Friday, June 13, 2014

Cernak, 15 Juni 2014

 

Tugas Rahasia

oleh Benny Rhamdani


Liburan lagi! Itu artinya aku akan bebas dari pelajaran-pelajaran yang membosankan. Bebas dari Pak Jason yang sering memberi tugas mengumpulkan daun-daun kering. Liburan kali ini, Pak Allen, inspektur polisi kenalanku, memberiku tiket berlibur di kaki Pegunungan Alpen. Tentu saja aku harus pergi dengan Hans, adikku yang bandel dan usil itu.

       Pada hari yang telah ditetapkan aku segera berkemas-kemas. Tetapi Hans tampak asyik menulis di meja belajarku.

       "Hans, kita kan harus segera berangkat. Kamu menulis apa lagi?" tanyaku setelah beres.

       "Menulis surat untuk Ibu, biar di sana kita benar-benar bisa menikmati liburan kita. Aku yakin kita tidak sempat mengirimkan kabar seperti yang diminta Ibu. Jadi kutulis sekarang, sampai di sana tinggal dikirim. 'Kan beres?!" jawab Hans santai.

       "Dasar bodoh! Apa susahnya mengirim kartu pos, tulis 1 -2 patah kalimat," sahutku.

      "Tapi, kata guruku, aku harus membiasakan diri menulis surat."
surat2

Ilustrasi : Clipart

       "Terserah!" kataku acuh. "Ingat, 5 menit lagi kita berangkat."

       Untung Hans menepati waktu yang kuberikan. Ayah mengantar kami pergi ke stasiun kereta di kota. Di ruang tunggu stasiun, Pak Allen sudah menunggu kami.

       "Apa kabar?" sapa Pak Allen ramah.

       "Baik!" jawabku.

       "Willy bohong! Kemarin dia masih flu," protes Hans. "Pak Allen, keretanya masih lama, ya?"

       "Tidak! Paling sepuluh menit lagi. Oh ya. Saya menyesal tidak dapat mengantar kalian. Tapi, tak usah khawatir! Nanti, setelah melewati stasiun

perhentian kedua akan ada seseorang yang menemani kalian," ujar Pak Allen sambil mengeluarkan sepucuk surat dari balik bajunya. "Tolong serahkan surat ini padanya."

       "Beres!" jawabku.

       Tetapi, Hans buru-buru menyambar surat itu dan segera menyimpannya ke dalam tas.

       Kereta akan segera berangkat. Aku dan Hans berpamitan pada Pak Allen. Betapa kagetnya aku, ketika petugas kereta mengantar kami ke gerbong yang terdiri

dari kamar-kamar mewah. Rupanya Pak Allen menempatkan kami di gerbong yang mahal.

"Sungguh baik ya dia," gumam Hans.

       Aku cuma mengangguk. Kalau saja dulu kami tidak terlibat dengan kasus perampokan toko emas, mungkin tidak akan seperti ini.

       "Kurasa kita sedang melakukan tugas lagi," bisik Hans padaku.

       "Jangan suka mengkhayal jadi detektif!" hardikku.

       "Aku tidak berkhayal. Aku yakin surat yang dititipi Pak Allen adalah dokumen berharga. Dia menyuruh kita karena penjahat tidak mungkin mencurigai anak kecil."

       "Hans tutup mulutmu!" hardikku sekali lagi.

       "Apa hakmu melarangku? Ini mulutku sendiri kok!" protes Hans. "Huh, aku jadi ingin tahu wajah penjahat yang mengincar dokumen itu. Kalau mereka tahu kita yang membawa dokumen itu, pasti kita diculik."

       Aku tidak peduli  lagi celotehannya. Kunikmati pemandangan di luar jendela. Sayup-sayup mataku mulai terasa berat, dan akhirnya aku benar-benar tidur pulas.

       Ketika terjaga dari tidur, aku kaget bukan kepalang. Hans tidak ada di dekatku. Aku cemas, teringat celoteh Hans sebelum aku tidur tadi. Apakah Hans benar-benar diculik?

Buru-buru aku keluar dari kamar kereta. Kutelusuri lorong kereta. Setiap wc kuperiksa, namun Hans tetap tidak ada. Aku lalu pergi ke gerbong restorasi. Aku bernapas lega ketika melihat Hans sedang duduk ditemani seorang lelaki setengah baya.

       "Sungguh! Aku sedang melakukan tugas rahasia!"

"Hans!" potongku dengan nada tinggi.

       "Nah, ini Willy, kakakku! Dia juga ikut dalam tugas rahasia ini. Tanyakan saja kalau tidak percaya?" susul Hans tak peduli.

       Aku mengambil tempat duduk di sisi Hans. Percuma kusuruh Hans berhenti berceloteh. Kurasa dia sudah banyak bercerita pada lelaki di depanku ini.

       "Apakah kalian menceritakan tugas rahasia ini kepada orang lain selain aku," tanyanya berbisik.

       Hans menggeleng. Aku juga.

       "Bagus! Sebenarnya, aku adalah orang yang ditugasi Pak Allen untuk menerima surat itu."

      "Tapi ... Pak Allen mengatakan orang yang menerima surat itu baru kami temukan setelah stasiun perhentian kedua," kataku.

       Hans tertawa. "Makanya jangan tidur terus. Stasiun yang dimaksud itu baru saja kita lewati," ejek Hans membuat mukaku pucat. "Kalau begitu, mari kita ambil surat itu, Pak Hardy."

       Pak Hardy mengikuti kami menuju kamar. Alangkah terkejutnya aku, ketika melihat kamar kami berantakan.

       "Kamu tidak mengunci pintu kamar ini?" tanya Pak Hardy.

      Aku menggeleng. "Aku terburu-buru tadi."

       "Kau ceroboh! Penjahat itu pasti sudah mengambil dokumen itu," ujar Hans.

       Rupanya dugaan Hans benar. Kami sedang diserahi tugas rahasia oleh Pak Allen, la mengambil tasnya. Mulutnya bersorak girang ketika menemukan surat itu.

       "Syukurlah suratnya masih ada! Bisa gawat kalau ditemukan penjahat itu," kata Pak Hardy sambil menimang surat itu.

       "Oh, tapi ... ya, ampun! Surat yang kubuat di rumah pagi tadi tidak ada, Wil!" teriak Hans kemudian.

Aku terbelalak. Baru kemudian aku menepuk jidatku. "Rupanya, penjahat itu salah mengambil surat yang mereka maksud. Heran, mereka begitu pintar bisa mengetahui ada dokumen berharga itu pada kita tapi kemudian bertindak keliru," simpulku.

       Pak Hardy tersenyum setelah mendengar penjelasan Hans.

       "Pak Hardy, boleh aku tahu isi surat itu?" tanya Hans ingin tahu, setelah tawa kami reda.

       "Tentu saja tidak boleh. Namanya juga rahasia. Yang jelas berupa informasi tentang orang-orang yang terlibat kejahatan komputer di kota yang akan kita singgahi nanti."

       Hans menggigit bibirnya karena keingintahuannya tidak terpenuhi.

       "Sudahlah! Makanya cepat besar biar jadi polisi atau detektif. Kalau mau cepat besar, jangan suka menggigit bibir," ejekku lagi.

       Hans malah mencibir. Sementara Pak Hardy cuma tertawa memandang kami. Mungkin, ia lega karena tugas yang kami lakukan sudah beres.***

No comments: