Friday, December 25, 2009

Cernak, 27 Desember 2009


Kado


Oleh Benny Rhamdani


Seminggu menjelang tahun baru, Vina dan Rizky pasti sibuk menyiapkan kado. Bukan karena sok-sok merayakan tahun baru. Tapi karena ulang tahun Ibu tepat pada 1 Januari.


“Ulangtahun kali ini aku bingung ngasih kado apa ya?” kata Vina di kamar sambil melihat kotak tempatnya menyimpan uang.


“Aku juga masih bingung. Bagaimana kalau kita patungan saja?” usul Rizky.


“Nggak mau ah. Uang tabunganmu pasti sedikit. Nanti malah aku yang harus membayar paling banyak,” tolak Vina.


“Eh, jangan salah ya. Uang tabuangankujuga banyak. Aku sudah menabung sejak lama untuk membeli kado buat Ibu.”


“O ya? Baiklah. Kalau begitu kita patungan,” kata Vina akhirnya.


“Hmm, mencurigakan jawabannya. Sekarang malah aku yang curiga uang tabuanganmu seidkit. Aku nggak jadi ngajak patungan ah,” ucap Rizky sambil berjalan ke luar kamar.


Rizky berpikir sambil berjalan. Benda yang paling diinginkan Ibu apa sih? Rasa-rasanya Ibu adalah orang yang paling tidak pernah menyebutkan suatu benda apapun yang diinginkan. Biasanya benda yang diinginkan Ibu itu untuk kepentingan Vina, Rizky atau Ayah. Sementara Ibu tidak pernah punya keinginan apapun.


Ah, tanya Ayah saja! Pikir Rizky. Dia pun menemui Ayah di ruang baca.


“Ayah, seminggu lagi ulang tahun Ibu. Ayah sudah menyiapkan kado apa?” tanya Rizky begitu mendekati Ayah yang sedang membaca.


“Waduh, untung kamu ingatkan Ayah. Hampir saja Ayah lupa. Hm, Ayah belum tahu mau memberi kado apa untuk Ibu.”


“Rencananya apa, Yah?” tanya Rizky.


“Itu dia. Ayah belum tahu benda apa yang diinginkan Ibu.”


“Wah, masa Ayah nggak tahu sih?”


Ayah hanya tersenyum sambil garuk-garuk kepala. “Kalau kamu mau nagsih apa? Kita barengan yuk belinya?” ajak Ayah.


“Nggak ah. Nanti kado aku dan Ayah sama dong. Lagian aku mau kasih kado rahasia. Nggak boleh ada seorang pun yang tahu di rumah ini,” kata Rizky.


“Waaah!” Ayah kecewa.


Rizky meninggalkan ruang baca. Sayup-sayup dia mendengar suara adzan ashar berakhir. Rizky segera wudhu. Saat menuju mushola di belakang rumah, Rizky melihat Ibu sudah selesai shalat. Rizky segera menunaikan shalat ashar. Selesai shalat, Rizky melihat ibu baru saja berdoa, kemudian melipat mukenanya.


Tring. Rizky mendapat ide.


Segera saja Rizky mencatat ide kado untuk Ibu yang akan dibelinya esok.


Sementara itu Vina baru keluar kamar untuk berwudhu. Dia selalu ingat pesan Ibu agar menyegerakan shalat. Tapi terkadang Vina tak mendengar suara azan. Kadang juga, Vina mendengar suara azan tapi malas. Apalagi memikirkan berjalan ke tempat wudhu lalu menuju mushola.


Vina melihat Ibu keluar dari mushola. Belum ada Ayah, hanya Rizky. Pasti Ibu akan memanggil Ayah yang lagi asyik membaca. Vina mencari mukena untuk dipakainya. Rupanya sedang dicuci oleh Ibu. Vina akhirnya memakai mukena Ibu.


Selesai shalat Vina mendapatkan ide untuk sebuah kado.


Keesokan harinya Rizky dan Vina pergi menuju sebuah toko. Mereka tidak berangkat bersama. Waktunya pun berbeda. Rizky pergi pukul sebelas. Vina pergi pukul dua siang.


“Akhirnya, aku lega sudah punya kado untuk Ibu,” kata Rizky sore harinya.


“Aku juga lega kok. Kado untuk Ibu sudah kubeli dan kubungkus rapi,” kata Vina tak mau kalah.


“Kadomu apa?”


“Kadomu dulu apa?”


“Aku nggak mau kasih tahu kamu.”


“Kalau begitu, aku juga.”


Huh! Keduanya sama-sama sok misterius ya.


Sampai akhirnya, tepat malam tahun baru mereka berkumpul bersama di halaman belakang. Sudah menjadi tradisi keluarga ini merayakan tahun baru dengan membakar daging. Tentu saja Ibu yang paling repot. Apalagi sekalian ulang tahun Ibu.


“Enak ya jadi Ibu, ulangtahunnya dirayakan di seluruh dunia,” kata Ayah.


“Iya benar!” kata Vina dan risky.


“Sebentar lagi tahun baru tiba. Ayo kita sama-sama berdoa agar tahun depan kita semua sehat selalu,” ajak Ibu.


Semua bersiap berdoa. Sepuluh … Sembilan …. Tiga … dua… satu!


“Selamat tahun baru. Selamat ulang tahun, Ibu!” semua bergantian memeluk dan mencium Ibu.


“Nah, sekarang kadonya!” kata Vina.


“Ya, pasti dong!” kata Rizky sambil menuju kamarnya mengambil kado.


“Ayah juga!” kata Ayah tak mau ketinggalan mengambil kado yang disiapka.


Ibu hanya tersenyum. Tak lama kemudian tiga orang yang dicintainya muncul sambil membawa kado masing-masing.


“Ayo dibuka. Kado siapa yang paling Ibu suka!” pinta Vina dan Rizky.


Ibu bingung. Akhirnya, Ibu membuka kado Ayah lebih dulu.


“Sebuah mukena!” teriak Ibu. “Terima kasih, Ayah.”


Vina dan Rizky saling berpandangan.


Ibu membuka kado dari Vina. “Sebuah mukena!” teriak Ibu. “Terima kasih, Vina.”


Rizky menggigit bibirnya.


Ibu membuka kado dari Rizky. “Sebuah mukena!” teriak Ibu. “Terima kasih, Rizky.”


Oh, kenapa semuanya member kado mukena?


“Ibu berterima kasih kepada kalian telah member hadiah yang paling Ibu inginkan. Ibu nggak nyangka kalian

bisa menebaknya. Jadi untuk tahun ini, kado yang terbaik adalah sama,” kata Ibu kemudian.


Mereka saling berangkulan. Mulai hari ini Ibu punya tiga mukena baru yang akan menamani Ibu shalat, berdoa dan mengaji sepanjang siang dan malam.


^_^

Hore, 27 Desember 2009

Misteri Candi Chichen Itza


Chichén Itzá adalah suatu Situs Peradaban Maya di Meksiko pada abad 800 SM. Piramida Kukulcan di kompleks situs bersejarah ini dipercaya sebagai pusat kegiatan politik dan ekonomi peradaban bangsa Maya yang terletak di Semenanjung Yucatan (kini wilayah Meksiko). Itza merupkan titik sentral kompleks bangunan lainnya seperti Piramida Kukulcan, Candi Chac Mool, dan bangunan Seribu Tiang

Pusat kebudayaan Suku Maya


Candi Chichen Itza merupakan peninggalan arkeologi suku Maya yang paling lengkap serta masih terawat dengan baik. Situs peradaban Maya di Meksiko ini, pada 7 Juli 2007, terpilih sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia hasil pilihan 100 juta orang via email dan sms (layanan pesan singkat) yang diadakan oleh Swiss Foundation.


Menurut buku budaya suku Maya dari Chilam Balam, kompleks candi ini di

bangun antara tahun 502-522 Masehi. Suku Maya hanya menempatinya selama 200 tahun, kemudian mereka berpindah ke daerah pantai di Campeche. Namun versi lain mengatakan, Chichen Itza dibangun sekitar 800 tahun sebelum masehi.


Piramida Kukulcan di kompleks situs bersejarah ini dipercaya sebagai pusat kegiatan politik dan ekonomi peradaban bangsa Maya yang terletak di Semenanjung Yucatan (kini wilayah Meksiko).


Itza merupakan titik sentral kompleks bangunan lainnya seperti Piramida Kukulcan, Candi Chac Mool, dan bangunan Seribu Tiang.



Di candi Chichen Itza terdapat dua cenotes (sumur alami) yang dijadikan tempat menaruh korban persembahan. Konon, suku Indian Maya yang mendiami kota itu mempersembahkan jade, keramik, dan bahkan manusia untuk dimasukkan dalam sumur itu. Persembahan itu diberikan saat kekeringan melanda. Persembahan kadang-kadang berupa gadis-gadis muda untuk dimasukkan hidup-hidup ke dalam sumur itu. Peran sumur itu begitu penting karena di Semenanjung Yukatan tidak terdapat sungai. Satu-satunya sumber air ketika kekeringan melanda adalah dari sumur-sumur itu.


Nama Chichen Itza pun berarti di bibir mata air rakyat dalam bahasa Indian setempat. Dengan demikian, Chichen Itza berkembang menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi kebudayaan Maya.


Konon, Chichen Itza merupakan simbol pemujaan dan ilmu pengetahuan. Chichen Itza didirikan raja suku Toltec bernama Quetzalcoatl yang datang ke Semenanjung Yukatan bersama pasukannya. Saat itu suku Maya sudah berdiam di daerah tersebut, kemudian bersama-sama suku Toltec, mulai membangun berbagai kuil yang menyerupai piramid. Dengan demikian, periode puncak dari Chichen Itza merupakan campuran kebudayaan Toltec dan Maya.


Salah satu kuil terbesar yang didirikan adalah Kukulkan. Berdasarkan legenda Maya, Kukulkan merupakan Dewa Ular Berambut jelmaan dari Quetzalcoatl. Kuil Kukulkan berupa piramid bertangga, dengan teras-teras. Di setiap sisi piramid segi empat itu terdapat anak tangga menuju puncak. Di puncak terdapat jalan masuk menuju ruangan Mahkota Batu Jaguar Raja Kukulkan, yang dicat merah dan bintik-bintik hijau lumut.

Di Chichen Itza ini juga terdapat sebuah lapangan permainan yang mirip dengan permainan bola basket masa kini. Permainan 'pok ta pok' yakni melemparkan bola melewati sebuah lingkaran di dinding 7 meter di atas tanah. Kapten dari tim yang pertama kali berhasil menembakkan bola akan dipenggal kepalanya sebagai persembahan untuk dewa-dewa.


Pada tahun 1221, pemberontakan pecah. Atap-atap kayu, pasar dan kuil-kuil ksatria dibumihanguskan. Kekuasaan atas Yukatan pun berpindah ke Mayapan, sampai penakluk Spanyol datang.

Kompleks candi ini cukup luas dan tiap candi saling terpisah dengan yang lainnya. Di tengah-tengah berdiri candi El Castilo (Istana) yang selesai direnovasi. Bentuknya piramid, hanya atapnya tumpul. Melihat candi El Castilo mengingatkan kita pada candi Sukuh di Karanganyar, Solo. Kedua candi ini seperti saudara kembar.Keistimewaan candi El Castilo adalah undak-undakan menuju atas candi. Setiap tanggal 21Maret dan 23 September antara siang dan malam sama lamanya. Pada saat itu di siang hari, undak-undakan candi tertutup bayangan. Sehingga mata kita tertipu, seolah-olah ada banyak ular naik candi. Namun hari berikutnya pada waktu yang sama akan tampak seolah-olah ular itu turun undak-undakan.


Di sekitar kompleks candi terdapat patung yang bernama Red Jagu

ar. Menurut uskup Landa, di tempat inilah sering diadakan upacara korban. Korbannya terdiri dari macan tutul (Jaguar), kura-kura, ayam kalkun, anjing atau semua jantung binatang. Bahkan kadang korbannya juga manusia.


Di sekitar kompleks candi ditemukan pula delapan patung Chac Mool. Patung berbentuk manusia dengan posisi duduk menengadah. Kedua tanggannya sedang memegang sesaji dan kepalanya menoleh ke arah kiri. Chac Mool untuk memuja dewa hujan.




Masih di kompleks Chichen Itza terdapat dua tembok yang sama tingginya. Arena di antara dua tembok itu dipakai suku Maya untuk bermain bola. Dimungkinkan bola itu dibuat dari karet, mengingat di sekitar daerah itu tumbuh pohon karet. Tak hanya suku Maya yang senang bermain bola, namun juga suku Zapotek


Mirip di Indonesia


Yang cukup mengejutkan lagi adalah buku An overview of the MAYAN world karangan Prof Gualberto Zapata Alonzo, terbit di Merida, Yucatan, Mexico, tahun 2002. Prof Alonzo menyebutkan, seni dan kesadaran beragama suku Maya ada kemiripan dengan di Indochina dan Indonesia. Candi Tikal di Guatemala ada kesamaan dengan piramid Naksei Chan Crong di Angkor, Kamboja. Candi di Palenque, Meksiko ada kemiripan dengan candi Ajanta di India. Simbol-simbol agama dan mitos binatang suku Maya mirip dengan di Jawa dan Asia Tenggara. Dalam Mahabharata dan Ramayana terdapat suku dengan panggilan Maya.


Pada agama Hindu terdapat pula dewa bernama Maya. Masih pada buku di atas disebutkan, pada tahun 1973 Prof. Alonzo dapat tugas mengantar para peneliti antropolog ke Chiapas. Salah satu anggota peneliti itu ada mahasiswa Jepang program postgraduate bernama Yutaca Yanome.


Ignacio Magaloni Duarte menulis buku berjudul Pendidik Dunia (Educadores del Mundo) yang terbit tahun 1968. Duarte membuktikan, bahwa suku Maya pernah hidup di dekat negeri timur jauh, antara lain Jepang, Tiongkok, India, dan Mesir. Duarte menyebut, suku Maya saat datang ke India disebut Naga, kemudian berganti sebutan Danava dengan ibu kota Nagapur. Valmiki pada abad 6 menulis Ramayana dengan menyebut orang-orang Naga-Maya. Kemudian orang-orang ini tinggal di Tibet, Babylon, Acadia, dan Mesir. Duarte meyakinkan lagi dengan perbandingan antara angka-angka Naga dan Maya dari nomor 1 sampai 10 mempunyai ucapan yang mirip.


Angka-angka Maya: 1:Hun, 2:Ca, 3:Ox, 4:Can, 5:Ho, 6:Uc, 7:Uac, 8:Uaxac, 9:Bolom, 10:Lahun.


Angka-angka Naga: 1:Hun, 2:Cas, 3:Ox, 4:San, 5:Ho, 6:Usac, 7:Uac, 8:Uaxax, 9:Bolam, 10:Lahun.


Tak hanya di situ kemiripan kedua budaya bangsa Asia dan suku Maya. Namun dalam arsitektur juga ada hubungan yang erat, terutama konsep piramid.


(ben)

Friday, December 18, 2009

Cernak, 20 Desember 2009


Teman Baru Nenek

Pagi-pagi sekali aku berangkat ke rumah Nenek. Papa yang mengantar. Rumah Nenek masih satu kota denganku. Tapi letaknya lumayan jauh.


“Nanti jangan nyusahin Nenek ya,” pesan Papa sambil menyetir.


“Nggak kok, Pa,” kataku.


“Jangan ngacak-ngacak buku di perpustakaan, mengotori lantai, cuci sendiri piring bekas makan. Di rumah Nenek sudah nggak ada pembantu lagi,” tambah Papa.


“Iya, Pa. Tenang saja.” Mama juga sudah berpesan seperti itu.


Begitu mobil sampai di halman rumah Nenek, aku pun turun sambil membawa tas berisi pakaian salinku. LIburan kali ini aku akan menginap selama seminggu di rumah Nenek.


Kalian tahu mengapa aku suka menginap di rumah Nenek? Ya, menang karena buku-buku cerita di rumah Nenek sangat baca, Nenek mengumpulan buku-buku itu sejak Papa kecil. Lalu, halaman rumah Nenek sangat luas. Aku bisa bermain apa saja di sana. Tidak seperti dirumahku, meskipun rumahnya luas, halmannya sempit. Di rumah Nenek juga ada rumah pohon yang dibuatkan Papa.


Pokoknya aku suka sekali liburan di rumah Nenek sejak dulu.


“Assalamualaikum,” salamku ketika masuk ke rumah Nenek.


“Waalaikumsalam,” jawab Nenek menyambutku dnegan memeluk hangat.


Papa hanya mencium punggung telapak tangan Nenek, setelah itu pegi lagi karena harus masuk kantor.


“Nenek senang kamu liburan panjang di sini. Nenek yakin kamu sekarang akan makin senang karena ada teman barumu di sini, sarah,” kata nenek.


“Teman baru?”


“Nanti jam sebilan dia akan datang ke sini,” kata Nenek.


Aku jadi penasaran. Tapi aku sebaiknya ke kamar dulu. Kamar yang kutempati dulunya adalah kamar Papa ketika masih kecil. Jendela kamarnya menghadap ke sungai besar yang mengalir tenang. Sangat indah, apalagi bila melihat kapalkapal kecil yang melintas.


Siapa ya teman baru itu? Aku jadi penasaran.


Tepat pukul Sembilan, aku mendengar suara salam di depan pintu. Nenek segera menyambutnya.


“Sarah, kenakan ini teman barumu. Namanya Prita,” kata Nenek.


Di depanku, berdiri seorang anak perempuan sebaya denganku. Penampilannya sederhana, bola matanya bercahaya.


“Hai Sarah! Nenek sering bercerita tentangmu,” kata Prita.


Oh. Tapi Nenek kok nggak pernah cerita kepadaku, ya? Sejak kapan Nenek berteman dengan Sarah. Rasanya, hamper setiap hari aku menelepon Nenek. Tapi Nenek tidak pernah menyinggung tentang Prita. Memang sih, sudah sebulan lebih aku tidak mengunjungi Nenek. Jadwal les yang padat, membuatku tak bisa ke rumah Nenek.


“Aku dan Nenek baru berteman seminggu yang lalu,” jelas Sarah, seperti yang bisa membaca pikiranku.


“Waktu itu Sarah sedang lewat depan rumah, Nenek sedang menyirami bunga-bunga di dekat pagar. Sarah datang dan menawarkan diri membantu Nenek. Ya, tentu saja Nenek senang,” tambah nenek.


“Sebenarnya aku berharap diizinkan memetik satu bunga mawar. Eh, sewaktu pulang, aku malah diberi satu pot pohon anyelir yang sedang berbunga,” kata Sarah.


Wah, kok bisa ya? Nenek sangat suka dengan pot-pot anyelirnya itu. Mama juga pernah minjta, tapi tidak dikasih.


“Nenek senang memberi tanaman kepada orang yang senang merawat tanaman,” kata Nenek.


Hm, ya dulu aku juga pernah meminta satu pot tanaman bunga seruni. Tapi baru dua hari pohon itu mati. Aku lupa menyiramnya.


“Hari ini kita akan ngapain, Nek?” tanya Prita.


“Kita masak pudding aja. Biar ada makanan untuk kita bertiga sepanjang hari ini,” usul Nenek.

Masak pusing? Wah, aku paling tidak bisa masak kue! Tapi, nggak ada salahnya belajar.

Aku pun mengikuti Neneh dan Prita ke dapur. Aku kagum dengan Prita yang cekatan mebantu Nenek membuat pudding jeruk dan mangga. Sementara aku hanya kebagian ugas membersihkan perlatan yang kotor.


Setelah memasak, Nenek minta izin membaca dulu sebentar. Aku mengajak Prita ke rumah pohon. Saat masuk rumah pohon, aku kaget sekali. Isinya sangat tertata rapi.


“Wah, kok jadi rapi begini ya?” gumamku.


“Ah, aku yang merapikannya. Waktu dtang ke sini, aku melihat acak-acakan sekali. Sayang tempat yang bagus ini kalo acak-acakan.”


Wah, itu pasti ulahku. AKu sering lupa mengembalikan buku ke tempatnya lagi, juga mainan. Kadang aku juga membuang bungkus makanan dan minuman sesukaku.


Di rumah pohon itu kami membaca komik sambil menikmati pudding yang dibuat tadi. Rasany lezat lho.


Setelah bosan di rumah pohon, aku mengajak Prita bermain piano. Untunglah Nenek sudah selsai membaca. Nenek kalau sudah memnaca suka tidak mau diganggu suara apapun. Hehehe, Nenek memang kutu buku sejak lama. Begitu kata Papa.


Aku memainkan piano itu.


“Kamu bisa memainkan piano?” tanyaku kepada Prita.


“Tidak. Tapi aku suka membuat puisi,” kata Prita.


“Kenapa kalian berdua tidak membuat sebuah lagu baru saja,” saran Nenek.


Aku setuju usul Nenek. Prita kemudian menulis syair lagu. Dia benar-benar pandai membuat puisi. Kali ini lagunya bercerita tentang indahnya persahabatan. Setelah syair lagu dibuat Prita, aku mencari nada yang cocok untuk melagukannya.


Setelah berjam-jam, diselingi makan siang tentunya, kami berhasil membuat lagu itu. Nenek sangat senang ketika kami menyanyikannya berdua.


Sore harinya, kami menyanyikan lagu itu bersama sambil bertaman. Nenek menyirami bunga. Prita emetic daun-daun yang kering. Aku malah mengjar kupu-kupu.


Saat petang tiba, Prita pamit pulang. Nenek seperti yang sedih melpasnya pulang.


Setelah Prita tidak ada, aku mendekati Nenek.


“Nek, sekarang Nenek kayaknya udah lebih sayang orang lain dibandingkan Sarah,” kataku.


“Ah, nggak kok.”


“Iya, Sarah rasakan sendiri kok. Mungkin karena Prita lebih pintar dari Sarah. Prita jago masak, jago bersih-bersih, jago bertaman, jago membuat pusi….”


“Bukan. Nenek menyayangi Prita bukan karena itu. Nenek menyayangi Prita karena semangat hidupnya. Dia itu umurnya tak lama lagi. Prita kena kanker. Nenek tahu dari ibunya. Meskipun begitu, Prita tak pernah terlihat sedih dan murung,” kata Nenek.


Aku terkejut. “Kok kelihatannya dia sehat-sehat saja,” kataku.


“Ya, itulah karena semangatnya. Mskipun begitu, nenek tetap sangat menyayangi kamu. Sarah. Kamu pandai memainkan piano, membuat nada yang indah untuk lagu baru. Kamu juga jago bahasa Inggris dan computer. Kamu juga jago membenarkan antene.”


Hehehe. Aku tertawa.


“Setiap anak punya keistimewaan sendiri. Dan semua anak punya hak untuk disayangi,” kata Nenek lagi.


Aku mengangguk, mengeri maksud Nenek.


“I love you, Nenek!” kataku sambil memeluk Nenek yang sudah ditinggal Kakek sebulan lalu.


Malamnya aku menelepon Papa. Berceita tantang Prita.


“Prita? Ah, nama itu kayak nama teman Papa dulu sewaktu kecil. Tapi dia sudah meninggal karena kanker. Anaknya baik, suka menulis puisi dan membantu orang lain.”


“Kok bisa sama sih?” tanyaku.


“Rumahnya di mana? Apakah di jalan Mawar duabelas?”


“Sarah belum tanya. Besok deh sarah tanya.”


Aku jadi penasaran. Ya, besok aku akan bertanya kepada Sarah dimana tinggalnya. Jika dia tinggal di jalan Mawar duabelas, berarti Prita ……


^ ___ ^