Sahur Aga
Oleh Benny Rhamdani
“Aga, jam berapa nanti kamu bangun?” tanya Haris sepulang sholat taraweh hari pertama.
“Terserah ibuku yang membangunkan,” jawab Aga.
Haris
tertawa. “Bagaimana sih? Masa nunggu dibangunkan ibumu. Mestinya kamu
bangun lebih awal, lalu nanti kita ikut pawai bedug keliling kampung
membangunkan yang sahur,” kata Haris.
“Itu bukannya hanya dilakukan orang dewasa?” tanya Aga.
“Kata
siapa? Kita juga boleh ikutan kok. Asyik lho. Kita bisa membantu
membangunkan orang lain untuk sahur. Tahun lalu aku sudah ikutan.
Sekarang jua mau ikutan. Kamu mau?” ajak Haris.
“Ya, kalau kamu ikut aku ikutan ya.”
“Jangan molor ya. Pukul dua aku tunggu di depan rumahmu,” kata Haris.
Mereka
berpisah di pertigaan jalan karena berbeda arah. Setiba di rumah Aga
langsung mengutarakan keinginannya ikutan pawai sahur kepada Ayah. Tentu
saja Ayah tidak keberatan.
“Ayah juga pengin ikutan.
Tapi Ayah ada acara pagi harinya. Ayah harus cukup tidur. Mungkin Mingu
depan Ayah baru ikut.,” ucap Ayah.
Aga mengangguk. Dia
juga tidak menghendaki ayahnya ikutan. Hm, sebab kalau ada Ayah pasti
selalu banyak larangan. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Maksudnya sih
baik. Tapi Aga merasa jadi tidak bebas.
Atas saran
Ibu, Aga tidur pukul sembilan. Aga berharap semoga dia tidak terlambat
bangun. Malu sama Haris nanti. Dan, mungkin karena terlalu cemas, pukul
satu dini hari Aga sudah terbangun. Lebih cepat satu jam yang dari yang
diinginkan. Tapi untuk kembali tidur, Aga tidak berani.
Nanti
malah terlambat bangunnya, pikir Aga. Akhirnya Aga berusaha terjaga.
Dia mencuci muka dan menunggu datangnya pukul dua dengan membaca komik.
Tepat pukul dua, Aga pergi ke luar rumah. Haris belum datang, tapi tak
lama kemudian Haris muncul bersama beberapa teman.
“Ayo, kita ke mesjid mengambil bedugnya!” ajak Haris.
Aga
mengikuti rombongan menuju mesjid. Sudah ada beberapa orang dewasa yang
menyiapkan perlatan pawai sahur. Tak lama kemudian, mereka pun
berkelililing perumahan.
“Sahuuuur … sahuuuur!” teriak Aga bersama yang lain berirama.
Mereka
juga memukul beduk dan apapun yang berbunyi. Diharapkan dengan
bunyi-bunyian tersebut, penduduk yang hendak sahur terjaga. Terutama
kaum ibu yang harus bangun lebih dulu, menyiapkan makanan sahur.
Aga menikmati pawai sahur. Apalagi ketika dia diperbolehkan memukul beduk bertalu-talu. Seru sekali.
Setelah
berputar-putar, entah pukul berapa rombongan pun berpencar. Mereka
harus kembali ke rumah masing-masing. Aga masuk ke rumah. Ayah sudah
bangun, Ibu masih memasak. Tapi adiknya, Salsa, masih tertidur pulas.
Aduh,
masih ada waktu … masakan belum selesai, pikir Aga. Matanya tiba-tiba
terasa berat melihat Salsa tertidur lelap. Aga pun merebahkan tubuhnya
di samping Salsa.
Ia ikut tertidur. Bahkan Aga bermimpi. Mau tahu Aga
mimpi apa? Dia mimpi naik pesawat terbang, tapi ketika asyik terbang
kapalnya terguncang. Aga kemudian terbang melayang di awan, lalu
tahu-tahu berada di negeri yang indah.
Entah jam berapa Aga terbangun. Yang jelas Salsa sudah tidak ada di dekatnya. Matahari sudah terang benderang.
“Hah sudah jam delapan pagi?!” teriak Aga kaget.
Lho,
aku belum sahur? Kenapa Ibu tidak membangunkan aku? Tanya Aga dalam
hati. Buru-buru Aga ke luar kamar dan mendapatkan Ibu yang tengah
membaca.
“Ibu … Aga kok tidak diajak sahur?” protes Aga kemudian.
“Oh,
Aga sudah bangun. Ibu dan Ayah sudah membangunkanmu. Tapi kamunya malah
marah-marah. Jadi Ayah dan Ibu pikir kamu tidak mau sahur,” jelas Ibu.
“Aga kan mau puasa, pasti mau sahur.”
“Ya,
kalau mau puasa, silakan saja puasa. Nanti kalau tidak kuat boleh buka
jam berapa saja. Kamu masih kelas tiga SD, masih Ayah dan Ibu izinkan
puasa setengah hari!”
Uuuuh!
Aga mengeluh dalam hati. Padahal ia sudah berniat puasa sehari penuh
tahun ini. Dia tidak mau kalah sama Haris. Ini semua gara-gara Aga
terbangun terlalu cepat, jadinya malah mengantuk saat waktu sahur. Hm,
bisa ya, orang yang membangunkan sahur malah tidak sahur!
Ngomong-ngomong, Aga jadi puasa nggak ya?
No comments:
Post a Comment