Friday, May 20, 2011

HORE, 22 Mei 2011

Asal Usul Sapu Tangan


Sepertinya baru kemarin kita menyeka keringat dengan selembar sapu tangan. Tiba-tiba benda itu mulai makin jarang dipakai, digantikan kertas tisu yang praktis dan mudah didapat. Ya, tampaknya kini jarang terlihat orang (apalagi perempuan) menyimpan sapu tangan di dalam tas atau kantung bajunya.




Saputangan atau selampai adalah selembar kain (cita) berbentuk persegi yang digunakan untuk kebersihan pribadi, antara lain mengelap tangan, menyeka keringat, dan membersihkan bagian luar mulut. Saputangan bisa digunakan berkali-kali, bila sudah kotor bisa dicuci, dikeringkan, disetrika, dan dipakai kembali.


Dalam kebudayaan Eropa dan Amerika, selain dipakai sebagai hiasan kantong jas, saputangan juga dipakai sewaktu membuang ingus. Richard II dari Inggris dikatakan sebagai orang yang pertama kali menggunakan saputangan. Dalam catatan harian rumah tangga kerajaaan (household rolls) ditulis tentang "sepotong kecil [kain] yang dipakai baginda raja untuk menyapu dan membersihkan hidungnya." Catatan tersebut merupakan dokumen tertua yang menjelaskan penggunaan saputangan.


Harga saputangan berbeda-beda menurut jenis kain yang dipakai. Kain katun, katun sintetis, sutra, atau linen termasuk jenis-jenis kain yang biasa dipakai sebagai saputangan.


Saputangan sebenarnya sudah disebut-sebut dalam syair karya Catulus (85-87 SM). Tidak seperti saat ini, alat pengusap keringat kala itu terbuat dari jalinan rumput. Memasuki abad pertama sebelum masehi, barulah saputangan terbuat dari kain linen. Meski sederhana, hanya golongan masyarakat kelas atas yang sanggup memilikinya. Itu sebabnya saputangan diperlakukan dengan sangat istimewa dan untuk pemakaianya yang ekslusif.


Memasuki abad ke-14, sudah banyak masyarakat di Eropa yang menyadari saputangan sebagai bagian tak terpisahkan dari gaya busana. Terutama di Italia, tempat pertama kali ide saputangan muncul dari seorang wanita Venesia, yang memotong-motong rami menjadi bentuk bujur sangkar danenghiasinya dengan renda. Kala itu saputangan bertambah fungsinya sebagai sarana bertutur sapa di antara masyarakat kelas atas dengan cara melambai-lambaikannya. Sementara di gedung teater ia dilambai-lambaikan untuk memberi sambutan hangat kepada para pemainnya.


Dari Italia saputangan menyebar ke seantero Prancis. Para bangsawan di bawah Raja Henry II memiliki andil besar dalam penyebarannya. Waktu itu saputangan sudah berbahan dasar sangat mahal, berhiaskan bordir sedemikian rupa sehingga sangat menarik dan menjadi barang mewah.

Fungsinya menjadi agak berbeda ketika cerutu diperkenalkan di Eropa abad ke-17. Menghisap cerutu menjadi kebiasaan yang sangat elegan. Sayangnya, menghisap cerutu dapat meninggalkan noda cokelat di hidung yang sangat mengganggu penampilan. Di sinilah terjadi perkembangan dengan munculnya saputangan ukuran besar berwarna gelap. Sebelumnya, ia hadir dalam potongan mungil brenda dan berbordir nan kenes.


Bujur sangkar



Suatu hari pada abad ke-18 di Versailles Maria Antoinette menyatakan, saputangan berbentuk bujur sangkar lebih tepat dan lebih mudah dibawa ke mana-mana. Bahkan Raja Louis XVI sampai mengeluarkan peraturan tentang ukuran bujur sangkar untuk semua saputangan yang dibuat di lingkungan istana.


Baru pada abad ke-19 saputangan sampai di Jerman. Namun baru beredar di kalangan bangsawan dan keturunan kerajaan. Saputangan juga menjadi hadiah umum dari pria yang menaruh hati kepada seorang wanita, atau sebaliknya. Dalam abad ini pula saputangan menjadi pelengkap wajib dalam gaya busana. Keberadaannya tidak lagi ngumpet di dala tas, tapi sudah berani nongol di tangan.


Saputangan kemudian menjadi barang universal. Ia pun menjadi sarana komunikasi yang menarik, Meletakkan saputangan di pipi berarti pertanda cinta. Membawa saputangan ke pipi kanan, pertanda kita mengiyakan sesuatu, sedangkan ke kiri kita menolak. Meletakkan di dahi berarti,''kita sedang diamat-amati'', dan jika di bahu artinya,''ikuti aku''. Bila seorang wanita meletakkannya di bibir sambil menatap, ia ingin berkenalan!

Di ndonesia, sapu tangan juga menjadi sumber inspirasi beberapa tarian daerah lho. Mulai dari barat sampai ke timjur banyak sekali tarian menggunakan saputangan atau lenso ini.


Sayangnya, kini keberadaan saputangan perlahan terlindas tisu kertas yang praktis dan lebih higienis. Ah, sayang sekali kalau akhirnya saputangan jadi menghilang. bukankah ia ramah lingkungan? Karena bisa digunakan berkali-kali, bila sudah kotor bisa dicuci, dikeringkan, disetrika, dan dipakai kembali.


(ben/net)

No comments: