tanyaku ketika membaca judul berita.
“Artinya
orang yang sedang diburu oleh petugas polisi. Biasanya orang yang
menjadi burona ini pernah berbuat jahat dan dianggap meresahkan
masyarakat,” jelas Papa.
“Wah, Kak Aga buronan dong. Soalnya suka mencuri kue di kulkas,” ledekku.
Kak Aga mencibir kepadaku.
Mobil pun melaju dan mulai meninggalkan kota.
Di tengah perjalanan Papa harus mengisi bensin lebih dulu. Kebetulan di
sampingnya ada rumah makan. Jadi kami sekalian istirahat.
Kami
pun memesan makanan yang kami suka. Sambil menunggu hidangan, aku tak
mau duduk diam. Aku pun berjalan-jalan di sekitar rumah makan. Bahkan
aku ke luar untuk melihat pemandangan sekitar. Saat itulah aku melihat
sorang lelaki sedang keletihan di bawah pohon.
“Pak, sedang apa di sini?” tanyaku.
“Ng … anu, sedang istirahat,” jawab lelaki itu.
“Kayaknya kecapekan. Sudah makan atau minum?”
Lelaki itu menggelengkan kepalanya. Kasihan …
“Tunggu
sebentar, Pak.” Aku kembali ke dalam. Kubelikan sekotak minuman dingin
juga sebungkus roti pakai uangku. Tapi saat hendak berjalan kembali,
tiba-tiba aku teringat sesuatu.
Wajah
lelaki itu mirip dengan foto salah satu buronan yang aku lihat di teve
dan koran. Jadi … dia buronan itu kah? Atau hanya mirip?
Aku jadi ragu-ragu melangkah. Bagimana kalau orang itu bebuat jahat kepadaku?
Setelah berdoa sebentar, kuputuskan untuk tetap bertemu lelaki itu. Dia membutuhkan air dan roti untuk mengisi perutnya.
“Pak,
ini roti da minuman kotak. Mudah-mudahan cukup untuk mengisi perut,”
kataku sambil menyodorkan makan dan minuman kepadanya.
“Terimakasih,
nak.” Lelaki itu kemudian menghabiskan minuman kotak dan rotinya. Dia
kemudian menatap kepadaku. “Nak, maukah kau menolongku sekali lagi?”
“Aaapa, Pak? Pertolongan apa?” tanyaku.
“Tapi berjanjilah, kau tak akan memberitahu siapapun.”
Aku mengangguk.
“Sebenarnya
aku ini kabur dari tahanan semalam. Semula aku tak mau ikut. Tapi hari
ini adalah ulangtahu anakku. Aku ingin bertemu dengannya dan memberinya
hadiah. Tapi …. Sepertinya keluargaku tidak akan membiarkan aku menemui
anakku. Jadi … aku ingin menitipkan hadiah untuk anakku kepadamu. Tolong
sampaikan. Ini sudah kutulis nama dan alamatnya.”
Aku menerima sebuah kalung sederhana juga sepotong kertas bertulisakan nama dan alamat. Nama puterinya Zahra.
“Bapak sekarang mau kemana?” tanyaku.
“Aku ingin menyerahkan diri kembali ke polisi,” katanya sedih.
Aku mengangguk, lalu pamit.
“Bilang pada Zahra, ayahnya minta maaf. Suatu hari pasti akan menemuinya dalam keadaan bebas,” pesan lelaki tua itu.
Aku
kembali ke rumah makan. Hidangan sudah siap. Papa dan mama menanyakan
kepergianku. Kubilang saja lihat-lihat pemandangan di sekitar.
Setelah menghabiskan makanan dan membayarnya, kami melanjutkan perjalanan. Saat itulah aku menyodorkan kertas kepada Papa.
“Pa, apakah kita bisa menemui Zahra di tempat ini?” tanyaku.
“Ya, tentu saja. Kita akan melewati alamat itu sebelum sampai rumah nenek.”
“Terima kasih, Pa.”
“Dia temanmu?”
“Iya.”
Mobil
pun terus melaju. Papa kemudian keluar dari jalan raya menuju jalan
perkampungan. Setelah menyamakan sebuah nomor rumah dengan keterangan di
kertas, kami pun turun.
Aku
paling depan menuju pintu rumah itu. Kuketuk pntu rumahnya. Seorang
anak perempuan keluar. Dia memakai kruk. Kakinya lumpuh sebelah. Seorang
ibu mengikutiya di belakang.
“Apakah ini rumah Zahra?” tanyaku.
“Iya, benar. Aku Zahra.”
“Oh,
selamat ulangtahun, Zahra. Namaku Salsa. Aku … hanya ingin menyampiakan
titipan hadiah ulangtahun untukmu. Ini dia.” Aku menyodorkan seuntai
kalung untuk Zahra. Dia kelihatan senang.
“Terima kasih. Dari siapa ini?” tanya Zahra.
“Orang yang sangat mencintaimu. Dia hanya berpesan, suatu hari nanti akan bertemu denganmu dalam keadaan bebas.”
Zahra terpana. Dia mulai menangis. Aku tak tahan melihatnya menangis. Buru-buru aku pamit.
Di
mobil aku terus berterima kasih kepada Tuhan, karena hingga saat ini
bisa selalu berada di dekat kedua orangtuaku, Papa dan Mama. Juga Kak
Aga. Ya walaupun kadang aku sedikit kesal kepadanya.
^_^
No comments:
Post a Comment