Friday, April 04, 2014

Cernak, 6 April 2014




Tamu Istimewa



Pernahkah kamu kedatangan seorang tamu istimewa? Maksudku tamu yang membuatmu sepanjang hari kerepotan untuk melayaninya. Sampai-sampai kamu harus membatalkan niat untuk berlibur bersama teman-temanmu. Nah, hal seperti itu sedang kualami saat ini.
       Nama tamu itu Asti. Ia tidak pernah Kukenal sebelumnya. Ia adalah putri teman Ayah di Jakarta. Asti dititipkan ayahnya selama beberapa hari di rumahku di Bandung untuk mengisi liburan. Mulanya aku merasa senang kedatangan seorang tamu. Tetapi baru sehari ia tinggal di rumahku, rasa senangku berubah.
       Ulah pertama yang membuatku kesal adalah saat Asti kuajak ke kamarku. Begitu masuk ia langsung berkomentar, "Wah, kamarmu kok seperti kapal pecah, Tris?!" Mukaku merah seketika. Apalagi waktu itu Ibu berada di dekatku.
       "Ibu kan sudah mengingatkanmu untuk merapikan kamar sejak kemarin," tegur Ibu sambil memandang ke arahku
       "Tris sudah bereskan. Tadi Tris habis mencari kunci laci dan belum sempat Tris bereskan," aku memberi alasan dengan jujur.
       Aku cuma tersenyum kecut menanggapi hal itu. Untung Ibu sudah meninggalkanku. Selanjutnya aku harus menemaninya setiap saat. Aneh-aneh saja permintaannya. Minta di temani memanjat pohon jambu, minta ditemani nonton teve hingga larut malam, dan minta dibangunkan pagi-pagi sekali.Oh, hal-hal yang tidak pernah kulakukan sebelumnya.
       "Sekali-kali dibuat repot ya tidak apa-apa, Tris," ujar Mbak Mita tatkala aku mengadukan ulah Asti itu diam-diam. "Lagipula ia tinggal di sini kan tidak lama."
       "lya, tapi sampai kapan ia disini? Terus terang Tris sudah tidak tahan dengan ulahnya," sungutku kesal. Kutinggalkan Mbak Mita begitu saja. Percuma, aku toh tidak dapat pembelaan darinya. Huh!
       "Prang!"
       Langkah kakiku tercekat mendengar suara yang mengejutkan itu. Kubalikkan badanku menuju sumber suara itu. Ya, datangnyadari kamarku. Betapa terkejutnya aku, ketika melihat Asti tengah berdiri sambil tersenyum ke arahku. Di dekatnya berhamburan
pecahan patung porselen kesayanganku.
       "Kenapa kaupecahkan patungku?" teriakku tanpa dapat menahan lagi kesabaranku.
       "Maaf, Tris. Sungguh aku tidak sengaja. Aku tadi mau mengambil patung itu untuk kulihat-lihat."
       "Ya, tapi kau kan bisa berhati-hati sedikit, As...."
       "Tris, ada apa sih kok sampai teriak-teriak begitu?" tegur Mbak Mita yang menyusul ke kamarku.
       "Lihat saja sendiri di lantai," jawabku ketus sambil duduk di atas tempat tidur dan menekuk bibirku.
       "Cuma patung saja..."
       Aku menghela napas kesal. "Mbak Mita bisa saja berkata cuma. Tapi harga patung itu mahal sekali," timpalku. Aku sendiri tidak akan mungkin mampu membelinya. Patung itu adalah hadiah dari Om Wim waktu ulang tahunku yang kesebelas bulan lalu.
       "Ya, sudah! Nanti bilang saja pada Om Wim.biar dibelikan gantinya. Sekarang bersihkan dulu pecahan itu agar tidak terinjak."
       Aku kembali menggerutu dalam hati. Yang memecahkan bukan aku, tetapi yang repot membersihkannya aku juga. Uh, sampai kapan tamu ini akan tinggal di sini.
       Beres membersihkan lantai, aku sengaja tidak kembali ke kamar. Aku masih enggan untuk menemani Asti. Tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. Ketika makan siang, aku mesti kembali memasang muka ramah terhadap Asti di depan Ayah, Ibu, dan Mbak Mita.
       "Kriiiing!" Telepon di sudut ruang tengah berbunyi nyaring. Tanpa memberi kesempatan telepon itu berdering dua kali, Mbak Mita sudah mengangkat gagang telepon.
       "Interlokal dari Ayah di Jakarta, As!" kata Mbak Mita seraya menyerahkan gagang telepon pada Asti.
       Kuperhatikan gaya bicara Asti di telepon. Ada keceriaan di wajahnya ketika meletakkan gagang telepon.
       "Besok Ayah akan menjemput Asti pulang," katanya tanpa ditanya.
       Uuh, betapa senangnya aku mendengar kabar itu. Bukankah berarti aku tidak akan mendapat gangguan lagi selama liburan ini. Ya, ya, rasanya aku mendadak tidak sabar menunggu datangnya hari esok.
       "Om, sore ini Asti minta izin jalan-jalan ke pertokoan. Asti ingin beli oleh-oleh," pinta Asti pada Ayah.
       "Biar aku yang mengantar," kataku menyela. Kulihat Mbak Mita memandangku heran.
       "Aku senang sekali mendengarnya," timpal Asti.
       Biarlah, aku juga dengan senang hati melakukannya. Bukankah besok ia sudah kembali ke Jakarta.
       Sore harinya kami pergi ke pusat perbelanjaan. Aku tidak terus menguntitnya, terkadang kami berpisah. Ketika bertemu lagi, kulihat Asti tengah kerepotan dengan barang-barang yang dibelinya.
       Sesuai yang dipesan tadi, Ayah menjemput kami sekitar pukul lima. Di rumah Asti mengemasi barang belanjaannya. Ia menolak ketika aku menawarkan bantuan.
       "Tidak usah, terima kasih, Tris! Kau sudah berbuat baik kepadaku selama aku di sini," kata Asti.
       Malamnya, tidak seperti biasa, Asti tidur lebih awal dari biasanya. Aku ikut tertidur tak lama kemudian.
       Ketika bangun, aku tidak melihat Asti di tempat tidur. Aku bergegas mandi. Kulihat di ruang tengah ada Ayah, Ibu, Asti serta Om Tanto, ayah Asti. Aku tidak menyangka kalau Asti akan dijemput ayahnya sepagi ini.
       "Nah, itu Tris sudah selesai mandi," sapa Asti ketika melihatku. "Tris, aku pamit pulang. Terima kasih atas kebaikanmu selama aku di sini. Liburan yang akan datang, aku mengundangmu ke rumahku."
       "Ya, kalau Ayah mengizinkan," sahutku.
       Dibantu Ayah, Asti segera membawa barangnya ke mobil. Kami ikut berjalan ke luar.
ilustrasi : clipart
       "Sebentar, Yah. Ada yang ketinggalan di dalam." Asti berjalan cepat kembali ke rumah. Tak lama ia kembali tanpa membawa apa-apa. "Oh, ternyata tidak tertinggal kok."
       Mobil sedan berwarna putih itu kemudian meluncur. Aku terus melambaikan tangan hingga mobil itu tidak tampak. Setelah itu aku segera kembali ke kamar. Ufh! Aku terkejut ketika melihat sebuah patung porselen yang sama persis seperti milikku di atas mejaku.
       Segera saja kubaca surat itu.
       'Tris, maafkan aku bila selama aku di sini banyak merepotkanmu. Ini karena hatiku sedang kesal. Tadinya aku sudah merencanakan liburan ini pergi berkemah bersama teman-temanku. Tapi, Ayah tidak mengizinkanku. Namun, akhirnya aku sadar bahwa mestinya aku mematuhi larangan Ayah. Kalau kau bisa membatalkan rencana liburanmu, kenapa aku tidak.
       Tentang patungmu yang pecah, sekali lagi aku minta maaf. Aku ganti dengan yang baru. Kebetulan Ayah membekali aku uang agak lebih.
       Terima kasih, Tris. Jangan lupa konfirmasi permintaan teman Facebookku ya..
       Asti.
       Aku terharu membaca surat itu. Ternyata Asti benar-benar tamu istimewa pada liburanku saat ini. Tiba-tiba saja, aku merasa kehilangan seorang teman yang walau mengesal kan tetapi menyenangkan.***

No comments: