Teman Baru
Pagi-pagi
sekali aku berangkat ke rumah Nenek. Papa yang mengantar. Rumah Nenek
masih satu kota denganku. Tapi letaknya lumayan jauh.
“Nanti jangan nyusahin Nenek ya,” pesan Papa sambil menyetir.
“Nggak kok, Pa,” kataku.
“Jangan
ngacak-ngacak buku di perpustakaan, mengotori lantai, cuci sendiri
piring bekas makan. Di rumah Nenek sudah nggak ada pembantu lagi,”
tambah Papa.
“Iya, Pa. Tenang saja.” Mama juga sudah berpesan seperti itu.
Begitu
mobil sampai di halman rumah Nenek, aku pun turun sambil membawa tas
berisi pakaian salinku. LIburan kali ini aku akan menginap selama
seminggu di rumah Nenek.
Kalian
tahu mengapa aku suka menginap di rumah Nenek? Ya, menang karena
buku-buku cerita di rumah Nenek sangat baca, Nenek mengumpulan buku-buku
itu sejak Papa kecil. Lalu, halaman rumah Nenek sangat luas. Aku bisa
bermain apa saja di sana. Tidak seperti dirumahku, meskipun rumahnya
luas, halmannya sempit. Di rumah Nenek juga ada rumah pohon yang
dibuatkan Papa.
Pokoknya aku suka sekali liburan di rumah Nenek sejak dulu.
“Assalamualaikum,” salamku ketika masuk ke rumah Nenek.
“Waalaikumsalam,” jawab Nenek menyambutku dnegan memeluk hangat.
Papa hanya mencium punggung telapak tangan Nenek, setelah itu pegi lagi karena harus masuk kantor.
“Nenek
senang kamu liburan panjang di sini. Nenek yakin kamu sekarang akan
makin senang karena ada teman barumu di sini, sarah,” kata nenek.
“Teman baru?”
“Nanti jam sebilan dia akan datang ke sini,” kata Nenek.
Aku
jadi penasaran. Tapi aku sebaiknya ke kamar dulu. Kamar yang kutempati
dulunya adalah kamar Papa ketika masih kecil. Jendela kamarnya menghadap
ke sungai besar yang mengalir tenang. Sangat indah, apalagi bila
melihat kapalkapal kecil yang melintas.
Siapa ya teman baru itu? Aku jadi penasaran.
Tepat pukul Sembilan, aku mendengar suara salam di depan pintu. Nenek segera menyambutnya.
“Sarah, kenakan ini teman barumu. Namanya Prita,” kata Nenek.
Di depanku, berdiri seorang anak perempuan sebaya denganku. Penampilannya sederhana, bola matanya bercahaya.
“Hai Sarah! Nenek sering bercerita tentangmu,” kata Prita.
Oh.
Tapi Nenek kok nggak pernah cerita kepadaku, ya? Sejak kapan Nenek
berteman dengan Sarah. Rasanya, hamper setiap hari aku menelepon Nenek.
Tapi Nenek tidak pernah menyinggung tentang Prita. Memang sih, sudah
sebulan lebih aku tidak mengunjungi Nenek. Jadwal les yang padat,
membuatku tak bisa ke rumah Nenek.
“Aku dan Nenek baru berteman seminggu yang lalu,” jelas Sarah, seperti yang bisa membaca pikiranku.
“Waktu
itu Sarah sedang lewat depan rumah, Nenek sedang menyirami bunga-bunga
di dekat pagar. Sarah datang dan menawarkan diri membantu Nenek. Ya,
tentu saja Nenek senang,” tambah nenek.
“Sebenarnya
aku berharap diizinkan memetik satu bunga mawar. Eh, sewaktu pulang,
aku malah diberi satu pot pohon anyelir yang sedang berbunga,” kata
Sarah.
Wah, kok bisa ya? Nenek sangat suka dengan pot-pot anyelirnya itu. Mama juga pernah minjta, tapi tidak dikasih.
“Nenek senang memberi tanaman kepada orang yang senang merawat tanaman,” kata Nenek.
Hm, ya dulu aku juga pernah meminta satu pot tanaman bunga seruni. Tapi baru dua hari pohon itu mati. Aku lupa menyiramnya.
“Hari ini kita akan ngapain, Nek?” tanya Prita.
“Kita masak pudding aja. Biar ada makanan untuk kita bertiga sepanjang hari ini,” usul Nenek.
Masak pusing? Wah, aku paling tidak bisa masak kue! Tapi, nggak ada salahnya belajar.
Aku
pun mengikuti Neneh dan Prita ke dapur. Aku kagum dengan Prita yang
cekatan mebantu Nenek membuat pudding jeruk dan mangga. Sementara aku
hanya kebagian ugas membersihkan perlatan yang kotor.
Setelah
memasak, Nenek minta izin membaca dulu sebentar. Aku mengajak Prita ke
rumah pohon. Saat masuk rumah pohon, aku kaget sekali. Isinya sangat
tertata rapi.
“Wah, kok jadi rapi begini ya?” gumamku.
“Ah, aku yang merapikannya. Waktu dtang ke sini, aku melihat acak-acakan sekali. Sayang tempat yang bagus ini kalo acak-acakan.”
Wah,
itu pasti ulahku. AKu sering lupa mengembalikan buku ke tempatnya lagi,
juga mainan. Kadang aku juga membuang bungkus makanan dan minuman
sesukaku.
Di rumah pohon itu kami membaca komik sambil menikmati pudding yang dibuat tadi. Rasany lezat lho.
Setelah
bosan di rumah pohon, aku mengajak Prita bermain piano. Untunglah Nenek
sudah selsai membaca. Nenek kalau sudah memnaca suka tidak mau diganggu
suara apapun. Hehehe, Nenek memang kutu buku sejak lama. Begitu kata
Papa.
Aku memainkan piano itu.
“Kamu bisa memainkan piano?” tanyaku kepada Prita.
“Tidak. Tapi aku suka membuat puisi,” kata Prita.
“Kenapa kalian berdua tidak membuat sebuah lagu baru saja,” saran Nenek.
Aku
setuju usul Nenek. Prita kemudian menulis syair lagu. Dia benar-benar
pandai membuat puisi. Kali ini lagunya bercerita tentang indahnya
persahabatan. Setelah syair lagu dibuat Prita, aku mencari nada yang
cocok untuk melagukannya.
Setelah
berjam-jam, diselingi makan siang tentunya, kami berhasil membuat lagu
itu. Nenek sangat senang ketika kami menyanyikannya berdua.
Sore
harinya, kami menyanyikan lagu itu bersama sambil bertaman. Nenek
menyirami bunga. Prita emetic daun-daun yang kering. Aku malah mengjar
kupu-kupu.
Saat petang tiba, Prita pamit pulang. Nenek seperti yang sedih melpasnya pulang.
Setelah Prita tidak ada, aku mendekati Nenek.
“Nek, sekarang Nenek kayaknya udah lebih sayang orang lain dibandingkan Sarah,” kataku.
“Ah, nggak kok.”
“Iya,
Sarah rasakan sendiri kok. Mungkin karena Prita lebih pintar dari
Sarah. Prita jago masak, jago bersih-bersih, jago bertaman, jago membuat
pusi….”
“Bukan.
Nenek menyayangi Prita bukan karena itu. Nenek menyayangi Prita karena
semangat hidupnya. Dia itu umurnya tak lama lagi. Prita kena kanker.
Nenek tahu dari ibunya. Meskipun begitu, Prita tak pernah terlihat sedih
dan murung,” kata Nenek.
Aku terkejut. “Kok kelihatannya dia sehat-sehat saja,” kataku.
“Ya,
itulah karena semangatnya. Mskipun begitu, nenek tetap sangat
menyayangi kamu. Sarah. Kamu pandai memainkan piano, membuat nada yang
indah untuk lagu baru. Kamu juga jago bahasa Inggris dan computer. Kamu
juga jago membenarkan antene.”
Hehehe. Aku tertawa.
“Setiap anak punya keistimewaan sendiri. Dan semua anak punya hak untuk disayangi,” kata Nenek lagi.
Aku mengangguk, mengeri maksud Nenek.
“I love you, Nenek!” kataku sambil memeluk Nenek yang sudah ditinggal Kakek sebulan lalu.
Malamnya aku menelepon Papa. Berceita tantang Prita.
“Prita?
Ah, nama itu kayak nama teman Papa dulu sewaktu kecil. Tapi dia sudah
meninggal karena kanker. Anaknya baik, suka menulis puisi dan membantu
orang lain.”
“Kok bisa sama sih?” tanyaku.
“Rumahnya di mana? Apakah di jalan Mawar duabelas?”
“Sarah belum tanya. Besok deh sarah tanya.”
Aku
jadi penasaran. Ya, besok aku akan bertanya kepada Sarah dimana
tinggalnya. Jika dia tinggal di jalan Mawar duabelas, berarti Prita ……
No comments:
Post a Comment