Azan subuh
berkumandang. Vina bergegas menuju ke masjid yang tak seberapa jauh dari
rumahnya. Di tengah jalan dia bertemu dengan Sisil dan Santiana dengan
tujuan sama. Bedanya, teman-teman Vina berangkat dengan ayah dan ibunya.
Vina berangkat sendiri. Sahur pun tadi dia hanya ditemani Rahmi, kakaknya.
“Bagaimana kabar ibumu?” tanya Sisil.
“Semalam kata Ayah di telepon sudah membaik,” jawab Vina.
Sudah dua hari Ibu dirawat di rumah sakit karena demam
berdarah. Siang hari, Vina dan Rahmi yang menjaga Ibu. Sepulang kerja,
Ayah giliran menjaga. Itu sebabnya puasa kali ini Vina tidak bisa sahur
bersama Ayah dan Ibu.
“Mudah-mudahan cepat kembali ya,” doa Santiana.
“Amin.”
Vina
memasuki masjid, tak lama kemudian iqamat dikumandangkan. Semua jamaah
pun menjalankan shalat subuh. Usai shalat berjamaah, Vina berdoa dengan
khusyu agar Ibu segera sembuh. Vina merasakan sekali betapa tidak
enaknya berpuasa tanpa Ibu.
“Vina, ayo bangun …. Sudah waktunya sahur,” begitu Ibu membangunkannya ntuk sahur. Nadanya lembut.
Vina biasanya sedikit malas bangun. Dia menunggu Ibu membangunkan untuk ketiga kalinya.
“Heh,
bangun, anak kebluk! Kalo nggak mau bangun, nggak usah sahur ya!”
Begitu kalau Kak Rahmi yang membangunkan. Nadanya kasar. Dan tidak ada
kalimat kedua atau ketiga. Malah, karena malas bangun, Vina hampir saja
terlambat sahur.
Lalu,
masakan Ibu saat sahur sudah pasti enak. Semua kesukaan Vina dan
rasanya lezat walau dimakan saat mengantuk. Berbeda dengan Kak Rahmi.
Masak tahu saja setengah gosong. Masak oseng-oseng pasti rasanya pedas
tak karuan.
“Ya, Allah cepat sembuhkan Ibu ya….” Doa Vina lirih. Amin.
Setelah
lama berdoa, Vina kembali ke rumah. Dia harus membantu merapikan rumah
dan menyiapkan sendiri semua keperluannya. Vina jadi menyadari betapa
beratnya tugas Ibu. Biasanya, setelah shalat subuh sudah pasti Vina
tidur lagi. Begitu bangun semua keperluannya sudah disiapkan Ibu.
Kini,
saat Ibu sakit, Vina bisa merasakan arti seorang Ibu. Ah, ini baru
ditinggal Ibu sakit beberapa hari. Bagaimana jika Ibu meninggal? Vina
tidak bisa membayangkannya.
Paginya, Vina mendapat kabar Ibu sudah boleh pulang siang nanti. Vina senang sekali. Dia merapikan seisi rumah agar Ibu senang nanti.
Ketika mobil Ayah masuk ke halaman siang hari, Vina langsung berlari ke teras. Dia menyamut Ibu yang turun dari mobil.
“Alhamdulillah, Ibu sudah kembali,” peluk Vina.
“Iya,
Ibu juga nggak betah di rumah sakit. Ibu selalu ingat kamu. Ibu takut
kamu nggak ada yang membangunkan sahur, masakin sahur kamu, menyiapkan
buka puasa,” kata Ibu.
“Oh, kan ada Kak Rahmi. Kalau buka puasa tinggal beli aja,” jawab Vina agar Ibu tetap tenang.
Vina senang bukan main. Dia memasang status di Facebooknya: Ibuku tersayang sudah kembali ke rumah.
Beberapa
jam Ibu di rumah, Ibu mulai merasakan hal yang aneh terhadap Vina. Kini
Vina jauh lebih rajin dan mandiri. Bahkan saat sahur, Vina terbangun
sendiri tanpa harus dibangunkan Ibu. Vina juga ikut membantu Ibu
beres-beres rumah.
“Wuah, anak Ibu sekarang rajin banget. Senang banget deh,” puji Ibu.
“Iya,
Bu. Vina nggak mau Ibu sakit lagi karena kecapekan dan kesal sama Vina.
Kalau Ibu sakit, semuanya jadi tidak enak,” kata Vina jujur.
Ibu tersenyum. Sakit yang menghampirinya ternyata membawa hikmah untuk Vina di bulan puasa ini.
No comments:
Post a Comment