Saturday, January 06, 2007

Cernak, BP 7 januari 2007


Saat Bersama Papa

Oleh Benny Rhamdani

Bel pulang sekolah berbunyi. Tiga menit kemudian seluruh murid Teladan keluar dari kelas mereka. Termasuk Pritha.

“Pritha, nanti kamu benar-benar tidak bisa datang ke ulang tahunku?” tanya Winda yang berjalan di samping Pritha.

“Iya, maafkan aku, ya. Nanti kadonya aku berikan Senin,” jawab pritha dengan muka menyesal.

“Aku bukan perlu kadonya. Aku ingin kamu datang. Aku ini kan sahabatmu. Masa ulang tahun sahabatmu tidak mau datang sih?” Winda tak mau terima.

Pritha bingung menjelaskannya. Ia ingin bercerita tentang dirinya, tapi ia takut nanti rahasia itu terbongkar lalu teman-temannya menjauh. Atau malah mungkin mengejeknya.

“Pokoknya usahakan datang ya,” paksa Winda.

“Ya, Insya Allah,” ucap Pritha pelan. Kemudian Pritha berjalan cepat ke luar gerbang. Di sisi jalan Mama sudah menunggunya di mobil. Mama masih mengenakan baju kerja. Pasti sengaja menjemputnya di waktu istirahat kantor.

Mama tersenyum sambil melirik jam di tangannya. “Agak sedikit cepat ya. Waktu istirahat Mama tidak lama. Mama harus kembali ke kantor setelah menjemputmu,” kata Mama.

Pritha buru-buru duduk di samping Mama sambil tersenyum. Pritha tidak ingin menunjukkan rasa sedih yang kadang muncul di hatinya. Ya, ia ingin tetap tersenyum seperti biasanya. Seperti sebulan lalu, saat Mama dan Papa masih tinggal bersama. Saat belum bercerai seperti sekarang.

Inilah sebenarnya rahasia Pritha. Mama dan Papa telah bercerai dua minggu lalu. Keduanya tidak lagi serumah. Pritha juga harus berpisah dari Papa karena kata mama, Pritha sudah ditetapkan harus ikut mama.

Pritha tidak tahu apa sebabnya Papa dan Mama berpisah. Tapi sebelum mereka berpisah, Pritha sering melihat keduanya bertengkar. Terutama setelah berbulan-bulan Papa tidak bekerja, sementara Mama terus bekerja.

Tentu saja Pritha sedih dengan keadaan ini. Pritha tak pernah membayangkan Mama dan Papa berpisah. Tapi sekarang harus dijalani.

“Mungkin ini yang terbaik buat kita semua,” kata Kakek dan Nenek yang menghibur setelah Pritha nangis seharian saat itu.

“Sudah sampai. Heh, pasti melamun lagi! Mama sudah ingatkan, jangan suka mikirin Papa. Nanti kamu jadi sedih terus,” kata Mama.

Pritha baru sadar sudah tiba di depan rumah. Ia pun turun menuju ke dalam rumah, semntara Mama langsung kembali ke kantor.

Di rumah Pritha merasa kesepian. Hanya ada Bik Ijah. Tapi Bik Ijah lagi sibuk di dapur. Pritha kemudian membaca beberapa buku koleksinya. Di salah satu buku, Pritha menemukan selembar foto masa kecilnya saat digendong Papa. Pritha jadi tak sabar menunggu sore tiba. Ya karena setiap hari Sabtu sore, Pritha boleh bertemu papa dan pergi kemana pun hingga Minggu sore.

Tepat pukul lima Mama pulang ke rumah. Tak lama berselang papa datang ke rumah bertamau. Rasanya aneh juga melihat papa datang. Dulu papa tinggal di rumah itu. Tapi sekarang bersikap seperti seorang tamu.

Setelah pamitan dengan Mama, Pritha pun pergi dengan papa. Hm, tentu saja tidak dengan mobil seperti kalo bepergian dengan Ibu. Kalau jalan-jalan sama Papa pritha hanya naik motor.

“Hari ini kita ke mana?” tanya Pritha.

“Kita ke sebuah tempat yang asyik,” kata Papa.

Meski tidak mengerti tempat yang dimaksud papa, Pritha mengangguk setuju.

Dan teryata papa mengajak Pritha ke sebuah panti asuhan. Ya, sebuah tempat bagi anak-anak telantar.

“Untuk sementara waktu, Papa bekerja di tempat ini. Kebetulan yayasan tempat ini punya teman Papa,” kata Papa menejlaskan.

Pritha lalu berkenalan dengan para penghuni panti. Ada beberapa anak sebaya dengannya tapi banyak juga yang masih kecil atau balita. Bahkan ada yang masih. Dan mereka itu ternyata tidak punya orangtua.

Pritha melihat wajah mereka tidak ada kesedihan walau tinggal di panti asuhan. Mereka tetap ceria. Mereka juga tidak malu menyebutkan diri mereka tidak berayah dan beribu. Mereka sudah menerima keadaan mereka apa adanya.

Sesaat Pritha menarik napasnya. Dia memanjatkan rasa bersyukur kepada Tuhan, karena sampai kini dia masih memiliki orangtua. Ya, walaupun mereka bercerai, tapi Pritha masih memilikinya. Pritha tidak bisa membayangkan jika saat ini menjadi anak yatim piatu.

“Pritha, kenapa sedih?” tanya papa.

Pritha buru-buru tersenyum. “Ah, Pritha Cuma terharu berada di tempat ini. Sebuah tempat yang membuat Pritha jadi lebih bersyukur karena masih punya Papa dan mama,” kata Pritha.

Beberapa menit kemudian, pritha kaget ketika melihat sebuah mobil masuk ke halaman parkir panti asuhan. Itu adalah mobil orangtua Winda. Lalu, Pritha melihat Winda turun dari mobil bersama orangtuanya. Mau apa ya mereka.

“Oh itu Neng Winda. Dia dulu adalah anak panti di sini. Tapi umur lima tahun diangkat oleh Pak Suryo jadi anaknya. Kebiasaannya, setiap ulang tahun dia pasti datang ke sini membawakan hadiah kado drai teman-temanna untuk anak-anak di panti,” jelas Bu Darma, seorang pengasuh di panti.

Winda terkejut melihat pritha. Tapi tanpa diminta Winda langsung menceritakan tentang dirinya. Dia tidak malu menceritakan bahwa dirinya adalah anak ankat dari panti asuhan.

Setelah itu gantian Pritha yang berceita bahwa papanya bekerja di panti itu. Pritha juga bercerita bahwa ia tidak bisa datang ke ulangtahun Winda karena sore ini dia ingin bersama Papa. Karena sejak bercerai, Pritha hanya bisa ketemu Papa di akhir pekan.

“Wah, ternyata kita sama-sama punya raasia ya?” kata Pritha dan winda kemudian.

Keduanya tertawa. Persahabatan mereka semakin bertambah erat.

^-^

No comments: