Bola Belalang
Oleh Benny Rhamdani
“Kak, apakah aku boleh ikut main bola?” tanya Mika sambil berdiri di pintu kamar Rio.
“Main bola? Kamu kan perempuan,” sergah Rio yang sedang bersiap latihan sepak bola.
“Memang kalo anak perempuan nggak boleh main bola, ya? Tapi di Internet aku lihat banyak kok kesebelasan sepakbola perempuan,” kata Mika.
“Ya, mereka punya tim sendiri. Kalo kamu nggak punya. Masa anak perempuan main bola campur sama anak lelaki?” kata Rio.
Mika menggerutu dalam hati. Kesal karena tak bisa bermain dengan kakaknya bersama timnya.
“Kalau mau lihat yang latihan ya lihat saja,” tambah Rio sambil membawa tasnya. “Kalau mau lihat bareng aku.”
Mika menggeleng. Dia berjalan sambil menarik ujung kaos sepak bola yang dipakainya.
“Kenapa, Mika? Kok lesu?” tanya Ibu yang melihat di ruang tengah.
“Mika pengen main bola sama Kak Rio. Tapi Kak Rio nggak mau,” jawab Mika.
“Kamu main blanya di video game saja kalo begitu,” saran Ibu.
“Nggak asyik. Kalo di lapangan lebih asyik,” kata Mika sambil berjalan ke kamar. Baru beberapa menit membuka-buka komik sepak bola, Mika memutuskan untuk pergi ke lapangan sepak bola, melihat Rio latihan.
Di lapangan, Mika duduk di pinggir lapangan. Di sana ada tempat duduk penonton. Seperti biasa, Mika datang menonton lengkap dengan menggunakan pakaian layaknya anak yang akan bermain sepak bola. Mulai dari pakaian sampai sepatu. Mika membelinya dari tabungan sendiri karena dia suka sepak bola.
Mika mengamati tim kakaknya berlatih. Tentu saja ada seorang pelatih yang benar-benar menguasai sepak bola. Mika sering memerhatikan hal yang diajarkan pelatih itu, lalu Mika mencobanya di halaman rumah.
Di sekolah, Mika juga pernah selalu bermain sepak bola dengan teman-teman lelakinya. Tak adfa satu pun teman perempuannya yang suka main sepak bola.
“Hah? Nggak ah, nanti rambutku rusak,” kata Irene.
“Kulitku bisa hitam nanti,” sahut Dena.
Yang lain juga sama-sama menolak diajak Mika main sepak bola. Jadinya, Mika main bergabung dengan teman laki-laki sekelasnya. Cuma menurut Mika permainan mereka tidak sehebat Rio dan timnya.
Mika menghela napas. Dia memerhatikan latihan bola di depannya. Melihat gerak dengan seksama. Sampai tiba-tiba bola ditendang keluar dan menuju ke arah Mika. Buru-buru Mika menangkapnya. Dia kemudian menyerahkan bola itu dengan menendangnya lalu jatuh tepat di depan Rio.
Mika kembali duduk dan melihat latihan di depannya. Dia merasa senang karena bisa menendang bola. Saat latihan usai, Mika melihat Rio memanggilnya. Buru-buru Mika menghampiori kakaknya yang sedang berdiri di samping pelatihnya.
“Kenalkan ini Om Irfan,” kata Rio.
Mika menyalami Om Irfan.
“Tadi aku sudah bilang sama Om Irfan tentang kamu. Om Irfan bilang, tim ini tidak bisa memasukan anak perempuan,” kata Rio.
Mika kecewa.
“Tapi Om Irfan tahu klab sepak bola untuk anak perempuan. Om Irfan malah kenal sama pelatihnya,” kata Rio lagi.
Mika terbelalak senang. “Siapa? Di mana?” Mika girang.
“Isteri saya. Dia pelatih sepak bola klab sepak bola perempuan. Kalau mau lihat, ikut saja sekarang ke klab mereka dengan saya,” ajak Om Irfann.
Mika bersemangat ketika Rio mengangguk. Akhirnya Mika dan Rio menumpang mobil Om Irfan. Mereka berangkat ke seuah lapanga bola sekitar sepuluh kilo meter dari rumah mereka.
Saat masuk ke lapangan, Mika melihat beberapa anak perempuan tengah pemanasan. Om Irfan segera mengenalkan Mika kepada isterinya, Tante Tria.
“Jadi kamu pengen gabung?” tanya Tante YTria.
“Iya,” jawab Mika.
Tante Tria mengizinkan. Mika malah diminta langsung bergabung latihan. Wuah betapa senangnya Mika.
“Nah, sekarang pemanasannya adalah rolling. Kalian bergelinding di lapangan sebanyak sepuluh kali,” teriak Tante Tria.
Mika mengikuti perintah itu. Tapi baru dua jupalitan, tiba-tiba dia merasa ada yang aneh di lehernya. Sesuatu yang bergerak-gerak.
“Huaaa! Belalang!” teriak Mika sambil jingkrak-jingkrakan.
Tante Tria buru-buru menepis belalang di leher Mika. Se,mentara anggota lainnya malah cekikikkan.
“Masa mau main bola takut sama belalang?” bisik suara di dekat Mika.
Mika jadi malu. Dia bukannya takut, tapi geli dengan belalang.
Rio kemudian menghampiri Mika. “Gimana? Masih mau main bola atau nggak?” tanya Rio.
“Mau. Tapi latihannya jangan di rumput yang ada belalangnya,” kata Mika.
Rio tertawa. “Rasa takut itu datang dari hati kamu. Coba hapus rasa takut itu. Lihat, yang lain nggak takut sama belalang kok,” kata Rio.
Mika garuk-garuk kepala. Dia kembali latihan. Kali ini dia bertekad menyingkirkan rasa takutnya sama belalang. Hm, gimana mau jadi pemain sepak bola perempuan paling hebat di Indonesia kalau takut sama belalang yang hidup di lapangan berumput?
^_^
No comments:
Post a Comment