Friday, January 22, 2016

Cernak, 24 Januari 2016

Gadis Biola


Rumah itu berdiri megah di sisi jalan yang sepi. Rumah bertingkat dengan jendela kaca yang indah.Aku sering melewatinya setiap kali Ibu menyuruhku mengantar pakaian yang dijahitnya ke komplek ini. Aku sendiri tinggal di luar komplek mewah ini.

Aku biasanya berhenti sesaat karena mendengar suara biola yang digesek dengan merdu dan terfengar sampai keluar. Aku ingin sekali tahu siapa yang memainkannya.

Saat itulah aku melihat seorang gadis kecil sepantar denganku ke luar dari dalam rumah. Dia kemudian berjalan ke luar pintu pagar dan menghampiriku yang duduk di atas sepeda.

"Hai, namaku Winda. Aku sering melihatmu di luar pagar saat aku berlatih biola," katanya.

"Namaku Astri. Ya, aku sengaja berhenti sebab aku menyukai suara permainan biolamu,"  jawabku.

"Ayo, masuklah. Jangan hanya di luar. Kamu sedang tidak terburu-buru pulang, kan?" tanya Winda.

Aku mengikutinya masuk ke rumah besar itu. Rumahnya tentu saja jauh dari rumah ini besarnya. Rumahku sederhana saja.

Di dalam rumah besar hanya ada Winda dan dua orang pembantu. Kedua orangtuanya sedang bekerja. Tiga kakaknya sudah berkeluarga dan tinggal di rumah mereka masing-masing di luar negeri.

Sambil berlatih biola, Winda kadang berhenti mengajakku ngobrol. Sepertinya dia memang suka bercerita. Sehingga aku jadi tahu banyak tentang Winda. Kata Winda, dia sebenarnya anak angkat dari sebuah panti asuhan. Bapak dan Ibu Wingga mengangkatnya karena merasa kesepian setelah ditinggal anak-anak mereka.

"Tapi justru aku yang sering kesepian. Di panti asuhan, banyak orang," ungkap Winda.

Agar tidak kesepian, Winda dikursuskan biola sepulang sekolah. Kursus privat di rumah. Hari ini dia seharusnya kursus, tapi gurunya berhalangan hadir.

"Aku sendiri sebenarnya tidak suka main biola. Aku lebih suka main bola atau sepeda sepertimu. Tapi kedua orangtuaku ingin aku mahir main biola seperti kakak-kakakku. Ya, aku berusaha menyenangkan mereka, jadi aku turuti," lanjut Winda.

Aku tersenyum. Aku sebenarnya suka bermain biola. Dulu, ketika kakekku punya biola. Saat liburan aku sering belajar bersama kakek. Tapi sebuah bencana banjir di desa kakek menghanyutkan biola itu. Kakek juga meninggal sebulan setelahnya. Aku sendiri ingin punya biola dan les. Tapi aku tidak punya uang.

"Apa aku boleh mencoba biolamu?" tanyaku.

"Ya, tentu saja," ujar Winda sambil menyodorkan biolanya yang cantik. Pasti mahal.

Aku menggesek biola, memainkan lagu Bubuy Bulan yang sering aku mainkan saat liburan di rumah Kakek. Sambil memainkannya aku ingin menangis karena teringat Kakek. Dan saat di ujung lagu aku tak sadar sudah meneteskan air mataku.

Plok-plok-plok.

Aku terkejut. Kupikir yang bertepuk tangan Winda. Tapi sepasang Ibu dan bapak melakukannya di pintu masuk.

Winda kemudian mengenalkan aku kepada orangtuanya. Aku memanggilnya Om dan tante Wingga. Mereka memuji permainan biolaku. Katanya, aku bermain biola dengan penuh penghayatan, sehingga orang yang mendengarnya ikut tersentuh.

Mereka tidak percaya saat kuceritakan aku hanyalah anak tukang jahit yang tinggal di luar komplek ini. Aku juga tidak punya ayah sejak setahun lalu. Hanya berdua bersama Ibu di rumah sederhanaku. AKu juga cerita tentang bermain biola yang aku pelajari dari kakekku.

"Kalau begitu kamu bisa berlatih dan bermain biola bersama Winda jika kamu mau. Kami masih punya beberapa biola yang bisa kamu pakai, Astri," kata Tante Wingga.

Oh betapa senangnya aku mendengarnya. Tak lama kemudian aku pamit pulang. Kuceritakan kemudian tentang Winda kepada Ibu. Dia sepertinya senang melihat aku gembira.

Hari demi hari kami berlatih bersama. Bahkan Om dan Tante Wingga berencana membuat kami sebuah konser di kota kami. Hal ini emmbuat kami semangat.

"Ayo, kita harus semangat," kata Winda.

"Siap! Aku semangat!" sambungku.

Sampai satu hari, Winda jatuh pingsan saat kami berlatih. Tante Wingga kemudian membawanya ke rumah sakit. Lalu, Winda harus dirawat di rumah sakit selama beberapa hari. Aku sempat menjenguknya.

"Kamu teruskan berlatih ya. Konser kita jangan sampai gagal,"  kata Winda.

Aku tak tahu maksudnya. Tapi beberapa hari kemudian Tante Wingga memanggilku. Lalu, aku menangis setelahnya. Ya, air mataku ingin kuhabiskan rasanya. Tante Wingga bercerita tentang Winda yang ternyata sakit kanker darah.

"Dokter bilang usianya tak lama lagi. Kami sudah pernah membawanya berobat ke luar negeri. Tapi tidak bisa menolongnya," kata Tante Wingga.

Aku jadi tak semangat lagi. Bahkan ketika aku menjenguk Winda lagi, aku tidak bisa menahan tangisku. Winda sepertinya mengerti aku sudah tahu tentangnya.

"Jika aku tiada, terus berlatih, ya. Aku ingin melihat konsermu saat di atas sana," kata Winda.

Beberapa hari setelah itu Winda meninggalkan kami. Aku benar-benar tak bisa berhenti menangis selama tiga hari.Untunglah Ibu terus menghiburku. Om dan Tante Wingga juga demikian. Mereka malah meminta aku agar mau menjadi anak angkat mereka.

"Kami juga sangat terpukul. Kami tahu Winda sangat ingin bermain bola dan sepeda. Tapi sejak tahu dia sakit parah, kami menahannya agar mengisi hari-hari di rumah," kata Tante Wingga.

Ibu mengizinkan aku sesekali bermain di rumah Om dan Tante Wingga. Lalu aku disemangati untuk terus berlatih biola.

Sampai sebulan kemudian konser yang semula disiapkan untuk aku dan Winda akhirnya digelar. Aku merasa terharu sekali saat berdiri di atas panggung dan memainkan biola dihadapan para penonton. Dan aku benar-benar seperti melihat Winda sedang menyaksikan konser ini, tapi entah di mana.

^-^

No comments: