Karena Suka Membaca
Lagi-lagi, Inot terlambat bangun.
Akibatnya, ia harus terburu-buru pergi mandi dan berganti pakaian.
“Percuma
tergesa-gesa begitu, Not. Kereta penjemput pekerja istana baru saja berangkat,”
ujar Bu Bayang di pintu kamar.
“Tidak
apa-apa, Bu. Aku jalan kaki saja,” timpal Inot.
“Ya,
tapi kamu bisa terlambat sampai di istana. Pantas saja Pak Dorman hanya
memberimu pekerjaan sebagai penyapu istana,” ujar Bu Bayang kesal. “Aku kan
sudah bilang, jangan suka membaca hingga larut malam. Tukang sapu istana tidak
usah banyak membaca. Kamu bukan pustakawan atau tabib.”
Inot
tidak menimpali. Ia segera meninggalkan tempat tinggal para pekerja istana.
Jauh di atas bukit, ia melihat titik hitam. Rupanya, kereta penjemput sudah
menjauh.
Inot
memutuskan berjalan memintas hutan. Jalan itu hanya diketahui Inot, lantaran ia
selalu melalui jalan itu bila terlambat pergi ke istana. Pertama kali melewati
jalan itu, Inot merasa ngeri melihat banyak pohon besar,tetapi sekarang sudah
tidak ada lagi. Ia berjalan sambil bernyanyi-nyanyi kecil.
Kreeek
…! Telinga Inot menangkap suara itu. Ia
segera menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Ada seorang anak
perempuan berdiri dengan wajah cemas.
“Siapa
kamu? Mengapa berada di sini? Hei, kamu kelihatan gelisah sekali!” sapa Inot
seraya mendekati anak perempuan itu.
“Namaku
… Gege. Aku tinggal di hutan ini bersama nenekku. Dia sedang sakit parah,”
jelas Gege.
“Kalau
begitu, biar kupanggil tabib untuk nenekmu,” Inot menawarkan bantuan.
“Tidak
perlu. Yang kubutuhkan bukan itu, tapi orang yang bisa membaca,” kilah Gege.
“Wah,
kebetulan aku bisa membaca, kok!”
“Sungguh?
Oh, beruntung sekali! Ayo ikut denganku.” Gege melangkahkan kakinya diikuti
Inot.
Mereka
jalan menembus hutan. Gege menceritakan tentang dirinya.
“Sebenarnya
nenekku itu adalah seorang tabib istana. Karena telah lanjut usia, ia berhenti
kerja. Nenek ingin mewariskan ilmunya padaku, tapi aku tak dapat membaca. Aku
sangat malas belajar membaca. Apalagi kita-kitab nenek sangat tebal. Tapi kini,
begitu nenek jatuh sakit, aku tidak bisa menolongnya,” tutur Gege sambil
berjalan.
“Kenapa
nenekmu tidak mengobati sendiri?” tanya Inot heran.
“Mata
nenek sudah rabun dan sudah pikun. Umurnya saja sudah seratus lebih. Nah, itu
rumah kami!” tunjuk Gege.
Mereka
sampai di sebuah rumah mungil berdinding kayu. Gege langsung membuka pintu
rumah. Terlihat oleh Inot seorang nenek tengah berbaring di atas dipan.
“Ini
kitab yang harus kamu baca. Lalu, di lemari itu ada kendi berisi ramuan yang
harus kamu pilih sesuai petunjuk kitab,” ujar Gege seraya menyerahkan kitab
tebal pada Inot.
Setelah
menanyakan dulu kondisi nenek Gege, Inot segera membaca kitab itu. Dicarinya
jenis ramuan yang cocok dengan penyakit nenek Gege. Inot lantas membuat ramuan
dan meminta nenek Gege meminumnya.
Mata
Gege bersinar ketika melihat keadaan neneknya kemudian membaik.
“Aku
sudah lebih sehat sekarang. Siapa namamu?” tanya nenek Gege.
“Namaku
Inot, tukang sapu halaman istana,” jawab Inot.
“Tidak
kusangka, seorang pekerja sepertimu dapat membaca. Kamu berbakat untuk menjadi
seorang tabib. Apa kamu bersedia?” tanya nenek Gege lagi.
“Ten
… tu sa … ja,” jawab Inot girang.
“Kalau
begitu, datanglah ke sini setelah selesai bekerja untuk mempelajari kitab-kitabku.
Juga sekalian tolong ajari Gege membaca.”
“Oh,
tetapi pekerjaanku teramat banyak. Terkadang sore hari baru selesai. Lagi pula,
aku tidak punya kuda untuk mencapai tempat ini dengan segera.”
“Jangan
khawatir!” sahut Gege sambil mengambil sebatang sapu. “Ambillah ini untukmu.
Sapu ini bisa terbang melebihi kecepatan seekor kuda. Hanya, aku tidak tahu
mantranya. Bacalah sendiri di buku cokelat itu.”
Inot
mengambil buku yang ditunjuk. Di buku itu, tertulis aneka mantra untuk
menjalankan sapu itu. Mulai dari mengawali, belok kiri, belok kanan, berputar,
atau berhenti. Bahkan, sapu itu bisa diperintahkan dengan mantra khusus untuk melakukan apa saja.
“Oh,
maaf aku harus segara berangkat kerja. Pasti aku terlambat,” tiba-tiba Inot
teringat pekerjaannya.
“Bawa
saja sapu dan buku petunjuknya. Kamu bisa sampai ke istana dengan cepat,” saran
nenek Gege.
Inot
menuruti permintaan nenek Gege. Karena Inot anak yang cerdas, ia langsung hafal
beberapa mantra setelah membaca. Sapu itu lantas membawa Inot ke istana lewat
angksa. Wusss .…
Untung,
Pak Dorman yang menjadi pengawas pekerja istana tidak melihat kedatangan Inot.
Seperti biasa Inot bekerja menyapu halaman istana.
Setahun
berlalu, Inot sudah menguasai banyak ilmu pengobatan dari kitab-kitab yang
dibacanya. Sesekali, nenek Gege ikut mengajar, terutama memperkenalkan jenis
obat-obatan dari tetumbuhan. Sementara itu, Gege mulai lancar membaca.
Suatu
hari, Raja Pundre terserang penyakit yang membuatnya tidak bisa beranjak dari
tempat tidur. Beberapa orang tabib berusaha mengobatinya, namun gagal.
Inot ikut mencoba mengajukan diri untuk
mengobati Raja Pundre. Tapi, para pengawal menghalanginya. Inot lantas
menyerahkan sebuah lencana pada Patih Gufa. Mengetahui lencana itu hanya
diberikan pada orang-orang yang dipercaya Raja Pundre, Inot diperbolehkan
mengobati Raja Pundre.
Setelah minum obat hasil ramuan Inot, perlahan
kesehatan Raja Pundre membaik. Inot langsung diangkat menjadi tabib istana.
Banyak orang yang terkejut melihat seorang tukang sapu istana menjadi tabib
istana, terutama Bu Bayang!
“Bagaimana
caranya kamu bisa mengobati Raja Pundre, Not?” tanya Bu Bayang heran.
“Jawabannya
mudah. Aku bisa mengobati Raja Pundre karena aku suka membaca,” jawab Inot
singkat.
Ya,
jawaban itu selalu dikatakannya bila ada yang bertanya tentang kemampuannya.
Inot berharap banyak orang yang akan gemar membaca seperti dirinya.
******
No comments:
Post a Comment