Friday, May 20, 2011

CERNAK, 22 Mei 2011


Tarian Sunidhi


Sunidhi ingin sekali menjadi penari ternama. Dia sering melihat poster-poster pertunjukan tari di depan gedung pertunjukan. Sayangnya, Sunidhi tak pernah punya uang yang cukup untuk masuk ke gedung itu. Namun Sunidhi cukup puas melihat poster-poster itu.


“Hm, cantik sekali para penari itu. Baju mereka juga sangat indah,” gumam Sunidhi kagum.


Sunidhi hanya bisa membayangkan bentuk tariannya. Dia memang sering menanyakan kepada pengunjung gedung yang baru keluar. “Bagaimana tariannya? Apakah mereka berputar indah? Apakah loncatannya seperti seekor kijang?”


Tentu saja tidak semua penonton mau menjawabnya. Jika demikian, Sunidhi akan bertanya kepada penonton lainnya. Terkadang dia sampai lupa harus menjual kue-kue basah di baskom yang dibawanya.


Pak Penjaga gedung sering memperhatikan Sunidhi. Dia merasa kasihan. Pak Penjaga ingin sekali mengajak Sunidhi masuk ke gedung dengan diam-diam, tapi akan beresiko besar kepadanya. Pak Penjaga bisa dikeluarkan dari pekerjaan jika sampai ketahuan Pak Manajer.


“Nak, apakah kamu ingin menjadi penari?” tanya Pak Penjaga suatu hari.


“Betul sekali, Pak,” jawab Sunidhi mantap.


“Kalau begitu, cobalah ikut seleksi bakat menari minggu depan di sini. Pak Manajer akan memilih lima penari berbakat untuk diajarkan menjadi penari profesional,” kata Pak Penjaga.


“Oh, betulkah? Terima kasih pemberitahuannya, Pak,” kata Sunidhi.


Dia pun pulang ke rumah. Jarak dari gedung ke rumahnya cukup jauh. Sunidhi harus melewati sebuah hutan kecil.


Ketika melewati hutan, Sunidhi mendengar suara orang merintih. “Toloooong… toloooong ….!”


Sunidhi mencari suara itu, akhirnya ia menemukan seorang perempuan setengah baya yang kakinya terjepit akar kayu. Sunidhi membantu nenek itu. Untunglah kakinya bisa dikeluarkan. Namun karena masih memar, nenek itu belum bisa berjalan. Unidhi tidak keberatan menggendong nenek itu pulang ke rumahnya di tepi hutan.


“Terima aksih, Nak. Sebagai hadiah, ambillah selendangku ini. Selendang ini akan membantumu yang ingin jadi penari,” kata nenek itu.


Sunidhi kaget karena nenek itu tahu tentang impiannya. Sunidhi pun pamit pulang. Di rumah dia hanya tinggal bersama ayahnya. Sunidhi pun memberitahu ayahnya tentang rencana selksi calon penari berbakat.


“Anakku, semoga kau berhasil. Ayah selalu mendoakan yang terbaik untukmu,” kata ayahnya.


Sunidhi pun rajin berlatih. Di rumah, di perjalanan menuju tempatnya berjualan, bahkan saat berjualan sambil menunggu pembeli. Ajaibnya, selendang yang diberikan nenek itu, membuat semua gerakan Sunidhi jadi ringan dan indah. Bahkan Sunidhi bisa membuat gerakan-gerakan yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.


Hingga saat seleksi penari pun tiba.


Peserta seleksi sangat banyak. Mereka berdatangan dari segala penjuru. Sunidhi sempat sedikit gugup. Namun dia akhirnya menguatkan dirinya agar tetap semangat.


Saat giliran Sunidhi tiba. Musik pun dimainkan. Sunidhi mulai menari …. Para juri kagum dengan gerakan tari Sunidhi. Akhirnya Sunidhi lolos seleksi. Betapa senangnya Sunidhi.


“Ayah, aku lulus!” teriak Sunidhi ketika tiba di rumah.


Seminggu kemudian Sunidhi pergi meninggalkan ayahnya. Dia harus mengkuti sekolah khusus khusus menari selama setahun. Ternyata di sekolah tari, Sunidhi menjadi penari yang sangat disukai. Dia belajar semua tarian dengan cepat. Bahkan sebelum setahun, Sunidhi sudah sering menari di gedung-gedung mewah.


Setahun kemudian Sunidhi sudah menjadi penari terkenal. Sayangnya, sifat Sunidhi pun ikut berubah. Sunidhi menjadi seorang penari yang sombong.


“Sunidhi, minggu depan ada undanagan menari untuk mengumpulkan amal,” kata Pak Manajer.


“Untuk amal? Aku tidak mau. Biar penari lain saja yang melakukannya. Aku tidak mau menari untuk amal,” kata Sunidhi menolak.


Ya, Sunidhi hanya mau menari di gedung mewah dengan bayaran mahal pula. Sunidhi bahkan tidak mau bertemu dengan sembarangan orang.


Suatu ketika datang seorang pria separuh baya ingin bertemu dengannya.


Sunidhi menyuruh penjaga untuk mengusir. “Cepat usir lelaki tuaitu!” katanya. Dia tidak ingin orang tahu kalau pria berbaju lusuh itu adalah ayahnya.


Suatu sore Sunidhi sedang beristirahat di balkon tempat tinggalnya yang mewah. Dia menghirup udara segar. Tiba-tiba angin bertiup. Selendang kesayangan Sunidhi terbawa terbang. “Oh, selendangku,” katanya.


Sunidhi berusaha menangkapnya, tapi Sunidhi malah terjatuh dari balkon, sedangkan selendang itu pergi entah ke mana.


Sunidhi segera dibawa ke rumah sakit. Nyawanya tertolong, tapi kakinya cedera. Sunidhi tidak bisa lagi menggerakkan kakinya seperti sedia kala.


Sunidhi pun tidak bisa menari seindah dulu. Bahkan gerakannya pun berantakan. Tak ada lagi yang mau memanggilnya untuk menari. Pak Manajer pun mengeluarkannya.


Sunidhi kembali menemui ayahnya. Untunglah sang ayah mau memaafkannya. Sunidhi kini kembali menjadi penjual kue basah dengan baskomnya.


“Kue-kue … siapa yang mau beli … kue-kue ….” Begitulah nasib Sunidhi. Tak ada lagi yang mengenali kalau dulunya dia pernah menjadi seorang penari terkenal.


(ben)

No comments: