Thursday, December 25, 2014

Cernak, 28 Desember 2014





Kue Stroberi


Kejutan paling awal kudapatkan tahun ini adalah Papa memutuskan kami sekeluarga pindah ke kota lain. Tepatnya ke Bandung. Tentu saja aku bingung.

“Untuk apa pindah ke Bandung? Nenek sudah meninggal tahun lalu,” tanyaku heran. Dulu, sewaktu Nenek masih hidup, aku ingin sekali pindah ke Bandung. Rasanya senang sekali bisa tinggal bersama Nenek. Tapi aku hanya bisa tinggal sekali dalam setahun. Itu pun dalam liburan yang singkat.

“Cindy, justru itulah kita harus pindah. Nenek menginginkan Papa meneruskan usaha toko kue Nenek yang sudah maju di Bandung,” jelas Papa.

“Lalu bagaimana usaha toko kue dan restoran Papa di Palembang ini?” tanyaku.

“Nanti akan diurus oleh Om Dave,” jawab Pap sambil melirik Mama.

Om Dave adalah adik Mama. Keluarga Mama asli Palembang, sedangkan keluarga Papa asli dari Bandung.  Papa mengenal Mama ketika Mama kuliah di Bandung. Setelah berkeluarga, Papa ikut Mama ke Palembang. Itu sebabnya aku lahir di Palembang.

“Tapi toko kue nenek sudah diurus sama Tante Lia?” tanyaku. Tante Lia adalah adik Papa di Bandung.

“Tante Lia akan meneruskan kuliahnya di Amerika. Lagipula Tante Lia tidak suka mengurus toko kue,” jawab Papa.

Akhirnya, aku mengerti mengapa kami harus pindah.  Ya, aku juga tidak ingin toko kue Nenek akhirnya tidak terurus. Padahal aku ingat sekali, Nenek sangat senang dengan  toko kuenya itu.

Seminggu kemudian kami pindah ke Bandung. Menempati  rumah Nenek. Sekolahku tentu saja pindah juga. Artinya, aku mendapat banyak teman baru di Bandung. Tapi aku tidak melupakan teman-temanku di Palembang. Aku masih suka kirim-kirim SMS ataupun e-mail.

Ada seorang anak yang menyebalkan di sekolah baruku. Namanya Willy. Dia selalu meledekku dengan sebutan anak tukang kue. Hm, di Palembang juga dulu aku pernah disebut begitu. Jadi aku tidak mau meladeninya.

“Lagi pula jadi anak tukang kue itu bukan hal yang jelek. Papa juga anak tukang kue. Tapi di sekolahnya dulu pintar. Semua anak Nenek bisa sekolah tinggi meskipun anak tukang kue,” hibur Mama kala itu.

Suatu kali aku membawa beberapa kue ke sekolah. Papa yang meminta.

“Bagikan ke teman-temanmu,” kata Papa.

Aku pun membagikan ke teman-teman di kelas.  Willy pun tetap aku beri. Tapi  dengan sombongnya dia menolak.

“Ah, pasti itu kue basi yang tidak laku di toko, kan?” katanya.

Uuh, aku ingin sekali melempat kue-kueku ke mukanya. Tapi aku masih bisa bersabar. “Ini baru dibuat tadi pagi. Papaku sendiri yang membuatnya,” kataku.

“Mana mungkin kue baru dibagi-bagikan. Nanti bangkrut toko kuemu itu,” ledek Willy lagi.

“Kalau tidak mau ya sudah. Tapi jangan menghina begitu dong,” kataku sambil melewatinya.

Aku sebenarnya bisa balas mengatainya. Aku tahu, ayah Willy adalah pemillih sebuah bengkel mobil. Bengkel yang besar. Tapi tentu saja aku bisa mengatainya anak tukang bengkel. Tapi buat apa mengatai orang. Mama dan Papa paling tidak suka kalau aku membalas keburukan orang dengan keburukan lagi.

Suatu hari saat akhir pekan, aku tidak punya acara jalan-jalan. Aku memutuskan membantu Papa dan Mama di toko kue. Sebenarnya sudah ada lima pelayan di toko kue. Tapi aku sangat senang membantu di toko kue. Apalagi saat ramai di akhir pekan. Kota Bandung memang selalu penuh oleh wisatawan di akhir pekan.

Saat siang, tanpa sengaja aku melihat Willy di halaman parkir. Oh, sedang apa dia? Aku melihat Willy tidak sendirian, tapi dengan ayahnya. Kulihat ayahnya seperti mengajak Willy masuk, tapi Willy tak mau. Aku tahu sebabnya dia tak mau masuk. Pasti malu ketemu dengan aku.

Aku pun berjalan menuju halaman parkir.

“Hai, Willy!” sapaku. “Selamat siang, Om!”

Willy kaget melihatku. Ayahnya juga begitu.

“Silakan masuk, Om.  Kuenya masih ada, kok.”

“Kamu temannya Willy?” tanya ayah Willy.

“Iya, Om. Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku.

“Om mau beli kue sus stroberi. Tapi Willy tidak mau masuk.”

“Oh, biar saya temani Willy, Om. Sepertinya kuenya masih ada,” kataku.

Ayah Willy masuk ke toko. Aku melirik ke arah Willy yang masih merengut. Tak lama kemudian Ayah Willy keluar dengan keranjang kue.

“Untung kuenya masih ada,” kata Ayah Willy.

“Buat siapa kuenya, Om?”

“Mama Willy lagi ngidam pengen sus stroberi. Dulu juga waktu mengandung Willy, mama Willy juga ngidam yang sama. Makanya Willy juga suka kue sus stroberi. Malah paling rakus. Biasanya kalo diajak ke sini paling girang dia. Tapi hari ini kok malas,” kata Ayah Willy.

Aku tersenyum mengangguk. Mereka pun pergi dengan mobil mereka.

Senin paginya, di sekolah aku mulai merasakan Willy mulai berubah. Dia tidak memanggilku anak tukang kue lagi. Mungkin dia malu, karena walaupun sering meledekku, diam-diam dia adalah penggemar kue di toko kue kami.

^_^

No comments: