Friday, April 17, 2015

Cernak 19 April 2015

Menjaga Kios
Oleh Benny Rhamdani




Hari ini libur. Aku berharap bisa main futsal dengan teman-temanku. Tapi aku harus menutup keinginanku, sebab ibu semalam sudah memintaku menjaga kios Ibu di pasar.
“Bang Arif harus pulang kampung dulu. Ibu ada keperluan mengunjungi acara. Tidak lama. Paling sekitar dua atau tiga jam,” kata Ibu.

Ibu memiliki kios buah di pnggir jalan. Tak jauh dari rumah kami. Setiap hari Ibu berjualan di kios kecil itu ditemani kakak sepupuku yang membantu.

Aku tidak bisa menolak. Anak Ibu hanya aku. Ayahku sudah meninggal lama sekali.

Pukul sembilan pagi aku ke kios. Ibu sudah lebih dulu sampai sejak subuh tadi.

“Ibu berangkat dulu ya, Fian. Daftar harga Ibu simpan di laci. Ingat, jangan melebihkan dan mengurangi timbangan,” pesan Ibu sebelum kembali ke rumah untuk bersiap pergi.
“Iya, Bu. Jangan lama-lama ya.”

Lalu aku sendiri di kios.

Kiosku bukan di dekat pasar, jadi tidakterlalu ramai. Ada dua kios lain di sebelah kiosku. Satu kios sembako. Satunya kios pulsa. Dibandingkan kios lainnya, kiosku tak seberapa ramai. Karena itu aku sering merasa bosan jika diminta menjaga kios. Bahkan aku selalu meminta teman-temaku menemani. Tapi teman-temanku sekarang sedang latihan futsal.

Aku mengambil buku gambarku.  Belakangan ini aku sedang suka sekali meggambar. Sengaja tadi kubawa buku gambar dan alat gambarku.

Gambar apa, ya?

Aku melihat sekeliingku. Yang ada hanya buah-buahan. Pisang, apel, anggur, jeruk, pepaya, … hmmm.

Aku pun menggambar pisang. Tapi bukan pisang biasa. Aku menggambar pisang terbang seperti imajinasiku. Menyerupai pesawat terbang.  Lalu aku menggambar sebuah kota di bawahnya.

“Beli pisangnya, Dik.”

Aku berhenti menggambar. Seorang pria mebeli sesisir pisang. Setelah itu aku lanjut menggambar. Kuhapus beberapa goresan pinsil yang tak rapi. Lalu aku mulai mewarnainya perlahan. Aku suka cat air. Tapi menggambar dan mewarnai dengan cat air harus sabar. Karena kita harus menunggu usapan kering sebelum mengusap yang baru. Kita uga harus pandai mecapur warna agar hasilnya bagus.

“Beli jeruknya tiga kilo, Dik.”

Aku berhenti sebentar. Melayani pembeli.  Setelah itu kembali melanjutkan menggambar.

“Beli apelnya dua kilo, dk.”

Aku berhenti lagi. Lalu menggambar lagi.

Tak terasa waktu berlalu. Suara Ibu menyapaku bersamaan dengan aku menyelesaikan gambarku.

“Waduh maaf Ibu lebih dari tiga jam perginya” kata Ibu.

“Oh ya? Kok kayak yang sebentar ya?” tanyaku.

“Soalnya kamu lagi meggambar sih,” kata Ibu. “Kenalkan ini Tante Mira, teman Ibu. Mau belanja buah-buahan.”

Aku menyalami Tante Mira.

“Ini gambanya ya? Wah sangat bagus. Imajinatif. Warnanya juga bagus. Les menggambar di mana?” tanya Tante Mira.

“Nggak les. Saya suka lihat di Internet video tentang melukis. Ada cara-caranya, lalu saya ikuti,” jelasku.

“Bagus sekali. Memanfaatkan internet untuk belajar. Bukan main game saja.”

Aku tersenyum.

“Boleh Tante bawa gambarnya. Kebetulan Tante kerja di majalahanak-anak. Ada kolom karya anak-anak.
Kalau dimuat nanti dapat honor ho.”

“Honor apaan?”

“Uang,” jawab Ibu.


Oooh uang. Iya aku mau. Kaau dapat uang nanti akan aku tabung. Buat membeli keperluanku biar tidak selalu merepotkan Ibu.

No comments: