Friday, September 26, 2008

CERNAK, 28 September 2008


Menjelang Lebaran

Oleh Benny Rhamdani


Matahari bersinar terik. Fitri ingin cepat sampai di rumah. Kalau saja tak disuruh Ibu, Fitri lebih baik membaca buku seharian di kamar sambil menunggu waktu berbuka puasa tiba.


“Fitri!”


Fitri menengok seketika karena namanya dipanggil. “Lho, Iren, kamu nggak puasa?” tanya Fitri kaget karena melihat Iren memegang minuman kaleng.


Iren menggeleng. “Panas begini, aku nggak kuat,” jawab Iren.


“Wah, sayang banget. Puasanya kan tinggal dua hari lagi.”


“Hmmm, segar ….!” Iren menyedot isi kaleng minuman segarnya. Lalu dia bertingkah seolah sedang bermain iklan minuman segar. Padahal, niatnya memang menggoda Fitri.


“Aku pulang dulu ya!” Fitri berbalik sebelum dirinya tergoda.


“Kamu beneran nih nggak mau batalin puasa? Aku masih punya dua kaleng segar lagi lho,” tanya Iren.


“Nggak. Terima kasih.” Fitri buru-buru berjalan menuju ke rumah. Dia kesal terhadap Iren. Sudah tahu sedang panas-panasnya, malah digoda untuk batal dengan minuman kaleng segar.


“Lho, kok pulang-pulang mukanya cemberut. Nggak suka yang dimintai tolong sama Ibu mengantar kue ke rumah Bu Syaiful?” tanya Ibu.


“Bukan begitu, Bu. Fitri lagi kesal nih. Sedikit sih.” Fitri lalu menceritakan pertemuannya dengan Iren tadi.


Ibu tersenyum usai Fitri bercerita. “Wah, Ibu bangga Fitri berani menolaknya. Itu baru namanya anak ibu!” kata Ibu.


“Iiih, Ibu. Memangnya kalo bukan anak Ibu, Fitri anak dakocan?” gurau Fitri. Akhirnya, setelah berbagi cerita dengan Ibu, Fitri bisa menghapus rasa kesalnya.


Oow, tapi ternyata malam harinya Fitri kembali bertemu Iren. Tepatnya, ketika Fitri akan shalat tarawih ke masjid seorang diri karena Ibu sedang berhalangan shalat.


“Fitri! Kamu mau ke mana?” tanya Iren mencegatnya bersama Cika dan Intan. Kali ini Iren naik sepeda.


“Ya, tarawih dong. Masa aku bawa mukena dan sajadah begini mau nonton batman?” timpal Fitri.


“Ih, masjidnya kan udah sepi. Udah nggak musim tarawih lagi. Menidngan juga keliling-keliling kompleks pakai sepeda,” kata Iren.


“Kata ibuku, justru makin mendekati akhir ramadhan kita harus makin rajin ibadah apa saja. Soalnya, cuma di bulan puasa ini pahala yang kita dapatkan bisa berlipat-lipat,” kata Fitri.


“Ih, omonganmu kok kayak penceramah sih?” tanya Cika.


“Aku sih tergantung sama siapa ngomongnya. Kalo emang perlu diceramahin, ya aku ceramahin,” kata Fitri.


“Sok tua dan sok tau kamu!” ledek Intan cekikikan. Mereka bertiga kemudian mengayuh sepeda berlawanan arah dengan Fitri.


Tiba di masjid Fitri langsung mengambil tempat khusus wanita. Suasana masjid tak seramai awal bulan puasa. Entah kenapa ya? Tidak cuma anak-anak. Tapi juga wanita dewasa dan lelaki dewasa. Padahal setahu Fitri, di kompleknya hanya sedikit yang mudik.


“Dulu sewaktu paman kuliah di Kairo Mesir, makin mendekati akhir bulan Ramadhan, masjid-masjid justru semakin ramai. Orang-orang takut kehilangan bulan ramadhan. Kalo di sini, orang malah makin malas taraweh. Malah sibuk belanja baju smapai malam, atau datang ke acara buka puasa di kafe atau restorn tapi meninggalkan masjid,” tutur Paman Ilham beberapa waktu lalu ketika main ke rumah.


Biarpun hanya sedikit yang datang, aku tidak boleh ketinggalan taraweh yang tinggal dua nmalam lagi, tekad Fitri.


Fitri pun berusaha mendengarkan ceramah taraweh seperti biasa dan shalat taraweh seperti biasanya pula. Usai taraweh Fitri langsung pulang ke rumah. Tapi di tengah jalan ia dikejutkan suara merintih.


“Fitri …. Tolongin aku dong!”


Fitri melihat Iren tergeletak di parit komplek dengan sepedanya. Jalanan di sekitar komplek beberapa menurun dan berlobang. Penerangan juga tidak terlalu terang. Fitri buru-buru menghampiri Fitri dan membantunya berdiri.


“Cika dan Intan mana?” tanya Fitri sambil melihat-lihat luka di tubuh Iren.


“Mereka kabur begitu aku nyusruk ke parit.”


“Huh, dasar tidak setia kawan! Ayo, aku bantuk pulang ke rumahmu. Kamu kupapah ya. Sepedanya dibiarin di sini dulu,” usul Fitri.


“Jangan, Fit. Nanti aku dimarahin sama mamaku. Mendingan ke rumahmu dulu saja. Rumahmu kan dekat,” tolak Iren.


Fitri memenuhi keinginan Iren. Dia membawa Iren ke rumah. Ibu yang mengetahui Iren celaka, segera mengobati luka Iren. Menurut Ibu, luka Iren tak parah. Hanya sedikit lecet dan memar.


Bang Iirman yang baru pulang dari taraweh segera diminta Fitri mengambil sepeda Iren. Bang Irman kemudian melihat sepda Iren. Tidak ada yang rusak. Hanya ada beberapa goresan.


Tak lama kemudian Ayah pulang dari dinas. Melihat Iren tak kuat berjalan pulang Ayah memutuskan mengantar Iren dengan mobil.


“Aduh, aku jadi malu telah merepotkan keluargamu begini,” kata Iren kepada Fitri.


“Nggak apa-apa.Saling menolong itu kan wajib,” kata Fitri.


“Bukan apa-apa. Aku juga malu karena tadi siang menggoda puasamu, lalu mengejekmu sewaktu mau taraweh. Eh, sekarang malah nolong aku.”


“Hihihihi, sudahlah. Jangan diingat-ingat kalo malu.”


“Kalo gitu, maafin aku ya. Lebaran memang dua hari lagi. Tapi aku ingin minta maaf sekarang,” kata Iren.


Fitri tersenyum. Kira-kira Fitri mau maafin Iren atau nggak ?

^-^




No comments: