Friday, June 27, 2014

Cernak, 29 Juni 2014

 

 

Tetangga Baru

oleh Benny Rhamdani


Elin terjaga dari tidur siangnya. Suara gemuruh di luar rumah membuatnya gusar. Ia beranjak menuju jendela kamar yang menghadap ke depan rumah. Matanya melihat dua truk besar berhenti di depan rumah kosong itu.



Secepat kilat Elin berlari keluar dari kamarnya. Ia berhenti di samping Mama yang tengah berdiri di depan pintu sambil memperhatikan truk-truk itu.

       "Apakah mereka yang akan menempati rumah kosong itu, Ma?" tanya Elin.

       Mama menoleh ke arah Elin sebentar. "Mama rasa begitu," jawab Mama kemudian.

       "Horee! Akhirnya tetangga baru itu datang juga. Semoga mereka sebaik keluarga Pak Puspo ya, Ma."

       Mama menanggapinya dengan senyum kecil. "Heh, sudah! Mandi dulu sana!" hardik Mama.

       Elin menuruti kata-kata Mama tanpa disuruh dua kali. Ia merasa hatinya begitu gembira. Karena apa yang diharapkannya selama ini terkabulkan.

       Sejak kepindahan keluarga Pak Puspo ke Bandung, Elin nyaris tidak pernah bermain keluar lagi. Biasanya ia selalu menghabiskan hari-harinya dengan bermain bersama Santi, putri Pak Puspo yang sebaya dengannya. Di komplek tempat tinggalnya memang Elin tidak menemukan teman lain yang sebayanya. Kalaupun ada mereka sangat sombong dan sok kaya. Elin tidak suka itu.

       Kehadiran tetangga baru, bukankah itu berarti ada kemungkinan mendapatkan sahabat pengganti.

       Selesai mandi, Elin kembali berdiri di depan pintu rumah. Ia melihat barang-barang di atas truk sudah hampir selesai dipindahkan ke dalam rumah. Elin berusaha melihat lebih dekat lagi orang-orang yang berlalu lalang di samping rumahnya itu. Siapa tahu ia menemukan anak sebayanya. Dengan demikian ia bisa segera berkenalan. Bukankah itu lebih baik.

       "Mereka tampaknya tidak punya anak sebaya Elin deh, Ma!" Elin mengadu kepada mamanya.

       "Ah, belum kelihatan saja! Tampaknya yang dipindahkan baru barangnya dulu. Mungkin penghuninya menyusul nanti," kilah Mama berusaha menghibur Elin.

       Elin sedikit terhibur dengan jawaban Mama. Harapannya untuk mendapat sahabat baru masih digenggam dalam hatinya.

       Esok paginya di sekolah Elin tidak tahan untuk menceritakan perihal tetangga barunya itu kepada Ina, teman sebangkunya.

       "Mungkin hari ini mereka akan datang. Uh, mudah-mudahan saja keluarga itu punya anak sebaya dengan ku. Sehingga aku punya teman bermain di rumah," tutur Elin.      "Oya? Lalu kamu akan melupakan teman sebangkumu yang manis ini?" goda Ina.

       "Huh, mana mungkin aku melupakan teman macam kamu, yang konyolnya tak tertandingi di dunia ini. In, andai saja rumahmu tidak jauh seperti sekarang ini. Kita bisa bermain tidak cuma di sekolah, tapi juga di rumah, "timpal Elin.

       "Eh, Lin, seandainya tetangga barumu itu sombong seperti tetanggamu yang lain, bagaimana?"

       "Mereka akan kuusir dari rumah itu!"

       "Memangnya rumah nenek moyangmu!" sahut Ina.

       Obrolan terus berlanjut. Elin tidak mengalihkan pembicaraan sedikit pun tentang harapannya akan tetangga barunya. Ina juga tidak henti-hentinya menggoda Elin. Sampai bel tanda masuk berbunyi.

       Ketika pulang sekolah, Elin pun masih menyinggung tentang tetangga barunya itu.

       "Aku akan segera memperkenalkannya padamu kalau aku sudah berteman dengannya," ujar Elin di pintu gerbang  sekolah.

       "Ya. Dan aku akan membuat kejutan untukmu!” teriak lna.

       "Kejutan apa?" tanya Elin.

       Tetapi, Ina tidak menjawab. Ia telah berlari menuju mobil jemputannya.

       Elin tidak memikirkan lagi kalimat terakhir yang diucapkan Ina. "Paling-paling cuma bercanda, agar aku penasaran," pikir Elin. Elin terus melangkahkan kakinya pulang ke rumah.

       Ketika masuk halaman, Elin menyempatkan diri melihat ke samping rumahnya. Rumah itu masih sepi. Tidak terlihat seorang pun di sana.

       "Selamat siang, Ma!" sapa Elin begitu masuk rumah.

       "Ma, sudah dapat kabar tentang tetangga baru kita?"

       Mama menggeleng. "Tapi, kata Ketua RW kita, Pak Surya, mereka akan menempati rumah itu hari ini. Sudahlah, kamu tidak usah risau mengurusi tetangga baru itu. Sekarang ganti baju dulu, makan siang, lalu tidur!"

       Elin menghela napas kecewa. Betapa inginnya ia segera bertemu dengan tetangga barunya. Siang itu Elin tidak bisa tidur terlalu lama. Udara siang terasa begitu panas. Ia mengambil buku bacaan dan membacanya di samping rumah di bawah pohon jambu air.

       Pluk! Sebuah jambu jatuh menimpa buku yang dipegang Elin. Elin menoleh ke atas. Ia mengira angin yang bertiup yang menjatuhkan jambu itu. Tetapi... pluk! Pluk! Kali ini buah itu menimpa keras di kepala Elin.

       Elin menengadahkan kepalanya. la yakin, jambu itu bukan jatuh dari pohon tetapi sengaja dilempar ke kepalanya. Oleh siapa? Bukankah tidak ada siapa-siapa selain dia?

       Tiba-tiba Elin menangkap suara tawa tertahan. Suara itu berasal dari balik tembok pembatas. Elin mendengus kesal. Ia meraih tangga kecil dan menyadarkannya ke tembok itu. la pun segera naik.

       "Hah?! Kamu?!" Elin menjerit tertahan karena saat ia menyembulkan kepalanya, dari tembok seberang juga menyembul kepala. Yang membuat Elin terkejut, orang itu adalah Ina, teman sebangkunya.

       "Heh, apa yang kamu lakukan di sini, In?" tanya Elin yang masih belum dapat menghilangkan rasa terkejutnya.

       "Terserah aku mau melakukan apa di sini. Rumah ini punyaku kok!"jawab Ina sekenanya. "Kenapa terkejut? Bukankah tadi aku sudah mengatakan akan membuat kejutan untukmu."

       Mulut Elin terbuka lebar. Dengan cepat ia memetik beberapa jambu air yang menjuntai di dekatnya. Jambu-jambu itu lalu dilemparkannya ke arah Ina.

       "Kamu jahat sekali, In?! Mengapa kamu tidak mengatakan dari dulu kalau kamu akan pindah kemari!!!"

       Ina tidak menjawab. Ia malah turun dari tangga dan tertawa lebar sambil berusaha menghindari timpukan Elin. Ia merasa senang karena semua rencana yang telah disusunnya berhasil dilaksanakan. Yang membuatnya lebih gembira, ia kini bisa bermain bersama Elin tidak cuma di sekolah saja.***

No comments: