Friday, February 16, 2007

Cerna, BP 18 Februari 2007


Nonton Barongsai

Oleh Benny Rhamdani

Mama dan papa mengajak aku dan Dion ke mal sore ini. Kata Papa, di mal akan ada atraksi barongsai. Waduh, setahun yang lalu aku melihat atraksi barngsai itu. Keren sekali! Tapi adikku waktu itu tidak ikut karena sedang kurang sehat. Lagipula umurnya waktu itu masih tiga tahun.

“Nanti kalau diajak malah takut,” kata papa.

Kalau sekarang Dion sudah empat tahun. Sudah bisa dijelaskan kalau takut sesuatu hal.

“Ini dia barongsai!” aku menunjukkan Dion gambar-gambar barngsai di koran kesayngan ayah Berita Pagi.

“Bagus. Mau lihat balongsai,” kata Dion yang masih cadel mengucapkan huruf ‘r’.

Rasanya tidak sabar menunggu sore tiba. Sempat sedikit khawatir juga karena di kompleks rumahku tadi turun hujan walaupun sebentar.

Pukul tiga kami semua berangkat ke mal. Wah, susana mal sangat ramai sekali. Hiasan di mal berbeda dengan yang kulihat ketika datang ke sini bersama Mama sebulan lalu. Hehehem aku Mama memang jarang mengajak aku ke mal. Kami sekeluarga lebih suka main ke toko buku atau berekreasi di alam terbuka.

Langit-langit mal dihiasi lampion, juga aneka hiasan berwarna merah. Beginilah suasana kalau tahun baru imlek tiba. Aku sendiri tidak tahu banyak tentang tahun baru imlek. Tapi di kelasku ada beberapa teman yang merayakannya, seperti Robert, Shirley dam Loyd.

Robert bercerita kalau tahun baru imlek tiba dia akan mendapat angpau, yakni amplop berisi uang. Loyd bercerita tentang pohon angpau di rumahnya yang boleh dipetik oleh tamu yang datang. Sementara Shirley vercerita tentang makanan. Hihihi, dia memang suka makan.

“Ada dodol, nastar, kue keranjang, wah … pokoknya banyak!”: begitu kata Shirley saat bercerita di kelas.

“Mana barongsainya?” Dion tiba-tiba berteriak tak sabar.

Mama dan Papa berusaha menenangkan Dion. Kami berjalan-jalan dulu mengitari mal. Kami kemudian mampir ke restoran bakmi dan memesan tiga kwe tiauw. Dion tak mau memesan apa-apa. Dia sudah tak sabar ingin melihat barongsai.

“Nggak ah. Dion nggak mau apa-apa. Dion mau lihat balongsai,” teriak Dion.

Beberapa orang di sekitar kami tertawa melihat tingkah Dion. Tapi karena haus, Dion mau memesan minuman. Ketika Papa membayar makanan yang kami habiskan, tiba-tiba terdengar suara riuh.

“Balongsai!” teriak Dion sambil menarik lengan Papa.

Kami segera ke ruang lapang dekat lobi mall. Suara tabuhan pengiring atraksi barongsai berbunyi memanggil para pengunjung mall untuk berkumpul. Papa menuntun kami lebih mendekat. Tak lama kemudian beberapa orang beraksi seperti di film kunfu. Lalu … barongsai itu datang!

Para pengunjung betepuk tangan. Barongsai itu beraksi. Aku melihat Dion terpana melihat barongsai. Sambil beraksi, barongsai itu menarahkan kepalanya ke pengunjung. Ada beberapa pengunjung yang melemparkan uang kertas ke mulutnya.

Lalu tiba-tiba barongsai itu menuju kami. Matanya berkedip-kedip lucu. Namun tiba-tiba saja Dion menjerit keras. Dia ketakutan melihat kepala itu mendekatinya.

“Huaaaaaa!” teriaknya nyaring.

Papa langsung berusaha menenangkannya. Tapi Dion tak kunjung berhenti. Akhirnya Papa mengajak kami menjauh dari tempat atraksi barongsai. Aduh, padahal aku amsih ingin melihat atraksi barongsai.

“Kenapa nangis? Barongsai kan tidak menggigit,” jelasku agar Dion berhenti menangis.

“Iya … Dion tahu,” jawabnya.

“Terus kenapa menangis? Kenapa takut?” tanyaku.

“Bukan takut. Tapi … tadi kaki Dion diinjak Kak Aya.”

Hah? Aku menginjak kaki Dion. Aduh pasti aku tidak sadar melakukannya tadi. “Maafkan Kak Aya kalau begitu,” kataku karena malu.

Papa melihat kaki Dion. Wah, ternyata merah! Aku jadi serbasalah.

“Makanya kalo lagi asyik, lihat-lihat dulu kaki olang!” Dion mengomel.

“Maaf … “ Aku terus meminta maaf untuk kesekian kalinya. Kau berharap Dion segera memaafkan aku, lalu kami menykasikan kembali atraksi barngsai. Aku berjanji tidak akan menginjak kaki siapapun nanti. Terutama kaki Dion! Hehehehe.

***

HORE, BP 18 Februari 2007


Asal- usul Imlek dan Barongsai Wah, bertepatan dengan hari ini teman-teman kita yang keturunan Tionghoa tengah merayakan tahun baru lho. Atau mungkin kamu juga merayakannya? Tapi tahukah kalian tentang Tahun Baru Imlek ini? Asal usul hari raya Imlek atau Sincia berasal dari negara Tiongkok, tradisi ini sudah dimulai jauh sebelum ajaran TAO, Khonghuchu ataupun agama Buddha muncul dan berkembang di sana. Di Tiongkok, dikenal empat musim, yakni musim semi (Chun), musim panas (He), musim gugur (Shiu) dan musim dingin (Tang). Ada yang berpendapat bahwa siklus keempat musim tersebut sebenarnya juga perjalanan hidup umat manusia yang diawali dengan lahir (semi), tumbuh menjadi dewasa (panas), usia lanjut (gugur) dan meninggal (dingin), yang pada hakikatnya menunjukkan kepada kita bahwa kehidupan di dunia ini tidak kekal adanya dan yang maha kekal hanyalah tuhan pencipta alam semesta. Dahulu kala di Propinsi Hokkian, saat musim dingin, sering dilanda hujan besar dan badai salju, sehingga beberapa daerah dataran rendah sering mengalami kebanjiran, sehingga penduduk mengungsi ke dataran yang lebih tinggi. Sebagai bekal mereka membuat semacam kue yang terbuat dari beras yang dibuat sedemikian rupa sehingga tahan lama dan tidak basi, kue tersebut hingga sekarang menjadi tradisi setiap menjelang Sincia. Kue keranjang namanya dibuat dalam berbagai ukuran dan disusun dalam keranjang sehingga disebut kue keranjang. Mirip Lebaran Perayaan tahun baru (sincia) Imlek adalah pesta menyambut pergantian musim dari musim dingin ke musim semi. Dalam bahasa Cina disebut sebagai Chun Jie atau Pesta Musim Semi. Kalau kita perhatikan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa pada perayaan sincia (tahun baru) Imlek sebenarnya berbeda suasananya dengan Lebaran bagi umat Islam. Sebab, pada tanggal 1 bulan 1 kalender cina itu, masyarakat Tionghoa saling bersilaturrahmi satu dengan yang lain untuk bermaaf-maafan. Yang muda akan datang pada orang tua untuk meminta maaf atas segala dosa dan kesalahan serta memohon ridho untuk mengisi tahun mendatang dengan amal yang lebih lagi. Tradisi menyambut Sincia biasanya sudah dimulai 15 hari sebelum Sincia, di mana ibu-ibu rumah tangga sudah mempersiapkan diri dengan membersihkan/mencat rumah tinggalnya, tradisi kebiasaan bersih-bersih ini sebenarnya tidak harus menunggu tibanya Sincia, namun dapat dilakukan setiap saat. Pada malam hari menjelang Sincia seluruh anggota keluarga biasanya berkumpul di rumah orangtua atau pun yang dituakan atau juga di rumah makan untuk makan malam bersama untuk menumbuhkan kebersamaan, mempererat tali silaturrahmi sambil mensyukuri nikmat tuhan berupa rizki makanan. Di Tiongkok, rumah-rumah juga dihiasi bunga yang berkuncup di musim semi, seperti bunga mei dan yang liu, sedangkan di Indonesia masyarakat Tionghoa lebih suka memakai bunga sedap malam yang harum semerbak. Di Cina, Imlek bersamaan dengan hari dimulainya musim semi saat dimana orang-orang pergi ke sawah dan ladang setelah tiga bulan sebelumnya menjalani musim dingin yang penuh salju dan badai. Tarian Singa Salah satu hiburan yang sering dimunculkan saat Imlek tiba adalah Tarian Singa atau di Indonesia dikenal dengan nama barongsai. Menurut kepercayaan orang Cina, singa merupakan lambang kebahagiaan dan kesenangan. Tarian Singa dipercaya merupakan pertunjukan yang dapat membawa keberuntungan sehingga umumnya diadakan pada berbagai acara penting seperti pembukaan restoran, pendirian klenteng, dan tentu saja perayaan tahun baru. Saat ini barongsai banyak berwarna-warni, namun pada awalnya hanya ada tiga jenis. Mengapa? Karena terlahir dari tiga tokoh bersaudara dari cerita klasik Cina (Samkok). Pertama, yang terkenal wajahnya merah dengan variasi bulu tengkuk hitam, dan dinamakan wajah Kwankong. Kedua, wajahnya kuning dengan bulu tengkuk putih, dan dinamakan Liu Pei. Ketiga, berwajah hitam dengan bulu alis pendek, disebut Zhang Fei. Tentu kalian ingin tahu bagaimana asal usul barongsai? Dari cerita yang sudah tersebar di negeri asalnya, Cina, terdapat dua macam barongsai, yaitu yang berasal dari daerah utara dan selatan. Keduanya mempunyai atraksi yang berbeda. Wajah barongsai dari utara tidak sebagus yang dari selatan. Sedangkan berbagai versi, telah tersebar lewat berbagai media. Ada yang menyebut sejak Dinasti Chin sejak ribuan tahun silam, ada juga versi lainnya. Dalam sebuah catatan, disebutkan barongsai lahir 1500 tahun lalu di Cina. Waktu itu, kala pemerintahan dinasti utara dan selatan (420-589), raja memerintahkan gubernur daerah Jiaozhou memperluas daerah hingga wilayah Linyi. Padahal penguasa Linyi, Fan Han lebih berpengalaman dalam berperang dibanding Tan. Tentaranya kuat dan kekar bersenjatakan tombak panjang, dengan menunggang gajah. Dengan memutar otaknya Tan mempunyai akal. Bermodalkan kain dan tali, ia merangkaikannya menjadi bentuk kepala singa bermulut lebar. Tentunya dibuat warna-warni yang menyala. Ternyata saat tiba di medan perang, pasukan gajah kocar kacir. Karena melihat monster berwajah singa, para penunggang gajah panik, akhirnya mereka takluk sebab berjatuhan. Sejak itu atraksi barongsai jadi primadona pada upacara militer yang lambat laun berubah atraksi rakyat sipil. Cerita lain berasal dari mitos tentang makhluk raksasa bernama Nien. Karena muncul setahun sekali, maka diberi nama demikian. Biasanya Nien muncul pada musim semi, dan memangsa apa saja yang dilihatnya. Musim semi berikutnya, muncul untuk melahap makanan hasil panen. Akhirnya zaman berubah, ujud Nien berubah pula menjadi barongsai yang diberi angpau. Gōng Xǐ Fa Choi, hong pau na lai ... selamat dan semoga banyak rezeki, mana angpaunya ... hehehehe. (benny rhamdani/berbagai sumber)

Friday, February 09, 2007

Cernak, 11 Februari 2007


Rahasia Kecil

Oleh Benny Rhamdani

Kalian punya rahasia? Ya, menyenangkan sekali rasanya jika kita punya sesuatu yang bisa kita rahasiakan. Sesuatu yang hanya kita sendiri yang tahu. Dan itu aku miliki saat ini.

“Hayo, kamu pasti punya suatu rahasia. bagi-bagi dong,” tebak Ami teman sebangkuku.

“Namanya bukan rahasia kalau aku ceritakan padamu,” tolakku.

“Ayo dong. Aku janji tidak akan mengatakan ke siapapun,” rengek Ami.

Aku menggeleng. Tentu saja aku tidak percaya. Di kelas Ami adalh orang yang paling tidak bisa menjaga rahasia. Dia bahkan tidak bisa menjaga rahasia tentang kejelekannya sendiri. Misalnya saja, tentang betapa cerobohnya dia. Setiap pagi dia selalu menceritakan bahwa ia menjatuhkan sesuatu di rumahnya atau ketinggalan barang saat ek sekolah. Itu kan namanya tidak bisa menyimpan kejelekannya sendiri.

“Kalau kamu tidak mau berbagi rahasiamu, aku akan berusaha menyelidikinya,” kata Ami setengah mengancam.

“Terserah kamu,” kataku lalu duduk perlahan di kursiku. Tapi aku berdiri lagi. Karena … ups, ini rahasia ya…. Aku tidak boleh mengatakannya.

Aku pun berjalan ke luar kelas. Agak hati-hati. Malah aku menghindar menabrak teman-temanku.

“Kamu kenapa? Jalanmu aneh?” tanya Sita di pintu kelas.

“Nggak ada apa-apa kok,” kataku. “Aku lagi mencoba gaya jalan yang lain. kalo berenang kan ada gaya macam-macam, mak berjalan juga boleh kalau aku punya gaya yang lain.”

“Uh, kamu ada-ada saja!” kata Sita.

Aku hanya tersenyum. Beberapa temanku mengajak aku duduk di bangku depan kelas. Tapi aku menolak. Jadinya, aku hanya mondar-mandir di depan kelas.

“Asuh, kamu kayak mainan robot adikku yang bisanya hanya maju mundur,” komentar Dewi.

“Aku memang ingin jadi robot,” kataku asal. Aku lalu berjalan ek dalam kelas. Sebentar lagi bel masuk pasti berbunyi.

Teng-teng-teng.

Dugaaanku benar. Kami pun masuk ke kelas. Aku duduk di bangkuku pelan-pelan. Ami melihatku dengan tatap mata yang penuh rasa ingin tahu. Aku pura-pura tidak memerhatikannya.

Saat istirahat tiba beberapa orang mulai mendekatiku. Mereka mulai merasa ada hal yang aneh didiriku. Dan tentunya mereka juga tahu aku merahasiakannya. Namanya rahsia tentu saja ku tidak bisa mengatakannya.

Maka aku sebisa mungkin menanggapi pertanyaan mereka. Dan rasanya lega sekali ketika akhirnya sepanjang hari ini di sekolah aku bisa menyimpan rahasiaku. Ini berarti aku akan merasa aman.

Kalian mau tahu apa rahasia kecilku?

Maaf ya sebelumnya … di bagian belakang …. Hmm … di panggulku … hm lagi tumbuh bisul. Itu sebabnya jalanku aneh. Bisulnya kecil, tapi sudah mau meletus. Mudah-mudahan malam ini meletus. Kalopun belum, paling tidak besok. Besok kan hari Minggu, aku tidak perlu takut meletus di sekolah.

Jujur saja, aku menganggap tumbuh bisul di panggul belakangku ini snagat memalukan. Makanya aku menganggap ini sebagai hal yang harus dirahasiakan.

Kalian pernah punya rahasia kecil? Maukah kalian berbagi rahasia denganku?

HORE, BP 11 Februari 2007


Mengenal Masjid yuk!

Siapa yang belum pernah melihat masjid? Tentunya sudah semua ya. Masjid atau mesjid adalah rumah tempat ibadah umat Muslim. Masjid artinya tempat sujud, juga sering disebut musholla atau langgar untuk ukuran yang lebi kecil. Selain tempat ibadah, masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas muslim. Kegiatan-kegiatan perayaan hari besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al Qur'an sering dilaksanakan di Masjid. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid turut memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga kemiliteran.

Tiga Masjid Utama

Ada tiga masjid utama bagi umat islam di dunia ini. Pertama adalah Masjidil Haram di kota Mekkah. Masjid ini juga merupakan tujuan utama dalam ibadah haji. Kedua adalah Masjid Nabawi, di Medinah. Mesjid ini dibangun oleh Nabi Muhammad SAW dan menjadi tempat makam beliau dan para sahabatnya.Masjid utama ke tiga adalah Mesjid Al-Aqsa di Yerusalem.

Baitul Maqdis (Mesjid Al-Aqsa) merupakan kiblat umat Muslim yang pertama sebelum dipindahkan ke Ka'bah di dalam Masjidil Haram. Umat Muslim berkiblat ke Baitul Maqdis selama Nabi Muhammad mengajarkan Islam di Mekkah (13 tahun) hingga 17 bulan setelah hijrah ke Medinah. Setelah itu kiblatnya adalah Ka'bah di dalam Masjidil Haram, Mekkah hingga sekarang.

Masjid Istiqlal

Masjid Istiqlal adalah masjid yang terletak di pusat ibukota negara Republik Indonesia, Jakarta. Pada tahun 1970-an, masjid ini adalah masjid terbesar di Asia Tenggara. Masjid ini diprakarsai oleh Presiden Republik Indonesia saat itu, Ir. Sukarno. Pemancangan batu pertama, sebagai tanda dimulainya pembangunan Masjid Istiqlal dilakukan pada tanggal 24 Agustus 1961. Arsitek yang membuat rancangan Masjid Istiqlal adalah Frederich Silaban.

Lokasi masjid ini berada di tenggara lapangan Monumen Nasional (Monas). Bangunan utama masjid ini terdiri dari lima lantai. Masjid ini mempunyai kubah yang diameternya 45 meter. Masjid ini mampu menampung orang hingga lebih dari sepuluh ribu jamaah.

Selain digunakan sebagai aktivitas ibadah umat Islam, masjid ini juga digunakan sebagai perkantoran, aktivitas sosial, dan kegiatan umum. Masjid ini juga menjadi salah satu daya tarik wisata yang terkenal di Jakarta. Kebanyakan wisatawan yang berkunjung umumnya wisatawan domestik, dan sebagian wisatawan asing yang beragama Islam.

Masij Agung Palembang

Mesjid Agung Palembang pada mulanya disebut Mesjid Sultan dan dibangun pada tahun 1738 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo. Peresmian pemakaian mesjid ini dilakukan pada tanggal 28 Jumadil Awal 1151 H (26 Mei 1748). Masjid yang mempunyai arsitektur yang khas dengan atap limas-nya ini, konon merupakan bangunan masjid yang terbesar di nusantara pada kala itu. Arsiteknya orang Eropa dan beberapa bahan bangunannya seperti marmer dan kacanya diimpor dari luar nusantara. Atap limas mesjid ini bernuansa Cina dengan bagian ujung atapnya melengkung ke atas. Dengan demikian, pada bangunan mesjid itu terdapat perpaduan arsitektur Eropa dan Cina.

Pada awal pembangunannya (1738-1748), sebagaimana mesjid-mesjid tua di Indonesia, Mesjid Sultan ini tidak mempunyai menara. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (1758-1774) barulah dibangun menara yang letaknya agak terpisah di sebelah barat. Bentuk menaranya seperti pada menara bangunan kelenteng dengan bentuk atapnya berujung melengkung. Pada bagian luar badan menara terdapat teras berpagar yang mengelilingi bagian badan.

Bentuk awal mesjid yang sekarang dikenal dengan nama Mesjid Agung, jauh berbeda tidak seperti yang kita lihat sekarang. Bentuk yang sekarang ini telah mengalami berkali-kali perombakan dan perluasan. Pada mulanya perbaikan dilakukan oleh pemerintah Belanda setelah terjadi perang besar tahun 1819 dan 1821. Setelah dilakukan perbaikan kemudian dilakukan penambahan/perluasan pada tahun 1893, 1916, 1950-an, 1970-an, dan terakhir pada tahun 1990-an. Pada pekerjaan renovasi dan pembangunan tahun 1970-an oleh Pertamina, dilakukan juga pembangunan menara sehingga mencapai bentuknya yang sekarang. Menara asli dengan atapnya yang bergaya Cina tidak dirobohkan.

(benny, dari berbagai sumber)

Friday, February 02, 2007

Cernak, BP 02 Februari 2007


Aku Tidak Pesek

Oleh Benny Rhamdani

“Farah! Jangan lewat lorong itu dulu!”

Aku menengok. Shirley berlari mendekatiku dengan napas tersengal.

“Tadi aku lihat Dave dan gerombolannya di sana,” bisik Shirley. Kulihat jepit berbentuk capung di rambutnya bergoyang..

“Biar saja. Aku tidak takut. Aku harus buru-buru ke kelas sebelum Mrs. Angel menghukumku.” Aku melanjutkan langkahku.

Shirley yang juga tidak mau terlambat masuk kelas langsung mengekor. Kami menyusuri lorong lantai satu menuju sayap kiri bangunan sekolah.

Dave adalah siswa kelas enam yang menyebalkan. Tubuhnya kurus seperti gagang sapu. Tapi dia anak orang kaya. Mungkin orangtuanya paling kaya dari semua orang kaya di Winston International School.

“Hai, pesek!” Dave langsung mengejek begitu melihatku. Dia berdiri di depan kelasnya. Hanya beberapa meter sebelum pintu kelasku.

“Pesek! Pesek!” beberapa anak lelaki di dekat Dave ikut meledek.

Ya, Allah … beri aku kesabaran. Kata Mama, aku tidak pesek. Paling tidak, hidungku tidak sepesek Mama. Ya, walaupun tidak semancung teman-temanku yang asli orang Inggris. Tapi sungguh, aku tidak mau punya hidung seperti mereka yang justru menakutkanku.

“Anak perempuan pendek, hidungnya pesek!” Dave makin kencang meledek.

DUG!

Entah kapan tepatnya. Tahu-tahu kepalan tanganku bersarang ke hidung Dave. Karena kerasnya, Dave sampai kesakitan. Dia malah lantas berguling-guling di lantai sambil menjerit.

Sepuluh menit kemudian …

Aku harus duduk tegak di depan Bapak kepala sekolah, Mr. Smith. Aku berusaha menikmati pidato panjang Mr. Smith berjudul “Pentingnya disiplin, larangan kekerasan di sekolah dan menghormati sesama teman”. Sebenarnya, judulnya mungkin akan lebih panjang dari itu kalau saja Ayah dan Ibu tidak buru-buru masuk ke ruangan Mr. Smith.

Ibu langsung menenangkanku. Ibu bicara dalam bahasa Inggris sebentar, lalu memakai bahasa Indonesia. Terus terang aku lebih suka mendengar Ibu berbahasa Indonesia. Meski aku lahir di London, memiliki ayah berkebangsaan Inggris dan aku sendiri berwarga negara Inggris, tapi aku merasa sebagian diriku orang Indonesia.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Ibu.

“Kurasa Dave yang apa-apa, Bu,” jawabku dengan bahasa yang sering kupakai di rumah bersama Ibu. “Tapi biar tahu rasa dia. Tadi Dave mengatai aku pendek dan pesek.”

“Ibu sudah bilang berulang kali, kamu tidak pendek dan pesek. Dia menghinamu karena iri. Lihatlah kulitmu yang bagus. Mereka tidak punya kulit sepertimu. Matamu biru seperti mata Ayah. Rambutmu perpaduan rambut Ibu dan Ayah. Semua di dirimu merupakan perpaduan yang indah antara Ibu dan ayah,” jelas Ibu sambil membetulkan letak kerudungnya.

Ayah masih bicara dengan Mr. Smith. Dengan bahasa Inggris tentu saja.

“Baiklah Mr. Edward, semoga kejadian ini tidak terulang lagi. Sampai jumpa!” Mr. Smith menjabat Ayah.

Ayah dan Ibu mengajak aku ke luar ruangan Mr. Smith.

“Hari ini kamu tidak usah sekolah dulu. Bermain saja di rumah,” kata Ayah kemudian.

“Apakah ini hukuman buatku dari Ayah?” tanyaku.

“Dari Ayah? Buat apa Ayah menghukummu? Ayah setuju sekali dengan apa yang telah kamu lakukan. Anak lelaki yang berani meledek anak perempuan itu sama dengan pengecut. Dan kamu berhak meninjunya. Hahahaha …!”

“Ayah ini bagaimana? Biar bagaimanapun berkelahi itu tidak baik,” potong Ibu.

“Aku tidak berkelahi. Aku hanya memukulnya sekali,” kataku.

“Uuuh, Ayah sama anak sama saja!” seru Ibu.

Aku dan Ayah tertawa.

Oh iya, aku harus bercerita sedikit tentang Ayah. Nama lengkap Ayah adalah Mr. Sam Edward. Ayah bekerja sebagai seorang diretur di sebuah perusahaan biro perjalanan. Dulu hobinya jalan-jalan. Kalau jalan-jalan sering tidak tanggung-tanggung. Bahkan sampai ke Indonesia. Itu sebabnya Ayah bisa bertemu ibuku, lalu mereka menikah.

Ayahku tinggi besar, bermata biru dan berkulit putih. Beliau sangat mencintai Ibu. Buktinya, Ayah mau beralih agama menjadi seorang muslim yang taat. Ayah sendiri yang meminta agar aku memanggil Ayah, bukan Dad.

Hm, tidak adil juga kalau aku tidak bercerita tentang Ibu. Menurutku, Ibu adalah wanita tercantik di dunia ini. Ibu masih sekolah sepertiku. Bedanya, Ibu sedang sekolah untuk mengambil gelar master di bidang komputer. Ibuku asli Orang Indonesia, tepatnya dari Bandung.

Kata orang wajahku mirip Ibu, tapi sifatku keras seperti Ayah. Nah, kalau kalian sendiri lebih mirip Ayah atau Ibu?

HORE, BP 4 Februari 2007


Pemain Musik di Musim Hujan

Musim hujan tiba. Hm, kalian suka mengamati suara-suara yang terdengar di alam, kan? Ya, ada beberapa hewan yang suka bermain musik lho. Tentu saja tidak sungguh-sungguh memainkan alat musik. Mereka hanya mengeluarkan suara yang berirama bersamaan seperti sebuah orkestrasi musik.

Nah, salah satu hewan yang sering bermain musik adalah katak (frog) dan kodok (toad). Keduanya adalah hewan amfibia yang paling dikenal orang di Indonesia. Anak-anak biasanya menyukai kodok dan katak karena bentuknya yang lucu, kerap melompat-lompat, tidak pernah menggigit dan tidak membahayakan. Hanya orang dewasa yang kerap merasa jijik atau takut yang tidak beralasan terhadap kodok.

Kedua macam hewan ini bentuknya mirip. Bertubuh pendek, gempal atau kurus, berpunggung agak bungkuk, berkaki empat dan tak berekor (anura: a tidak, ura ekor). Kodok umumnya berkulit halus, lembab, dengan kaki belakang yang panjang. Sebaliknya katak atau bangkong berkulit kasar berbintil-bintil sampai berbingkul-bingkul, kerapkali kering, dan kaki belakangnya sering pendek saja, sehingga kebanyakan kurang pandai melompat jauh. Namun kedua istilah ini sering pula dipertukarkan penggunaannya.

Dari Berudu

Kodok dan katak mengawali hidupnya sebagai telur yang diletakkan induknya di air, di sarang busa atau di tempat-tempat basah lainnya. Beberapa jenis kodok pegunungan menyimpan telurnya di antara lumut-lumut yang basah di pepohonan. Sementara jenis kodok hutan yang lain menitipkan telurnya di punggung kodok jantan yang lembab, yang akan selalu menjaga dan membawanya hingga menetas bahkan hingga menjadi kodok kecil.

Telur-telur kodok dan katak menetas menjadi berudu atau kecebong, yang bertubuh mirip ikan gendut, bernafas dengan insang dan selama beberapa lama hidup di air. Perlahan-lahan akan tumbuh kaki belakang, yang kemudian diikuti dengan tumbuhnya kaki depan, menghilangnya ekor dan bergantinya insang dengan paru-paru. Setelah masanya, berudu ini akan melompat ke darat sebagai kodok atau katak kecil.

Kodok dan katak berkembang biak pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada saat bulan mati atau pada ketika menjelang hujan. Pada saat itu kodok-kodok jantan akan berbunyi-bunyi untuk memanggil betinanya, dari tepian atau tengah perairan. Beberapa jenisnya, seperti kodok tegalan, kerap membentuk ‘grup musik’, di mana beberapa hewan jantan berkumpul berdekatan dan berbunyi bersahut-sahutan. Suara keras kodok dihasilkan oleh kantung suara yang terletak di sekitar lehernya, yang akan menggembung besar manakala digunakan.

Pembuahan pada kodok dilakukan di luar tubuh. Kodok jantan akan melekat di punggung betinanya dan memeluk erat ketiak si betina dari belakang. Sambil berenang di air, kaki belakang kodok jantan akan memijat perut kodok betina dan merangsang pengeluaran telur. Pada saat yang bersamaan kodok jantan akan melepaskan spermanya ke air, sehingga bisa membuahi telur-telur yang dikeluarkan si betina.

Makanan

Kodok dan katak hidup menyebar luas, terutama di daerah tropis yang berhawa panas. Makin dingin tempatnya, seperti di atas gunung atau di daerah bermusim empat (temperate), jumlah jenis kodok cenderung semakin sedikit. Salah satunya ialah karena kodok termasuk hewan berdarah dingin, yang membutuhkan panas dari lingkungannya untuk mempertahankan hidupnya dan menjaga metabolisme tubuhnya.

Hewan ini dapat ditemui mulai dari hutan rimba, padang pasir, tepi-tepi sungai dan rawa, perkebunan dan sawah, hingga ke lingkungan pemukiman manusia. Bangkong kolong, misalnya, merupakan salah satu jenis katak yang kerap ditemui di pojok-pojok rumah atau di balik pot di halaman. Katak pohon menghuni pohon-pohon rendah dan semak belukar, terutama di sekitar saluran air atau kolam.

Kodok memangsa berbagai jenis serangga yang ditemuinya. Kodok kerap ditemui berkerumun di bawah cahaya lampu jalan atau taman, menangkapi serangga-serangga yang tertarik oleh cahaya lampu tersebut. Sebaliknya, kodok juga dimangsa oleh pelbagai jenis makhluk yang lain: ular, kadal, burung-burung seperti bangau dan elang, garangan, linsang, dan juga dikonsumsi manusia.

Kodok membela diri dengan melompat jauh, mengeluarkan lendir dan racun dari kelenjar di kulitnya; dan bahkan ada yang menghasilkan semacam lendir pekat yang lengket, sehingga mulut pemangsanya akan melekat erat dan susah dibuka.

Cacat

Sudah sejak lama kodok dikenal manusia sebagai salah satu makanan lezat. Di rumah-rumah makan Tionghoa, masakan kodok terkenal dengan nama swie kee. Disebut 'ayam air' (swie: air, kee: ayam) demikian karena paha kodok yang gurih dan berdaging putih mengingatkan pada paha ayam. Selain itu, di beberapa tempat di Jawa Timur, telur-telur kodok tertentu juga dimasak dan dihidangkan dalam rupa pepes telur kodok.

Akan tetapi yang lebih mengancam kehidupan kodok sebenarnya adalah kegiatan manusia yang banyak merusak habitat alami kodok, seperti hutan-hutan, sungai dan rawa-rawa. Apalagi kini penggunaan pestisida yang meluas di sawah-sawah juga merusak telur-telur dan berudu katak, serta mengakibatkan cacat pada generasi kodok yang berikutnya.

(benny rhamdani)