Friday, July 01, 2011

CERNAK, 3 Juli 2011


Maurice


Oleh Benny Rhamdani

Liburan! Aku paling suka saat liburan tiba. Apalagi kalau diajak berlibur ke tempat Tante Norin. Rumahnya masih satu kota denganku. Tapi lebih ke tengah kota, tidak seperti aku yang tinggal di pinggiran.

“Sarah, kamu harus janji jangan sampai merepotkan Tante Norin ya,” pesan Ibu sebelum aku masuk ke mobil yang disupiri Ayah.

“Iya, Bu,” sahutku riang. Ya, tentu saja aku senang karena aku tidak jadi liburan di rumah dan selalu mendengar ucapan Ibu yang cerewet.

Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang. Ayah memang selalu hati-hati bila mengendarai mobil. Sebenarnya untuk kali ini, aku lebih suka Ayah menjalankan mobil lebih cepat. Biar aku lebih cepat sampai. Hehehehe.

Satu jam kemudian kami baru sampai. Aku langsung menyeret tas koperku turun. Tante Norin menyambutku ceria.

“Sarah, jadi juga liburan di sini. Tante pikir kamu mau ke Bandung lagi,” sambut Tante Norin.

“Ayah lagi nggak punya duit buat mengirim Sarah ke rumah Nenek di Bandung,” kataku sambil melirik Ayah.

Ayah hanya tersenyum. Obrolan singkat terjadi antara Ayah dan Tante Norin. Intinya, Ayah menitipkan aku berlibur seminggu di rumah adik Ayah ini. Setelah bicara tiga menit, Ayah langsung pamit karena harus bekerja.

Aku pun masuk ke rumah. Suasana di rumah sepi. Tante Norin tinggal sendiri di rumah. Suaminya, Paman Devan meninggal dunia beberapa bulan lalu. Putranya, Jova, dua bulan lalu kuliah di Bandung, tinggal bersama Nenek.

“Tante, hari ini ke Purple, kan?” tanyaku.

“Ya, tentu saja. Mau ikut?” ajak Tante Norin.

“Mau banget. Lagian, aku nggak mau di rumah seharian,” jawabku senang.

Purple adalah toko bunga milik Tante Norin. Dulu, Paman Devan yang mengurus.

“Kita berangkat jam sembilan ya. Setengah jam lagi. Sekarang simpan dulu kopermu ke kamar di depan. Tante juga mau siap-siap,” ucap Tante Norin.

Aku manggut-manggut dan menuju ke kamar tamu. Aku biasanya tidur di kamar ini jika menginap.

Tante Norin mengajak aku tepat waktu. Letak Purple hanya dua blok dari rumah. Jadi kami cukup berjalan kaki menuju ke sana. Tiba di depan Purple, aku melihat beberapa pekerja sedang sibuk melayani pembeli. Sejak dulu Purple memang banyak diminati pembeli bunga. Mulai dari tanaman bunga di pot, bunga potong sampai hiasan bunga. Ada tiga yang mengurusi kembang, satu lagi sebagai kasir, dan Tante Norin yang mengurus ini dan itu.

Aku senang berada di Purple. Soalnya aku juga senang bunga. Aku membantu sebisaku. Mulai dari merapikan pot-pot kecil, memotong bunga, sampai menjawab pertanyaan pelanggan yang datang.

“Ini bunga apa namanya?” tanya seorang ibu.

“Marigold,” jawabku.

“Wuah, kok bisa tahu?”

“Soalnya, aku suka baca buku tentang bunga-bungaan.”

Menjelang tengah hari aku melihat seorang pria seumur Ayah turun dari mobil mewah. Pakaiannya bagus sekali, berwarna biru cerah. Sepertinya dia baru pertma kali datang ke Purple. Bisa terlihat dari matanya yang kebingungan.

“Maaf, apakah di sini bisa mengantar bunga?” tanya bapak itu.

“Ya, bisa,” jawabku.

“Ke luar kota juga bisa?”

“Iya, asal jangan terlalu jauh. Nanti bunganya keburu layu.”

“Ah, hanya dua jam dari sini.”

Tante Norin mendekat. “Bunganya pilih yang mana?”

“Saya sendiri bingung. Hari ini ulang tahun ibu. Saya ingin mengirimnya seikat bunga. Tapi bunga apa ya?” Bapak itu benar-benar bingung.

“Bagaimana kalau mawar putih saja?” saran Tante Norin.

“Boleh kalau begitu.”

“Nanti saya pilihkan. Silakan ke kasir. Ada kartu ucapan di sana. Bapak bisa menulisn sesuatu di kartunya,” ucap Tante Norin.

Bapak itu mengikuti petunjuk tante Norin. Sementara Tante Norin mengurus pesanan bapak itu. Seikat mawar.

“Maaf, aku boleh tanya?”

Aku terkejut karena tiba-tiba ada yang mencolek bahuku. Seorang anak perempuan sebaya denganku berdiri di dekatku.

“Berapa harga sekuntum mawar di sini?” tanya anak perempuan itu.

“Tergantung. Kamu mau beli mawar merah atau putih. Lalu, kamu mau beli yang masih kuncup atau yang sudah mekar. Dan kurasa, di sini tidak menjual satu kuntum,” jawabku.

“Uangku tidak banyak, tapi aku ingin membeli bunga mawar untuk hadiah ulang tahun ibuku,” kata anak perempuan itu. Dia mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu.

Ah, gimana ya? Masa kubilang tidak cukup? Pasti dia sedih. “Tunggu sebentar ya. Mudah-mudahan Tante Norin mau menjual bunga mawar dengan harga segitu,” kataku.

Beberapa menit kemudian Tante Norin mengantar bapak berpakain biru tadi ke luar. Aku mencegatnya di pintu toko.

“Tante, anak perempuan ini ingin membeli mawar, tapi uangnya hanya sepuluh ribu,” kataku. :Hari ini ibunya berulang tahun.”

“Oh, ulang tahun ibumu sama dengan ulang tahun ibu saya. Biar aku saja yang membelikan mawar untuk ibumu,” kata bapak itu. Dia membayar seharga seikat mawar putih, bukan sekuntum.

Anak perempuan itu senang sekali ketika menerima seikat mawar putih. “Terima kasih,” katanya.

“Siapa namamu?” tanya Tante Norin.

“Maurice.”

“Maurice, sampaikan salamku untuk ibumu ya,” ucap tante Norin.

“Hei, biar kuantar kamu sekalian,” kata bapak bermobil mewah itu. Maurice mengikutinya.

Aku bernapas lega karena melihat Maurice bahagia. Aku pun kembali melakukan hal-hal yang kusuka di Purple. Tak berapa lama kemudian mobil mewah yang tadi kembali parkir di depan Purple. Bapak berpakain biru pun turun. Dia langsung mencari Tante Norin. Aku penasaran apa yang terjadi.

“Maaf, saya ingin membatlkan pengirman bunga mawar untuk ibu saya,” kata bapak itu.

“Kenapa memangnya, Pak?” tanya Tante Norin.

“Hati saya terketuk setelah mengantar anak perempuan tadi. Ternyata dia mengantar hadiah bunganya itu ke kuburan ibunya. Dia sepertinya sedih sekali karena tidak bisa memberi langsung bunga itu dan mengucap langsung kepada ibunya selamat ulang tahun. Sedangkan saya … saya masih punya ibu yang masih hidup … dan saya malah menyuruh orang lain mengantar hadiah untuknya. Tidak …”

Akuikutan sedih.

“Biar aku yang akan mengantar sendiri bunga mawar putih untuk ibu saya di ulang tahun beliau. Saya juga ingin mengucapkan selamat ulang tahun untuknya langsung,” kata bapak itu.

Tante Norin kemudian menyerahkan setangkup mawar putih yang dibungkus rapi. Bapak itu kemudian pergi dengan wajah senyum.

Aku tidak tahu apa yang telah terjadi sesungguhnya. Tapi tiba-tiba saja aku juga ingin memberikan sekuntum bunga mawar putih untuk Ibu jika kembali ke rumah nanti.

^_^

No comments: