Gara - Gara Nama
Ina sedang menyiram bunga di pekarangan samping rumah. Matanya terus mengamati bunga-bunga yang bermekaran. Ia terkejut ketika namanya dipanggil-panggil dari seberang pagar yang membatasi pekarangan rumah sebelah.
"Ina ... Ina ke sini!"
suara itu terdengar lagi. Jelas itu suara anak lelaki. Tetapi, Ina tidak
mengenali suara itu. Ia tahu ada tetangga yang baru pindah ke rumah itu dua
hari lalu.
Ina naik ke atas batu yang menempel
di bawah pagar. Kepalanya menyembul melihat ke pekarangan tetangganya. Seorang anak
laki-laki sebayanya tengah asyik bercanda dengan seekor anak anjing.
"Ayo Ina, lompat!" anak
laki-laki itu menyeru lagi.
Muka Ina langsung pucat. Ia baru
sadar kalau nama yang disebut-sebut anak itu bukan ditujukan kepadanya,
melainkan kepada anak anjing berbulu putih hitam itu.
"Hey!" panggil Ina agak
keras. Anak lelaki itu langsung menatap ke arah Ina. Ia sudah mengetahui
keberadaan Ina sejak tadi. "Aku sarankan padamu, sebaiknya nama anjing itu
kamu ganti."
Anak lelaki itu mengerutkan dahinya.
"Mengapa harus kuganti? Nama itu kan, kedengarannya lucu," sahutnya.
"Tetapi kan, kamu tidak tahu
kalau nama itu sama dengan namaku. Bagaimana kalau sampai teman-temanku
mengetahuinya?"
"Itu urusanmu."
Muka Ina berlipat kesal. Rupanya anak
ini harus dibujuk, pikirnya. "Hey, memangnya kenapa sih, kamu keberatan
mengganti nama anjing itu? Kan, lebih bagus kalau kamu ganti dengan Snowi,
Tintin, atau Skipi," suara Ina agak merayu.
"Tidak bisa. Anjing ini
kenang-kenangan dari sahabatku sebelum pindah ke sini. Ia yang memberi nama
itu. Kalau ia sampai tahu, aku mengganti nama yang ia berikan, nanti aku
dianggap tidak bisa menghargai kenang-kenangan darinya," jelas anak
laki-laki itu.
Mulut Ina terkatup rapat. Kasusnya
jadi semakin buntu.
"Bobi ... Bobi! Sudah sore kamu
belum mandi juga. Nanti Mama pulang baru tahu rasa!" suara teriakan
terdengar bersamaan dengan keluarnya anak perempuan yang umurnya dua tahun di
atas Ina.
Anak lelaki bernama Bobi itu bergegas
meninggalkan pekarangan sambil berteriak, "Ina, ayo kita mandi dulu!"
Ina cuma bisa mendengus kesal.
Kekesalannya terus berlanjut ketika ia di sekolah esok paginya. Tentu hal ini
mengundang tanya teman-temannya. Selama ini, Ina dikenal paling ceria.
"Kamu tidak dikasih uang jajan
sama mamamu, ya?" tanya Idong di waktu istirahat. Tetapi, Ina cuma
menggeleng.
"Terus kenapa?" tanya Wini.
"Aku mau cerita, tetapi kalian
harus janji tidak menertawakannya," Ina memberikan syarat.
Idong, Wini, dan Herman mengangguk.
Setelah menarik napas sebentar, Ina menceritakan semua yang dialaminya kemarin
sore. Dan secara bersamaan, semua terbahak-bahak setelah Ina menghabiskan
ceritanya.
"Kalian kok malah ketawa,
bukannya membantu aku menyelesaikan masalah ini," protes Ina.
Serentak Idong dan Wini terdiam, lalu
mata mereka menatap ke arah Herman. Ia memang dikenal banyak akal. Dari masalah
pertengkaran sampai pencurian di kelas pernah diselesaikannya.
"Aku ada akal untuk
menyelesaikan kasus ini. Ina, kamu tahu nama tetangga barumu itu?"
"Bobi. Aku mendengar kakaknya
menyebut namanya demikian kemarin."
"Bagus. Lantas, di antara kalian
ada yang punya hewan peliharaan di rumah?"
"Aku punya kucing," jawab
Idong.
"Aku punya kelinci," timpal
Wini.
"Ah, itu kurang seru. Begini
saja. Pamanku punya seekor monyet. Kamu tidak takut dengan monyet kan,
Ina?"
"Monyet? Untuk apa?"
"Kalau tidak takut, kita lihat
saja hasilnya nanti sore."
Sekitar pukul empat sore, Bobi tengah
duduk di pekarangan rumahnya sambil memperhatikan anjing kecil di dekatnya. Ia
merasa bosan tinggal di rumah. Kalau saja ia pindah ke sekolah seperti
anak-anak di kompleks ini, tentu ia mudah mendapatkan teman.
"Bobi! Ayo, makan
pisangnya!"
Suara itu terdengar jelas di telinga
Bobi. Datangnya dari seberang pagar rumah. Ia beranjak melihat ke seberang
pagar, penasaran. Dilihatnya, Ina tengah memberi sebuah pisang ke arah monyet
kecil. Mata Bobi langsung membesar seketika.
"Hey, rupanya kamu dendam sama
aku. Kamu pasti sengaja memberi nama monyet itu seperti namaku."
Ina memandang ke arah Bobi.
"Bagaimana aku tahu kalau nama monyet ini sama dengan namamu? Sebagai
orang baru di sini, kamu kan, tidak pernah memperkenalkan diri."
Bobi merasa diserang.
"Lagian, kalau monyet ini tidak
dipanggil Bobi, tidak pernah mau makan. Kasihan kan, kalau dia sampai kurus
kering karena namanya kuganti."
Bobi menyerah kalah. "Baiklah,
tolong ganti nama monyet itu. Kalau kamu mengusahakannya sedikit-dikit, pasti
monyet itu mau mengerti. Dan aku janji mengganti nama anjingku."
"Lho, nanti sahabat lamamu itu
marah."
"Ah, sebenarnya aku kemarin
mengada-ada saja. Anjing itu pemberian pamanku. Nama sebenarnya Skuli. Aku cuma
iseng saja mencari cara agar bisa berkenalan dengan kamu. Kebetulan, aku sering
mendengar namamu disebut-sebut. Tetapi untuk berkenalan langsung denganmu, aku
tidak berani."
Ina manggut-manggut. Ia dapat
memahami apa yang diucapkan Bobi. "Kalau begitu, melompatlah kemari.
Kebetulan, teman-temanku juga ada di sini. Nah, itu Idong, Wini, dan
Herman," ucap Ina ketika teman-temannya muncul dari persembunyian di balik
tembok.
Bobi terkejut, tidak menduga ada
orang lain di antara mereka berdua. Dalam beberapa menit saja, Bobi sudah
bermain akrab dengan mereka. Pertengkarannya dengan Ina tidak pernah diingatnya
lagi.
No comments:
Post a Comment