Friday, January 29, 2016

Cernak, 31 Januari 2016

Penjual Misterius 
Sudah hampir satu bulan lelaki itu berjualan di sudut pasar. Dengan suara lantang, lelaki yang hanya dapat melihat dengan sebelah mata itu berteriak, ”Ayo, beli pakaian pembawa kekayaan ini! Ayo beli!”
Mulanya, banyak yang tertarik dengan teriakannya. Namun, ketika tahu harga sepotong baju sangat mahal, mereka hanya menggerutu.
“Harga baju seperti itu dua puluh keping emas? Yang benar saja. Itu sangat mahal!” seru banyak orang. Meski tak ada lagi yang mendatangi, penjual pakaian itu terus berdagang. Hingga suatu siang, lelaki bernama Arun mendekatinya.
“Pak, bolehkah aku tahu mengapa harga baju-baju ini sangat mahal?” tanya Arun.
“Karena, setelah membeli baju dariku, dia pasti akan mendapat sekantung emas dari raja,” jawab pedagang itu.
“Bagaimana caranya?” Arun penasaran.
“Oh, itu baru akan kuberitahu jika kau membelinya,” jawab si pedagang.
“Sejujurnya, aku ingin membeli baju itu. Tapi, aku tidak punya uang. Bagaimana kalau kubayar setelah kudapatkan sekantung emas dari raja?” bujuk Arun kemudian.
Pedagang baju itu kelihatan bimbang.
“Ayolah, aku tak akan menipumu,” rayu Arun.
“Baiklah, ambil baju yang satu ini. Ini adalah pakaian pertapa. Temuilah Baginda Raja dengan berpakaian seperti pertapa. Perkenalkan dirimu sebagai anak pertapa di Bukit Kabut Hijau. Ingatkan Baginda Raja bahwa lima tahun lalu beliau pernah ditolong saat tersesat di hutan,” tutur penjual pakaian.
Arun mengangguk sambil berusaha mengingat-ingat cerita lelaki di depannya. Keesokan harinya, ia segera menemui Baginda Raja dan melakukan semua yang dikatakan pedagang pakaian.
Tanpa menunggu lama, raja langsung memberikan sekantung emas kepada Arun. Beliau juga menawarkan untuk menginap dan makan malam bersama, namun Arun menolak dengan alasan harus segera pulang.
Sepulang dari istana, Arun tidak langsung menemui pedagang pakaian. Ia malah berfoya-foya menghabiskan uang yang didapatnya. Satu bulan kemudian, ia kembali menemui pedagang pakaian itu.
“Pak, maafkan aku telah ingkar janji. Uang yang diberikan Raja telah dirampok di tengah jalan,” katanya berdusta, “bagaimana bila kau jual lagi satu baju padaku?”
Melihat kesedihan Arun, penjual pakaian itu mau memaafkannya. “Kalau begitu, bawalah baju yang kedua. Menyamarlah dengan pakaian tabib itu dan katakan bahwa kau anak Tabib Sungai Hitam. Lima tahun lalu, Baginda Raja pernah berobat padanya,” tutur pedagang itu.
Keesokan harinya, Arun kembali menemui Baginda Raja. Sama seperti sebelumnya, Arun mengulangi kejahatannya. Ia menghabiskan uang itu sendirian dan baru menemui pedagang pakaian setelah uangnya habis.
“Maafkan aku sekali lagi, Pak. Uang pemberian Raja telah kusumbangkan kepada penduduk di kampungku karena mereka terserang wabah penyakit,” ujar Arun dengan muka sedih. “Sekarang, aku berjanji tak akan mengulanginya jika kau berikan baju yang ketiga.”
“Baiklah, bawalah pakaian prajurit itu. Menyamarlah kau sebagai seorang parjurit bernama Gupta. Baginda Raja akan senang menyambutmu. Ingatkan bahwa kau adalah prajurit yang hilang lima tahun lalu,” kata pedagang pakaian.
Keesokan harinya, Arun menemui Baginda Raja dengan menyamar dengan prajurit. Tetapi, alangkah kagetnya Baginda Raja ketika Arun menyebut dirinya sebagai Gupta.
“Pengawal, tangkap orang ini! Dia prajurit yang telah berkhianat padaku ketika terjadi peperangan lima tahun lalu!” teriak Baginda Raja.
Arun meronta-ronta sambil mengatakan bahwa dia bukan Gupta. Di ruang pemeriksaan Arun menceritakan segalanya, termasuk pria pedagang pakaian itu.
Prajurit kerajaan segera menjemput pedagang pakaian dan membawanya ke hadapan Baginda Raja. Ternyata Baginda Raja mengenali pedagang pakaian itu.
“Bukankah kau Mustakh, pengawal setiaku? Mengapa keadaanmu seperti ini sekarang?” tanya Baginda Raja.
Ya, penjual pakaian itu ternyata bernama Mustakh. Lima tahun lalu, setelah terjadi perang ia terserang penyakit. Karena tak terobati matanya menjadi buta sebelah. Ia malu untuk kembali ke kerajaan. Sayangnya, ia tak bisa mendapatkan pekerjaan pengganti yang pantas.
Baginda Raja terharu mendengarnya. Ia segera memberi Mustakh sebidang tanah untuk digarapnya mengingat jasa-jasa Mustakh di peperangan. Sementara, Arun tetap dihukum sebagai seorang penipu.

Hore, 31 januari 2016

Mengenal Kota Perbatasan



Apakah kalian pernah mengunjungi kota perbatasan negeri ini? Apa itu ya kota perbatasan? Nah, kali ini mari kita sam-sama belajar tentang kota peratasan yuk.

Kota perbatasan adalah kota yang dekat ke perbatasan antara dua negara, negara bagian atau wilayah. Biasanya istilah ini menyiratkan bahwa kota perbatasan merupakan kota yang paling terkenal. Kota perbatasan dapat memiliki komunitas yang sangat kosmopolitan, ciri mereka berbagi dengan kota-kota pelabuhan. Mereka juga bisa menjadi titik lintas untuk konflik internasional.

Perbatasan Indonesia dan Malaysia




Perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di Asia Tenggara mencakup perbatasan darat yang memisahkan kedua negara di Pulau Kalimantan dan perbatasan maritim di sepanjang Selat Malaka, Laut Cina Selatan, dan Laut Sulawesi.

Perbatasan darat antara Indonesia-Malaysia membentang sepanjang 2.019 km dari Tanjung Batu di Kalimantan baratlaut, melewati dataran tinggi pedalaman Kalimantan, hingga ke Teluk Sebatik dan Laut Sulawesi di sebelah timur Kalimantan. Perbatasan ini memisahkan provinsi Kalimantan Utara dan Kalimantan Barat di Indonesia dengan negara bagian Sabah dan Sarawak di Malaysia.

Perbatasan maritim di Selat Malaka umumnya ditetapkan berdasarkan garis tengah antara dasar benua Indonesia dan Malaysia, membentang ke arah selatan dari perbatasan Malaysia–Thailand hingga ke titik pertemuan perbatasan Malaysia–Singapura. Sebagian perbatasan ini ditetapkan melalui Perjanjian Perbatasan Landas Benua pada tahun 1969 dan Perjanjian Perbatasan Wilayah Laut pada 1970. Perbatasan landas benua antara Indonesia dan Malaysia di Laut Cina Selatan juga ditarik di sepanjang garis dasar benua antara kedua negara berdasarkan perjanjian 1969.

Perbatasan di Laut Sulawesi telah menjadi subjek persengketaan antar kedua negara. Persengketaan tersebut diselesaikan melalui putusan Mahkamah Internasional dalam kasus Sipadan dan Ligitan pada tahun 2002. Meskipun demikian, kedua negara ini masih memiliki klaim yang saling tumpang tindih sehubungan dengan perbatasan, misalnya Ambalat.



Terdapat sejumlah transportasi laut yang menghubungkan Indonesia dengan Malaysia, sebagian besarnya antara Sumatra dan Semenanjung Malaysia, dan sebagian kecil antara Kalimantan Utara dan Sabah. Satu-satunya perlintasan darat yang menghubungkan kedua negara ini terdapat di Entikong (Indonesia)/Tebedu (Malaysia). Perbatasan Indonesia–Malaysia, baik darat atau laut, memiliki celah yang menyebabkan masuknya sejumlah besar pekerja imigran ilegal dari Indonesia ke Malaysia.

Perbatasan Indonesia dan Singapura


Perbatasan Indonesia-Singapura merupakan batas maritim di Selat Singapura antara Kepulauan Riau di Indonesia yang terletak di sebelah selatan perbatasan, dan pulau-pulau Singapura yang terletak di utara.Selat Singapura merupakan salah satu perairan tersibuk di wilayah ini karena merupakan saluran utama untuk Pelabuhan Singapura.


Perbatasan Indonesia dan Australia

Perbatasan Indonesia dan Australia  adalah perbatasan maritim antara Indonesia dan Australia yang membentang dari Papua Nugini di sebelah timur hingga ke Selat Torres, Laut Arafuru, Laut Timor, dan berakhir di Samudra Hindia. Namun, perbatasan ini dikaburkan oleh "Celah Timor", tempat perairan Australia dan Timor Leste bertemu dan saling diklaim oleh kedua negara.

Australia dan Indonesia juga berbagi perbatasan maritim di Samudra Hindia antara wilayah seberang laut Australia Pulau Christmas dan Pulau Jawa di Indonesia.

Karakteristik unik dari perbatasan maritim antara Australia dan Indonesia adalah dipisahkannya kepemilikan dasar laut (landas benua) dan perairan (zona ekonomi eksklusif), yang masing-masingnya memiliki batas tersendiri. Kepemilikan atas dasar laut memberikan kedua negara ini hak untuk menguasai semua mineral di dasar laut, sedangkan kepemilikan perairan memungkinkan kedua negara untuk menangkap ikan dan sumber daya laut lainnya di wilayah yang mereka kuasai. 

Perjanjian yang mengatur mengenai perbatasan maritim antara Pulau Christmas dan Jawa ditandatangani pada tahun 1997. Akan tetapi, perjanjian ini belum diratifikasi dan tidak lagi berlaku; setelah kemerdekaan Timor Leste, perjanjian ini memerlukan amandemen, sedangkan kesepakatan antara kedua negara ini masih tertunda.
 

 Masih ada lagi perbatasan dengan Timor Leste dan Papua New Guine. Tapi kita bahas kapan-kapan ya.

 
 

Arena KKPK, 31 Januari 2015

 Sebuah Pintu Misterius

Judul: Rahasia Pintu Merah

Penulis: Egi Dia, dkk

128 halaman

 

Apa bacaan kesukaanmu? APakah suka membaca cerita fantasi misteri? Aku suka. Termasuk komiknya. Salah satu komik fantasi misteri yang aku suka adalah buku satu ini. Apa ya ceritanya?

Luna pernah bermimpi tentang sebuah rumah yang di dalamnya terdapat sebuah pintu merah. Dalam mimpinya, jika masuk ke pintu merah tersebut, maka Luna akan terjebak di dunia yang sangat menyeramkan. Saat ini Luna dan keluarganya pindah rumah, karena Luna sakit dan harus tinggal di tempat yang sejuk untuk pengobatannya. Rumah baru Luna persis seperti yang muncul di mimpinya, dan di dalam rumah tersebut benar-benar ada pintu berwarna merah.

Nah, kamu pastinya penasaran dengan kelanjutan cerita ini, kan? Aku nggak akan memberi tahu akhirnya karena kamu sebaiknya membaca sendiri. Yang jelas bikin penasaran. Ada cerita lainnya yang tak kalah menariknya di buku ini. Selamat membaca ya.

(Gaus Rama, Palembang)

Friday, January 22, 2016

Cernak, 24 Januari 2016

Gadis Biola


Rumah itu berdiri megah di sisi jalan yang sepi. Rumah bertingkat dengan jendela kaca yang indah.Aku sering melewatinya setiap kali Ibu menyuruhku mengantar pakaian yang dijahitnya ke komplek ini. Aku sendiri tinggal di luar komplek mewah ini.

Aku biasanya berhenti sesaat karena mendengar suara biola yang digesek dengan merdu dan terfengar sampai keluar. Aku ingin sekali tahu siapa yang memainkannya.

Saat itulah aku melihat seorang gadis kecil sepantar denganku ke luar dari dalam rumah. Dia kemudian berjalan ke luar pintu pagar dan menghampiriku yang duduk di atas sepeda.

"Hai, namaku Winda. Aku sering melihatmu di luar pagar saat aku berlatih biola," katanya.

"Namaku Astri. Ya, aku sengaja berhenti sebab aku menyukai suara permainan biolamu,"  jawabku.

"Ayo, masuklah. Jangan hanya di luar. Kamu sedang tidak terburu-buru pulang, kan?" tanya Winda.

Aku mengikutinya masuk ke rumah besar itu. Rumahnya tentu saja jauh dari rumah ini besarnya. Rumahku sederhana saja.

Di dalam rumah besar hanya ada Winda dan dua orang pembantu. Kedua orangtuanya sedang bekerja. Tiga kakaknya sudah berkeluarga dan tinggal di rumah mereka masing-masing di luar negeri.

Sambil berlatih biola, Winda kadang berhenti mengajakku ngobrol. Sepertinya dia memang suka bercerita. Sehingga aku jadi tahu banyak tentang Winda. Kata Winda, dia sebenarnya anak angkat dari sebuah panti asuhan. Bapak dan Ibu Wingga mengangkatnya karena merasa kesepian setelah ditinggal anak-anak mereka.

"Tapi justru aku yang sering kesepian. Di panti asuhan, banyak orang," ungkap Winda.

Agar tidak kesepian, Winda dikursuskan biola sepulang sekolah. Kursus privat di rumah. Hari ini dia seharusnya kursus, tapi gurunya berhalangan hadir.

"Aku sendiri sebenarnya tidak suka main biola. Aku lebih suka main bola atau sepeda sepertimu. Tapi kedua orangtuaku ingin aku mahir main biola seperti kakak-kakakku. Ya, aku berusaha menyenangkan mereka, jadi aku turuti," lanjut Winda.

Aku tersenyum. Aku sebenarnya suka bermain biola. Dulu, ketika kakekku punya biola. Saat liburan aku sering belajar bersama kakek. Tapi sebuah bencana banjir di desa kakek menghanyutkan biola itu. Kakek juga meninggal sebulan setelahnya. Aku sendiri ingin punya biola dan les. Tapi aku tidak punya uang.

"Apa aku boleh mencoba biolamu?" tanyaku.

"Ya, tentu saja," ujar Winda sambil menyodorkan biolanya yang cantik. Pasti mahal.

Aku menggesek biola, memainkan lagu Bubuy Bulan yang sering aku mainkan saat liburan di rumah Kakek. Sambil memainkannya aku ingin menangis karena teringat Kakek. Dan saat di ujung lagu aku tak sadar sudah meneteskan air mataku.

Plok-plok-plok.

Aku terkejut. Kupikir yang bertepuk tangan Winda. Tapi sepasang Ibu dan bapak melakukannya di pintu masuk.

Winda kemudian mengenalkan aku kepada orangtuanya. Aku memanggilnya Om dan tante Wingga. Mereka memuji permainan biolaku. Katanya, aku bermain biola dengan penuh penghayatan, sehingga orang yang mendengarnya ikut tersentuh.

Mereka tidak percaya saat kuceritakan aku hanyalah anak tukang jahit yang tinggal di luar komplek ini. Aku juga tidak punya ayah sejak setahun lalu. Hanya berdua bersama Ibu di rumah sederhanaku. AKu juga cerita tentang bermain biola yang aku pelajari dari kakekku.

"Kalau begitu kamu bisa berlatih dan bermain biola bersama Winda jika kamu mau. Kami masih punya beberapa biola yang bisa kamu pakai, Astri," kata Tante Wingga.

Oh betapa senangnya aku mendengarnya. Tak lama kemudian aku pamit pulang. Kuceritakan kemudian tentang Winda kepada Ibu. Dia sepertinya senang melihat aku gembira.

Hari demi hari kami berlatih bersama. Bahkan Om dan Tante Wingga berencana membuat kami sebuah konser di kota kami. Hal ini emmbuat kami semangat.

"Ayo, kita harus semangat," kata Winda.

"Siap! Aku semangat!" sambungku.

Sampai satu hari, Winda jatuh pingsan saat kami berlatih. Tante Wingga kemudian membawanya ke rumah sakit. Lalu, Winda harus dirawat di rumah sakit selama beberapa hari. Aku sempat menjenguknya.

"Kamu teruskan berlatih ya. Konser kita jangan sampai gagal,"  kata Winda.

Aku tak tahu maksudnya. Tapi beberapa hari kemudian Tante Wingga memanggilku. Lalu, aku menangis setelahnya. Ya, air mataku ingin kuhabiskan rasanya. Tante Wingga bercerita tentang Winda yang ternyata sakit kanker darah.

"Dokter bilang usianya tak lama lagi. Kami sudah pernah membawanya berobat ke luar negeri. Tapi tidak bisa menolongnya," kata Tante Wingga.

Aku jadi tak semangat lagi. Bahkan ketika aku menjenguk Winda lagi, aku tidak bisa menahan tangisku. Winda sepertinya mengerti aku sudah tahu tentangnya.

"Jika aku tiada, terus berlatih, ya. Aku ingin melihat konsermu saat di atas sana," kata Winda.

Beberapa hari setelah itu Winda meninggalkan kami. Aku benar-benar tak bisa berhenti menangis selama tiga hari.Untunglah Ibu terus menghiburku. Om dan Tante Wingga juga demikian. Mereka malah meminta aku agar mau menjadi anak angkat mereka.

"Kami juga sangat terpukul. Kami tahu Winda sangat ingin bermain bola dan sepeda. Tapi sejak tahu dia sakit parah, kami menahannya agar mengisi hari-hari di rumah," kata Tante Wingga.

Ibu mengizinkan aku sesekali bermain di rumah Om dan Tante Wingga. Lalu aku disemangati untuk terus berlatih biola.

Sampai sebulan kemudian konser yang semula disiapkan untuk aku dan Winda akhirnya digelar. Aku merasa terharu sekali saat berdiri di atas panggung dan memainkan biola dihadapan para penonton. Dan aku benar-benar seperti melihat Winda sedang menyaksikan konser ini, tapi entah di mana.

^-^

Hore, 24 Januari 2016

Sekolah di Korea Selatan

 

 

Teman-teman, yuk kita intip dunia sekolah di Korea Selatan.

Sekolah di Korea Selatan mewajibkan siswanya belajar selama 18 jam sehari. Rata-rata sekolah masuk pukul 08.00 dan berakhir pukul 21.30. Pelajar lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah. Katanya, tujuan utama mereka adalah agar dapat masuk ke universitas terbaik. Akibatnya, mereka kebanyakan memilih masuk ‘hagwon’. Hagwon adalah semacam bimbingan atau pelajaran sepulang sekolah.

Di Indonesia,  kota besar seperti Jakarta  meliburkan sekolah di hari Sabtu. Tetapi di Korea, hari Sabtu tetaplah hari sekolah. Sejak 2010, barulah sekolah-sekolah Korea Selatan meliburkan sekolah di hari Sabtu. Tetapi, hanya dua hari Sabtu dalam sebulan.



Orang Korea mengatakan sangat menghormati guru mereka. Guru dianggap sebagai utusan Dewa.  Usia maksimal seorang guru adalah 65 tahun. Bagaimana dengan Indonesia?

Ada etika bersepatu di dalam kelas. Hampir sama dengan budaya sekolah di Jepang yang mewajibkan ‘uwabaki’ atau sepatu selop khusus di kelas, Korea juga begitu. Setiap siswa memang memiliki sepatu outdoor. Tetapi ketika memasuki ruang kelas, mereka harus memakai sepatu selop atau slipper seperti di rumah.

Makan siang yang lezat dan menyehatkan. Rata-rata sekolah di Korea selalu menyediakan makan siang bagi seluruh siswanya. Menu makanan selalu berbeda tiap harinya dan semuanya fresh tanpa pemanas microwave.



Toilet sekolah tak menyediakan tisu! Beberapa sekolah tak selalu menyediakan tisu toilet. Jadi, siswa harus membawa tisu sendiri. Suatu stategi agar siswa berlatih mandiri.

Seperti sekolah-sekolah di Indonesia,  sistem sekolah Korea mengajarkan siswa untuk bertanggung jawab atas perawatan sekolah mereka. Sementara petugas kebersihan cenderung melakukan tugas-tugas utama seperti membersihkan kamar mandi, membersihkan lorong-lorong, ruang kelas, tangga, dan soal memungut sampah di halaman sekolah, semua dilakukan oleh siswa di pagi hari sebelum bel berbunyi.



Kebiasaan Gosok Gigi. Setiap nonton drama Korea, kita selalu melihat adegan menggosok gigi. Faktanya, guru-guru di Korea pun selalu membawa sikat giginya ke sekolah. Kebiasaan baik ini selalu dilakukan setelah makan siang. Bersih itu sehat!

Arena KKPK, 24 Januari 2016

Tamu dari Korea





Judul: Incredible Adventure
Penulis :Alfatira
148 halaman




Kalau kamu tak sengaja masuk ke kelas kami, kemungkinan besar kamu menemukan Averie sedang tertawa. Matanya sipit, kulitnya kuning terang. Konon keluarga Averie berasal dari Korea--liburan lalu mereka pulang ke sana. Aku sering memperhatikan sosoknya dari jauh. Averie ramah kepada semua orang. Meskipun begitu, aku enggan mendekatinya. Averie seperti tidak punya masalah. Dan kurasa, dia tidak butuh lagi teman.

Sampai suatu sore, aku menemukan sebuah buku yang tertinggal. Melihat isinya, aku segera mengenali tulisan tangan Averie. Aku membacanya acak:

Kamu pasti penaaran dengan kelanjutan cerita ini, kan? Biar nggak penasaran sebaiknya baca sendiri. Sebab membaca membuat kita juga ikut merasakan petualangan si tokoh dalam buku cerita ini. Baca yuk.

(Salsa, Palembang)

Friday, January 15, 2016

Cernak, 17 Januari 2016

Terjebak 
Oleh Benny Rhamdani




“Jangan main terlalu jauh sendiri ya! Kalau bosan, nanti Nenek carikan teman anak ellaki sebaya denganmu.”

Pesan Nenek seperti kulupakan begitu saja. Aku keasyikan mengejar seekor kelinci putih di belakang rumah nenek. Tanpa sadar aku sudah begitu jauh bermain. Sampai akhirnya kelinci yang kukejar lari masuk ke sebuah perkarangan rumah tua.

Masuk atau tidak ya? Aku bingung karena kulihat di dalam perkarangan itu si kelinci terduduk diam. Seperti menantangku untuk menangkapnya. Aku memutuskan untuk melewati pagar kayu yang sudah tua dan bolong-bolong pada beberapa bagian.

“Hei, mengapa kamu masuk ke sini?”

Aku kaget karena mendengar suara nyaring yang mendadak. Kutengok ke samping kiri dan kanan , tapi tak ada orang. Ke belakang juga tak ada orang.

“Aku di atas pohon mangga,” kata suara itu lagi.

Aku menengadahkan kepalaku. Seorang anak lelaki tengah asyik memakan mangga. Dia pasti mengupas kulitnya menggunakan gigi karena tak memegang pisau.

“Kamu nggak takut main ke sini?” tanya anak lelaki itu setelah turun. “Rumah tua itu kan kosong.”

“Kamu sendiri nggak takut, kenapa aku harus takut?” aku balik bertanya.

“Hebat. Oh iya, namaku Igo. Kamu siapa? Sepertinya pendatang ya?”

“Indra. Aku liburan di rumah nenekku. Kamu bukan penghuni rumah itu?”

“Bukan. Aku anak kampung. Kebetulan aku lewat sini. Kulihat mangganya matang, jadi aku ambil saja,” ucap Igo santai. “Eh kamu tadi ngejar-ngejar kelinci ya? Di dalam rumah itu banyak kelincinya kalau kamu mau.”

“O ya?” Karena penasaran aku berjalan mendekati rumah tua itu.

“Lewat samping saja,” kata Igo memintaku membuntutinya. “Aku kebetulan beberapa kali main ke sini jadi aku tahu keadaannya.”

“Hatsyih!” aku bersin karena hidungku tergelitik debu.

“Guriparas!” timpal Igo.

Aku tersenyum geli. Seperti nenekku, orang-orang di daerah ini selalu mengatakan kata asing itu setiap mendengar orang bersin. Mungkin kebiasaan atau tradisi. Tapi kata Nenek, itu semacam doa agr cepat sembuh.

Igo mendorong pintu samping. Ternyata tak dikunci. Igo memberiku isyarat agar masuk. Semula aku ragu. Tapi Igo kemudian menarikku masuk. Suasana di dalam tak separah yang kubayangkan. Tampak bersih, walaupun tak banyak perabotan. Aku melihat beberapa bingkai foto di dinding.

“Itu!” tunjuk Igo. Dua ekor kelinci menjauh ketika melihat kami. Aku mengejar. Kelinci itu menuju ruangan bawah tanah. Aku ragu-ragu menuruni tangga.

“Masuklah!” Igo mendorongku hingga aku menuruni tangga. Tapi ternyata Igo tak ikut. Dia malah menutup pintu ke ruang bawah tanah. Mungkin semacam gudang.

BRUK!

“IGO! Apa yang kamu lakukan?” aku langsung berteriak nyaring. “Jangan bercanda! Aku nggak suka!”

Sama sekali tak ada sahutan dari balik pintu. Aku meraba-raba dinding mencari saklar lampu. Tapi aku gagal. Akhirnya, aku menaiki tangga dan duduk di undakan teratas sambil terus menggedor pintu. Barangkali ada yang mendengar.

Oh, apa yang terjadi ini?

Entah berapa puluh menit kemudian, pastinya aku sudah putus harapan, tiba-tiba pintu dibuka dari luar. Kupikir Igo yang mengerjaiku, makanya aku sudah bersiap menghajarnya. Ternyata bukan.

“Siapa kamu? Mengapa ada di rumah kami?”

“Kalian siapa?” tanyaku.

“Kami Rahmi dan Rahma. Kami tinggal di sini. Dan kamu?”

Tanpa berlama-lama aku segera menceritakan segalanya sambil duduk di kursi. Kulihat dua anak kembar itu hanya terbengong-bengong tak percaya.

“Igo? Jadi kamu bertemu Igo? Tidak mungkin. Dia itu orang kampung yang sudah meninggal setahun lalu,” kata satu dari mereka. Entah Rahma atau Rahmi.

“O ya?” Kali ini aku yang terkejut. Tapi tak terlalu lama. Mataku tertuju pada deretan figura foto. Ada foto keluarga rumah ini. Di sana jelas ada dua anak perempuan kembar dan satu anak lelaki.

“Hatsyih!” aku bersin karena hidungku gatal.

“Guriparas!” aku mendengar suara kedua anak kembar mendoakanku. Ah, bukan cuma dua tapi ada tiga suara. Dan aku tahu di mana asalnya. Di salah satu kamar. Aku langsung membuka pintu kamar itu. dan kutemukan Igo tengah berdiri.

“Apa maksudmu mengurungku di bawah tanah tadi?” aku langsung mendorong Igo. Meskipun tubuhnya sedikit lebih besar, aku tidak takut.

Tiba-tiba pintu depan dibuka. Aku lihat seorang wanita setengah baya masuk bersama… nenekku!

“Lho, Indra sudah kenal sama Igo? Baru nenek mau ajak Igo ke rumah buat nemanin kamu selama liburan di sini,” kata Nenek bingung.

“Siapa yang mau main dengan dia?” kataku sambil menjauhi Igo.

“Lho, katanya kamu mau belajar naik kuda. Igo ini punya kuda dan pandai naik kuda. Dia bisa mengajarimu,” kata Nenek.

Aku menghentikan langkahku. Menurut kalian kuterima atau tidak permintaan Nenek agar aku bersahabat dengan Igo? Memang benar, aku ingin belajar menunggang kuda. Tapi aku juga masih jengkel sama Igo!